Advertisement
OPINI: “Gangguan Mental” Generasi Digital
Advertisement
Banyak orang menyebut saat ini kita telah memasuki era revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan masifnya penggunaan teknologi (khususnya teknologi informasi) dalam pelbagai sektor kehidupan. Kemajuan teknologi informasi harus diakui telah banyak membawa manfaat dan kemajuan, namun juga jangan dilupakan bahwa penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dan berlebihan sangat membahayakan, khususnya bagi anak-anak usia produktif (milenial).
Generasi milenial merupakan generasi yang sangat lekat dengan produk teknologi digital, khususnya gadget. Bahkan, boleh dibilang dunia Internet sudah menjadi bagian dari gaya hidup—untuk tidak bilang—generasi usia produktif ini bahkan sudah jadi “kecanduan” dengan sistem berbasis aplikasi adroid dengan beragam platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, game online, dan lain-lain. Hal ini bisa dipahami karena generasi millenial ini lahir bersamaan dengan kelahiran era Internet yang membawa semangat digitalisasi.
Advertisement
Karena itu, menjadi wajar jika generasi digital waktunya lebih banyak dihabiskan di depan monitor kumputer dan gadget. Biasanya mereka memiliki tempat khusus yang sifatnya tertutup untuk berselancar (seperti warnet dan sejenisnya). Tidak jarang aktivitas mereka berlangsung disela-sela jam pelajaran sekolah. Di antara mereka bahkan sudah terbangun komunitas-komunitas sesama penggila aplikasi android.
Pada titik ini, penulis yang setiap hari berkencimpung di dunia pendidikan dan kesehatan merasa prihatin dengan kondisi di atas, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya. Dari kacamata pendidikan, kasus di atas jelas akan berdampak kontraproduktif bagi proses belajar mengajar, ketika konsentrasi belajar terpecah sehingga nilai-nilai yang diajarkan di sekolah tidak akan mampu diserap dengan baik dan maksimal.
Di sisi lain, “kecanduan android” secara kesehatan sangat membahayakan. Mata yang secara terus menerus dipaksa untuk aktivitas android dengan durasi yang tanpa batas akan menimbulkan gangguan kesehatan pada mata. Lensa mata akan lelah yang pada gilirannya akan menggangu kerja sistem indra penglihatan, belum lagi dampak ganguan mental yang ditimbulkanya.
Dinas Kesehatan Kota Jogja menyebutkan bahwa di Kota Jogja sebanyak 6.753 orang mengalami gangguan jiwa berat sampai ringan. Dari 6.753 kasus, 914 orang di antaranya yang sebagian besar penderita adalah kelompok usia produktif 20-45 terdeteksi gangguan jiwa psikotik dan skizofrenia—di mana faktor media sosial, khususnya game online-menjadi pemicu utama bersama faktor lain seperti tekanan hidup yang cukup berat, dan pendidikan (Liputan6.com, 20/11/2018).
Data di atas sejalan dengan WHO yang telah resmi menetapkan kecanduan game sebagai salah satu bagian gangguan mental yang tertuang dalam international statistical classification of diseases (ICD). ICD merupakan sistem yang berisi daftar penyakit, gejala, tanda dan penyebab yang dikeluarkan oleh WHO.
Literasi Media
Berkaitan dengan kecanduan game online, WHO memasukkan ke dalam daftar disorder due to addictive behaviour atau penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan atau kecanduan. Namun, kecanduan game bisa disebut penyakit apabila memenuhi tiga hal. Pertama, seseorang tidak bisa mengendalikan kebiasaan bermain gim. Kedua, seorang mulai memprioritaskan gim diatas kegiatan yang lainya. Ketiga, seorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat. Dan ketiga hal ini harus terjadi atau terlihat selama satu tahun sebelum diagnosa dibuat (Kompas.com, 19/6/2018).
Gangguan mental pada generasi usia produktif nyata-nyata akan mengganggu laju pembangunan bangsa dan negara kedepan. Penduduk dengan usia muda yang mengalami gangguan mental otomatis tidak akan mampu hidup secara produktif. Jika tidak mampu hidup secara produktif pada akhirnya mereka tidak akan mampu berbuat banyak bagi dirinya sendiri dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Untuk biaya perawatan saja, seorang dengan ganguan mental (jiwa) ternyata memerlukan biaya yang cukup fantastis. Untuk menebus satu kali resep menelan biaya sekitar Rp1,5 juta – Rp2 juta.
Ini menjadi fenomena yang tidak bisa dianggap gampang, mengingat transformasi teknologi informasi kian kedepan akan terus melaju sesuai denyut nadi modernisasi di mana anak-anak usia produktif dituntut adaptif dan menjadi subjek dari perkembangan teknologi digital. Apalagi seperti kita tahu generasi digital lah kedepan yang akan menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi bangsa.
Seperti yang dilansir BPS bahwa mulai 2020-2030 Indonesia akan mengalami yang namanya bonus demografi. Bonus demografi merupakan keadaan dimana jumlah usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih banyak dibandingan jumlah non produktif. Jumlah penduduk usia produktif di Indonesia akan mencapai 52 % dari total jumlah penduduk Indonesia.
Pada titik ini perlu diberikan pendekatan yang tepat, di antaranya adalah generasi digital perlu dibekali literasi media agar kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan lebih produktif. Disisi lain, pemerintah dan pegiat pendidikan bersama masyarakat perlu merumuskan dan menyusun langkah bersama untuk mengalihkan konsentrasi genarasi digital ini yang lagi tengah asyik-asyiknya menikmati produk teknologi digital dengan memberi ruang-ruang yang baru yang lebih kreatif, produktif, inovatif, dan mengasyikan sesuai selera generasi digital.
Di sisi lain, orang dituntut mampu menjadi role model. Jika tidak ingin anak kita mendapatkan dampak negatif dari gadget maka orang tua yang harus menjadi role model mereka. Bagaimana mereka bisa lepas dari gadget jika setiap hari mereka melihat orang tua, guru dan dilingkungan sekitarnya memainkan gadget seolah tidak ada hal lain yang lebih penting dari gadgetnya.
Hal lain yang kemudian biasa ditanamkan oleh pengiat pendidikan dan orang tua adalah menanamkan sifat “menciptakan” bukan “mengonsumsi”. Kebanyakan dari kita menggunakan gadget untuk mendapatkan infromasi. Padahal media digital menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan karya kita. Hanya dengan cara begitulah generasi muda Indonesia bisa diselamatkan dari gangguan mental dan bencana demografi.
*Penulis merupakan dosen Praktikum STIKes Surya Global Jogja/Pembimbing Praktik Komunitas dan Keluarga Balai Pelatihan Kesehatan Yogyakarta (Bapelkes Jogja)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
RSUD Wonosari Kebanjiran, Ternyata Sumbatan Drainase Jadi Biangnya
Advertisement
Film 2nd Miracle In Cell No. 7 Tayang di Bioskop Mulai 25 Desember 2024
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement