Advertisement

OPINI: Jaminan Pensiun, Modal Mandiri di Hari Tua

Sumarjono
Minggu, 30 Desember 2018 - 07:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Jaminan Pensiun, Modal Mandiri di Hari Tua Karyawan melayani nasabah di Kantor Cabang PT Taspen, Tangerang, Banten, Senin (8/1). - JIBI/Felix Jody Kinarwan

Advertisement

Saat mengikuti simposium dalam rangka 50 Tahun Profesi Sharoushi pada 6 Desember 2018 di Tokyo, Jepang, penulis mendapatkan informasi bahwa penduduk Jepang berkurang 1 juta jiwa dibandingkan dengan tahun lalu.

Hal ini menandakan bahwa tingkat pertumbuhan natalitas penduduk lebih rendah dari mortalitas, sehingga Jepang telah mengalami fenomena penuaan. Walau hal ini masih pelu diklarifikasi kebenarannya, fenomena penuaan penduduk atau aging population sedang terjadi di negara-negara maju.

Advertisement

Dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 terungkap bahwa pada 2017 jumlah penduduk Indonesia usia lanjut (60 tahun ke atas) mencapai 25,16 juta jiwa atau 9,6% dari total penduduk.

Sementara itu, pada tahun 2045 jumlahnya diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 63,3 juta jiwa atau 19,85% dari total penduduk yang pada saat itu diperkirakan 318 juta jiwa. Pada tahun 2023 rasio ketergantungan penduduk usia tua akan melebihi 10%, mengindikasikan bahwa struktur penduduk Indonesia juga akan memasuki fase penuaan penduduk.

Bagian terbesar persoalan penduduk usia lanjut adalah terpenuhinya kebutuhan (jaminan pendapatan) dan masalah kesehatan. Di negara-negara maju seperti Jepang, penduduk usia lanjut telah memiliki perlindungan jaminan sosial dalam bentuk jaminan pensiun dan jaminan kesehatan memadai. Telah disiapkan sejak masih produktif bekerja.

Alhasil, mereka menjadi penduduk usia lanjut yang tidak bergantung pada keluarganya dan negara atau dapat disebut ‘Tua Tapi Mandiri’ (TTM). Tanpa perlindungan atau jaminan sosial, penduduk usia lanjut dapat berdampak langsung pada peningkatan beban anggaran pemerintah untuk jaminan sosial dan kesehatan.

Penduduk usia lanjut juga memiliki kecenderungan kontribusi yang lebih kecil dalam aktivitas inovasi dan produksi. Hal ini akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menggarisbawahi pentingnya mencermati fenomena aging population.

Dari 25,16 juta penduduk usia lanjut saat ini, ada 10 juta orang yang masih berpenghasilan, karena masih aktif bekerja. Hanya 11,6% yang berpenghasilan dari Jaminan Pensiun, terdiri dari 2,5 juta pensiunan dari PT Taspen dan 372.000 pensiunan dari DPPK.

Adapun dari BPJS Ketenagakerjaan, saat ini belum ada penduduk usia lanjut yang mendapatkan pensiunan secara berkala/bulanan, karena peserta yang telah memasuki usia pensiun belum memenuhi kriteria mendapatkan pensiun bulanan (syaratnya telah memenuhi 180 bulan masa iur).

Dengan demikian sekitar 12 juta penduduk usia lanjut yang rentan miskin, karena tidak berpenghasilan, baik dari penghasilan bekerja atau dari jaminan pensiun. Umumnya mereka bergantung pada anak, sanak saudara atau bantuan pemerintah.

Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pensiun harus dimulai jauh-jauh hari sebelum seseorang memasuki usia pensiun. Namun dari hasil Survei Skor Kesejahteraan Cigna awal 2018 diketahui bahwa masyarakat masih tidak terlalu pusing dalam menyiapkan dana masa tua mereka. Sebab sekitar 44% dari masyarakat berharap anak mereka akan mengurus saat mereka tua.

Apalagi generasi milenial yang saat ini jumlahnya cukup banyak, merupakan kalangan yang berorientasi pada masa kini dan kurang menyiapkan diri dalam menghadapi masa depan. Artinya, kesadaran tenaga kerja di Indonesia menghadapi persiapan pensiun masih rendah.

Dari 121 juta penduduk yang bekerja pada 2017, hanya sekitar 14,9% yang telah terdaftar dalam asuransi/Jaminan Pensiun. Sebagian besar adalah para pekerja di sektor formal atau pekerja Penerima Upah (PU). Hal ini merupakan tantangan terbesar pemerintah untuk meningkatkan perluasan cakupan peserta Jaminan Pensiun guna mengantisipasi aging population.

Reformasi Pensiun

Skema Jaminan Pensiun yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2015 belum mengatur kepesertaan pekerja informal atau pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Walaupun komposisi pekerja PU terus meningkat dan komposisi pekerja BPU kian menurun, tetapi saat ini sektor pekerjaan masih didominasi pekerja BPU, yaitu sekitar 60% dari total pekerja.

Selain itu, generasi milenial yang dalam waktu dekat akan menguasai pasar kerja cenderung memilih untuk berusaha sendiri. Tak tertutup kemungkinan komposisi pekerja BPU akan kembali meningkat.

Seyogyanya pemerintah mulai merancang skema reformasi jaminan pensiun untuk seluruh pekerja. Bila saat ini program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan diwajibkan bagi pemberi kerja yang memiliki skala usaha menengah dan besar, pemberi kerja skala kecil dan mikro seharusnya juga sama. Demikian juga kepesertaan jaminan pensiun bagi segmen BPU, perlu dipertimbangkan.

Kepesertaan BPU dapat dilakukan bertahap. Karena pendanaan program pensiun merupakan program jangka panjang, kolektibilitas dan kesinambungan pembayaran iuran menjadi kunci keberlanjutan program.

Untuk tahap awal pekerja formal yang berhenti bekerja sebelum mencapai usia pensiun dan beralih menjadi pekerja informal dapat melanjutkan kepesertaannya dan membayar iuran agar saat memasuki usia pensiun dapat memenuhi ketentuan manfaat berkala.

Sistem pensiun seperti di Vietnam, Thailand atau Mongolia mungkin perlu dicermati untuk perbandingan kita. Mereka memiliki sistem yang lebih sistematis dan efektif serta mencakup pekerja informal.

Jika kita tidak melakukan reformasi sistem jaminan pensiun, bisa jadi akan ada banyak kemiskinan di usia tua. Akhirnya pemerintah harus mengeluarkan anggaran belanja yang lebih besar untuk mengatasinya.

Jepang memberlakukan pensiun untuk seluruh masyarakat melalui pensiun publik yang pembiayaannya sebagian disubsidi dari fiskal dan asuransi sosial dengan mekanisme kontribusi dari peserta.

Korea Selatan juga telah menerapkan jaminan pensiun untuk pekerja formal dan informal. Bahkan iuran untuk pekerja segmen petani dan nelayan disubsidi pemerintah.

Selain memperbaiki sistem pensiun, respons melalui pergeseran persepsi mengenai usia kerja juga diperlukan sebagai antipasti akselerasi aging population.

Persepsi masyarakat yang terbangun sejak dulu adalah usia pensiun normal 55-56 tahun, buntut dari munculnya Peraturan Pemerintah No. 32/1979 tentang Pemberhentian PNS, yaitu batas usia pensiun PNS adalah 56 tahun.

PP ini juga menyatakan bahwa masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat lanjut usia adalah kelompok umur di atas 60 tahun dan tidak produktif.

Namun, seiring dengan peningkatan kualitas kesehatan yang lebih baik, usia harapan hidup pun meningkat. Pada 1980 usia harapan hidup masyarakat Indonesia baru mencapai 52,2 tahun. Pada 2015-2025 naik pesat menjadi 72,51 tahun dan akan menjadi 74,05 tahun di periode 2025-2030.

Kondisi ini memunculkan kecenderungan pergeseran usia pensiun normal yang lebih tinggi.

Belum ada kata terlambat untuk suatu pembaruan membangun sistem Jaminan Pensiun bagi seluruh penduduk. Kolaborasi legislatif, eksekutif dan stakeholder lainnya untuk bersinergi mewujudkan Indonesia yang siap dalam menghadapi aging population merupakan salah satu kunci sukses.

Tidakkah kita akan lebih gagah dan bangga jika kala usia senja menjadi TTM?

*Penulis adalah Direktur Renstra dan TI BPJS Ketenagakerjaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024

Gunungkidul
| Rabu, 30 Oktober 2024, 07:27 WIB

Advertisement

alt

Aktor Jefri Nichol Diperiksa Polisi, Berstatus Saksi Dugaan Pengeroyokan

Hiburan
| Selasa, 29 Oktober 2024, 06:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement