Advertisement
OPINI: Mimpi Suku Bunga Negatif
Advertisement
Dari potongan perbincangan dengan seorang kawan yang hidup lama di Negeri Kincir Angin (NKA), tersua sejumlah pelajaran, seperti harus berani mengambil kesimpulan bahwa kalau sebuah negara mau maju, maka hal pertama yang utama harus diwujudkan adalah satu paket lengkap: niat, komitmen, tekad, dan aksi baja untuk berlaku “lurus” dalam bungkusan integritas.
Itu semua harus dijalanisebagai lompatan kesungguhan secara konsisten. Hijrah semacam itu harus dialamatkan secara cepat dan tepat kepada pemerintah, orang-orang di pemerintahan, dan tentu masyarakatnya, tanpa kecuali.
Advertisement
Tanpa langkah konkret itu, instrumen pembangunan apapun untuk menggapai kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, naga-naganya, akan kandas. Bahkan eksistensi bangsa pun mungkin akan punah. Artinya visi-misi dan aksi pembangunan bisa jauh dari amanat konstitusi.
Lalu, nyanyian global semacam SDGs pun hanya akan tinggal kenangan. Maka lompatan itu jadi kebutuhan mendesak, termasuk bila dikaitkan dengan upaya mencapai visi-misi Presiden Jokowi dan prioritas pembangunan nasional (2019—2024): pembangunan infrastruktur, SDM unggul, reformasi birokrasi, penyederhanaan perizinan investasi, dan manajemen APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Dari potongan perbincangan itu juga tergambar bagaimana NKA menata kebijakan ekonomi dan moneternya. Singkatnya, bagaimana perputaran uang segar didorong menukik sampai ke sekira sebelas level ke bawah, menyentuh akar rumput. Uang tidak nyangkut-mengendap di level atas.
Sebelas level itu rupanya urutan ordinal yang menggambarkan spektrum kelas usaha yang lebih lebar dari sekadar kakap-menengah-kecil-mikro. Kesebelas level itu digarap Kadin dan BKPM-nya NKA.
Yang menarik, mekanisme moneternya di tataran praktis sangat kondusif bagi kesebelas kelas usaha itu. Mengemuka beberapa contoh, antara lain, para the haves saat memarkir uangnya di bank diganjar biaya bulanan. Simpanannya tidak dihadiahi dan dibunga berbungakan.
Sebaliknya, terutama lapis bawah, saat meminjam uang, bank tidak jarang menyetujui dengan melebihkan dari angka proposal. Bahkan dijanjikan potongan bunga, bila usahanya meningkat dalam kurun tertentu. Untuk kadar kinerja peningkatan tertentu disiapkan tax holiday yang menggiurkan.
Itulah bentuk paling konkret dari subsidi sesungguhnya kepada pelaku usaha dan secara tidak langsung kepada masyarakatnya. Coba pahami karakter kebijakan moneter seperti itu tampak mirip dengan penerapan rezim suku bunga negatif. Apakah dengan begitu NKA sudah menganut rezim itu, belum terkonfirmasi.
Beberapa narasumber di ‘Paman Gugel’ mengonfirmasi bahwa yang telah menggunakan suku bunga negatif itu baru Denmark (mulai 2012 dengan rate -0,65%), Swedia (2015, -1,1%)), Swiss (2014, -0,75%) dan Eropa (2014, -0,3%) ). Di luar Eropa, disebut-sebut baru Jepang (2015, - 0,1%). Amerika konon masih baru akan coba-coba.
Per definisi, suku bunga negatif disebut merupakan fenomena ultramodern; produk dari sistem keuangan global yang masih berjuang untuk membenahi pertumbuhan ekonomi setelah krisis keuangan global. Ilustrasi praktisnya, sebuah bank harus membayar sejumlah uang setiap bulan untuk memarkir uangnya di Bank Sentral.
Sebuah kelaziman terbalik dari bagaimana tipikal sebuah bank biasanya berjalan. Dengan begitu, bank tadi pada gilirannya akan meneruskan beban bayaran bulanan (bunga) kepada para pelanggannya dengan mengenakan beban itu pada tabungan. Itulah rezim suku bunga negatif, yang dapat dipahami dalam pengertiannya paling sederhana.
Satu lingkungan dengan suku bunga negatif itu terjadi saat nominal suku bunga jatuh sampai di bawah 0% untuk zona ekonomi tertentu. Artinya, bank-bank dan lembaga keuangan lain harus membayar untuk menyimpan kelebihan uang cadangannya di bank sentral. Jadi harus membayar, bukan menerima imbalan dengan suku bunga yang positif, seperti lazimnya.
Apa manfaat pengenaan rezim suku bunga negatif? Ini merangsang kegiatan ekonomi dan mengendalikan inflasi sebagai upaya pembenahan pertumbuhan ekonomi, terutama akibat pengaruh global.
Dengan rezim suku bunga negatif, insentif orang untuk memutar dan mendayagunakan uangnya secara produktif jauh lebih besar daripada sekadar mengendapkan di bank. Kalau ini terjadi secara masif, apalagi sistematis dan terstruktur, maka roda ekonomi akan berputar cepat dengan pengaruh gandanya juga akan berlipat cepat. Ini karena fungsi sosial dari uang akan lebih membumi dan memiliki daya ungkit. Mudah diduga, produktivitas riil sekaligus pertumbuhan ekonomi, akan relatif lebih tinggi.
Gambaran kualitatif kinerja pembangunan ekonomi yang dibangkitkan dari pemahaman di atas tentu tidak datang dengan sendirinya. Diperlukan sejumlah syarat dan kondisi pemungkin seperti pembenahan tata kelola dan penegakan hukum dalam hal perizinan, pajak, dan berjalannya faktor insentif-disinsentif.
Perlu instansi khusus yang peran dan tupoksinya memonitor, mengevaluasi, dan mengawal terus menerus urusan produktivitas agar tetap berada pada posisi kondusif. Diskursus seputar ini agaknya masih sangat langka, untuk mengatakan tidak (pernah) ada.
Di atas segala soal perlunya pemenuhan berbagai syarat dan kondisi pemungkin itu, termasuk bekerjanya instrumen suku bunga negatif, menuntut adanya lompatan kesungguhan sebagaimana diimpikan.
Impian itu patut dilirik terutama melalui prioritas pembangunan nasional, khususnya komponen Reformasi Birokrasi (RB). Struktur, mekanisme, dan prosedur apapun terkait dengan RB sejatinya berorientasi pada kesungguhan mewujudkan lompatan atau transformasi itu.
*Penulis merupakan Senior Associate pada Conservation Strategy Fund
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Raisa Rencanakan ke Candi Prambanan di Libur Akhir Tahun
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement