Advertisement

Puasa Menuju Pribadi yang Berkualitas

Endro Dwi Hatmanto
Selasa, 22 Mei 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
Puasa Menuju Pribadi yang Berkualitas Endro Dwi Hatmanto - Ist.

Advertisement

Kualitas sebuah masyarakat dan bangsa akan sangat ditentukan oleh kualitas individu. Jika individu baik, bangsa pun akan baik. Sebaliknya, jika individu rusak, bangsa pun akan rusak. Puasa sebagai salah satu ibadah wajib bagi kaum muslim sejatinya bermanfaat untuk memperbaiki kualitas individu, yakni melalui proses menuju takwa, penumbuhkan kontrol diri dan pembiasaan perilaku yang mulia.

Pertama, tujuan akhir dari puasa adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

Advertisement

Kualitas terbaik seorang manusia bukan dilihat dari kekuasaannya, pangkat, kekayaan dan gelar, melainkan seberapa tinggi kualitas takwanya.

Individu yang bertakwa bisa dilihat dari sejauh mana dia dapat mentaati aturan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Nouman Ali Khan mengatakan bahwa komitmen teologis seorang muslim adalah iya kana’budu dan wa iyya kanastaim, worshipping Allah dan being a slave of Allah, yakni menyembah kepada Allah dan menjadi hamba Allah. Bisa jadi seseorang menyembah Allah tetapi ia tidak menjadi hamba Allah. Menjadi hamba Allah memiliki konsekuensi untuk mematuhi segala aturan-aturan-Nya.

Puasa bisa bermanfaat untuk menumbuhkan kemampuan melakukan self-control atau kontrol diri. Di era materialisme dan hedonisme saat ini, harta dan takhta akan menggoda siapa saja. Kita tahu, tiga perkara ini akan menjadi bencana sosiologis bagi sebuah bangsa jika kita tidak memiliki kontrol diri. Kita bisa melihat di bangsa kita, politik biaya tinggi telah memunculkan perebutan kekuasaan yang rentan dengan money politics dan korupsi. Sementara itu, para politisi yang telah merengkuh kekuasaan memamerkan kekayaan dan kehidupan hedonisnya dan tidak memiliki sense of crisis atas berbagai kesulitan yang dirasakan rakyat. Dengan demikian, kemampuan mengontrol diri sangat diperlukan. Tanpa kemampuan mengontrol diri, dorongan-dorongan gratifikasi ego dan syahwat akan menjadi katastrofe bagi sebuah bangsa. Melalui puasa, kita dilatih untuk tidak makan, minum dan melakukan hubungan biologis di siang hari. Dalam spektrum yang lebih luas, latihan menahan diri tersebut harus berimbas pada kekuatan kita untuk dapat mengontrol diri dari ego dan syahwat yang merusak tata kehidupan kita.

Ketiga, puasa adalah sarana bagi kita untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik. Para ahli pengembangan sumber daya manusia mengatakan bahwa karakter kita terbentuk oleh kebiasaan-kebiasaan kita. Di bulan Ramadan, kita didorong untuk giat membaca Alquran, member infak dan sedekah, memberi bantuan kepada orang lain. Semua aktivitas ini dikerjakan dengan lebih intensif di bulan Ramadan. Orang yang berhasil dalam puasanya adalah ketika dia dapat menjadikan kebiasaan-kebiasaan baik yang ditumbuhkan dalam puasa ke dalam berbagai perilaku kebaikan di luar Ramadan.

Menariknya, ternyata kata habit yang berarti kebiasaan berasal dari sebuah kata dari bahasa latin habitus yang berarti pakaian. Makna ini menyiratkan bahwa kebiasaan, entah itu baik ataupun buruk, akan bersifat seperti pakaian yang selalu melekat pada orang yang memakai pakaian tersebut. Sama persis, kebiasaan yang dilakukan terus-menerus akan menjadi perilaku yang melekat dalam diri seseorang. Dengan demikian, ketika kita membiasakan hal-hal yang buruk, perilaku kita akan menjadi buruk. Sebaliknya, ketika kita membiasakan hal-hal yang baik, perilaku kita pun akan menjadi baik. Sungguh, kebiasaan akan membentuk karakter kita. Dengan kata lain, karakter kita adalah akumulasi dari kebiasaan kita.

Lebih menarik lagi, dalam bahasa Jawa, kata agama sering dikaitkan dengan kata ageman, yang bermakna juga pakaian. Jadi, orang yang mengaku beragama selayaknya menjadikan nilai-nilai agama sebagai perilakunya, persis seperti pakaian yang selalu melekat di atas tubuhnya. Agama yang hanya menjadi retorika dalam pidato-pidato dan ceramah tanpa aplikasi dari nilai-nilainya adalah kegagalan menjadikan agama sebagai ageman.

Puasa sejatinya melatih kita untuk menjadikan ajaran-ajaran agama terimplementasikan dalam realitas kehidupan kita. Dalam kaitannya dengan kata habitus dan ageman yang bermakna baju, Alquran juga menggunakan tamsil yang sama bahwa sebagus-bagusnya baju adalah baju takwa (QS. Al-A’raf: 26). Maknanya, sebagus-bagusnya perilaku adalah karakter yang digerakkan dan dipandu oleh nilai-nilai ketakqwaan. Dan inilah tujuan tertinggi dari ibadah puasa.

*Penulis adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Alert! Stok Darah di DIY Menipis, PMI Dorong Instansi Gelar Donor Darah

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement