Advertisement

OPINI: Dorong Perekonomian, Genjot Pajak Kemudian

Totok Budisantoso
Kamis, 05 September 2019 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Dorong Perekonomian, Genjot Pajak Kemudian Ilustrasi uang. - Bisnis/ Paulus Tandi Bone

Advertisement

Keberlangsungan dan keberlanjutan berbangsa dan bernegara dilandaskan pada kekuatan seluruh warga yang berkomitmen dan berlindung di dalamnya. Tidak dipungkiri proses penyelenggaraan negara besar seperti Indonesia membutuhkan dana yang besar demi berjalannya seluruh sendi-sendi kehidupan secara kontinyu. Dibutuhkan ikatan kuat untuk mengatur dan menjalankan roda perekonomian yang menjadi pegangan utama pengelolaan sumber daya ekonomi yang dimiliki.

Pengaturan penyelenggaraan perekonomian negara seperti tertuang dalam UUD 45 pasal 33. Dalam salah satu butir amandemen pasal 33, dinyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pernyataan tersebut melengkapi dasar-dasar dalam Ekonomi Pancasila.

Advertisement

Dalam konteks kemandirian, dapat dimaknai bahwa seluruh warga negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mempertahankan perekonomian negara. Salah satu bangunan utama perekonomian negara adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan mudah dapat diterjemahkan bahwa mandiri berarti bahwa pendapatan negara bersumber terutama dari warganya. Dana mandiri dari masyarakat itu adalah pajak.

Pajak adalah kontribusi wajib rakyat kepada negara yang terutang, baik sebagai orang pribadi atau badan usaha yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Meskipun ada pernyataan memaksa akan tetapi sebenarnya semangat utama dari pajak adalah kesempatan bahwa seluruh warga negara untuk memberikan sumbangsihnya demi terselenggaranya negara yang memiliki kemandirian dan berkelanjutan serta bercita-cita luhur baik untuk seluruh warga negara maupun warga dunia pada umumnya. Filosofi dalam undang-undang perpajakan menekankan bahwa membayar pajak bukan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dan berperan serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Dari kacamata akuntansi, sumber dana dapat dipilah menjadi dua kategori besar. Yang pertama dana sendiri serta yang kedua adalah dana pinjaman. Apabila dana sendiri tidak mencukupi, diambilah alternatif kedua yaitu pinjaman. Dana pinjaman ini tentu saja bukan sumber dana yang gratis. Ada biaya yang melekat di dalamnya baik yang sifatnya eksplisit seperti bunga maupun implisit yang menyiratkan berbagai perikatan yang dilekatkan sebagai satu kesatuan persyaratan dalam perjanjian pinjaman tersebut.

Dalam pengelolaan keuangan, pinjaman bukanlah hal yang tabu dan luar biasa. Mencari pendanaan dengan pinjaman adalah praktek umum. Namun demikian, ada pertimbangan-pertimbangan substansial yang harus selalu dipegang dalam menentukan kebijakan pinjaman karena risiko yang melekat di dalamnya. Salah kelola dalam pengaturan dana pinjaman akan berujung pada gagal bayar yang memiliki implikasi sangat besar. Pihak kreditor memiliki serangkaian perikatan yang pada dasarnya berisi hak-hak perlindungan yang akan berujung pada masalah kemandirian bangsa dan negara pada akhirnya. Tentu saja hal ini sangat tidak diharapkan.

Uraian ini menunjukkan betapa pentingnya kontribusi warga negara dalam wujud pajak. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak tentu sudah mengupayakan berbagai cara untuk menghimpun secara optimal partisipasi warga ini. Upaya baik intensifikasi dan ekstensifikasi pajak terus dilakukan. Bahkan kebijakan amnesty pajak dilakukan untuk mendapatkan pendanaan mandiri yang sangat membantu penyelenggaraan ekonomi nasional. Meskipun demikian, anggaran yang ditetapkan masih belum dapat dicapai. Apakah anggaran yang terlalu optimis ataukah celah partisipasi yang terlalu rendah? Bagaimana menemukan titik optimal diantara keduanya?

Mengulik data penghimpunan pajak hingga paruh pertama 2019, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa realisasi pajak sekitar 45% (Rp705 triliun dari anggaran Rp1.577 triliun). Butuh usaha ekstra di paruh kedua 2019. Dari sisi pemerintah, terus dilakukan upaya-upaya serius dengan memanfaatkan perkembangan teknologi selain sisi kemudahan dan kecepatan pelayanan. Baru-baru ini diluncurkan fasilitas Modul Penerimaan Negara (MPN G3). MPN-G3 adalah mampu melayani penyetoran penerimaan negara hingga 1.000 transaksi per detik. Selain masalah kecepatan, fasilitas ini lebih fleksibel dengan integrasi pembayaran dompet elektronik, transfer bank, virtual account, dan kartu kredit yang dilaksanakan oleh agen penerimaan yang dikenal dengan lembaga persepsi lainnya seperti e-commerce, retailer dan tekfin.

Dari sisi wajib pajak, kesadaran dan kepedulian menjadi isu sentral yang perlu mendapat perhatian ekstra. Definisi pajak mengimplikasikan bahwa masyarakat dituntut untuk melaksanakan kewajiban kenegaraan dengan membayar pajak secara sukarela dan penuh kesadaran sebagai aktualisasi semangat gotong-royong atau solidaritas nasional untuk membangun perekonomian nasional. Apakah amanat ini sudah terlaksana?

Harus diakui bahwa aspek kesadaran untuk membayar pajak masih belum mencapai tingkat sebagaimana yang diharapkan dengan berbagai macam alasan. Bahkan mungkin ada yang masih masih sinis dan kurang percaya terhadap keberadaan pajak. Kesadaran membayar pajaki tidak hanya memunculkan sikap patuh, taat dan disiplin semata tetapi diikuti sikap kritis juga. Memang akan selalu ada keseimbangan antara kesadaran membayar pajak dan pemikiran kritis atas pengelolaan pajak seperti pertanggungjawaban pemerintah dalam penggunaan dana, regulasi perpajakan dan permasalahan-permasalahan teknis yang muncul di lapangan dalam proses penagihan.

Apapun, kesadaran untuk membayar pajak ini harus terus diupayakan dan dipupuk. Upaya pemupukan rasanya tidak cukup hanya terus dengan mendengungkan, menayangkan melalui berbagai medsos dan bahkan dalam iklan layanan. Ada paradigma strategis yang perlu untuk dipertimbangkan. Kesadaran atas hak partisipasi pajak ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Dalam alur pemikiran ini, kesadaran dan juga kemauan untuk membayar pajak didasari pada kemampuan secara ekonomis. Wajib pajak tidak akan menemui kesulitan dalam memenuhi kewajiban membayar pajaknya kalau nilai yang harus dibayar itu berada dalam cakupan penghasilan yang sebenarnya mereka peroleh secara stabil dan rutin. Faktor ekonomi merupakan hal fundamental dalam hal melaksanakan kewajiban. Pesan utama dalam paradigma ini adalah tugas utama pemerintah untuk menjamin bahwa masyarakat merasakan putaran perekonomian, kembangkan kue aktivitas ekonomi. Pajak adalah konsekuensi dari roti manis perekonomian.

Di sisi lain, pemerintah harus memberikan jaminan pula atas tata kelola aspek perpajakan yang akan menimbulkan adanya rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat wajib pajak sehingga kegiatan pembayaran pajak akan menjadi sebuah kebutuhan dan kerelaan. Dengan demikian titik seimbang dalam perpajakan adalah trust dari masyarakat dan sebenarnya inilah semangat dari slogan yang terpampang besar-besar Lunasi Pajaknya Awasi Penggunaannya.

*Penulis merupakan Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Bandara YIA Sabtu 27 April 2024, Harga Tiket Rp20 Ribu

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 03:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement