Advertisement

OPINI: Peluang Cuan dari Kembalinya Habitus Home-Cooking

Mahestu N. Krisjanti, Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 10 September 2020 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Peluang Cuan dari Kembalinya Habitus Home-Cooking Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Kembali ke 70-80 tahun yang lalu ketika peran wanita terutama istri sangat berbeda dengan yang terjadi saat ini.Wanita tidak perlu bersekolah ke jenjang yang tinggi, cukup jika bisa membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan yang diutamakan dalam diri seorang wanita adalah mengelola rumah tangga, dan memasak adalah salah satunya.

Memasak untuk keluarga menjadi salah satu pride bagi seorang wanita. Membeli makanan siap saji adalah suatu yang tabu, dimana wanita di masa itu akan dipandang tidak mempunyai skill sebagai seorang wanita sejati. Dari sisi bisnis, bisnis ratengan (jual lauk pauk harian) menjadi tidak popular pada masa itu. Semua kebutuhan makan untuk keluarga disiapkan di dapur rumah tangga tersebut.

Advertisement

Dengan berjalannya waktu dan seiring dengan perubahan perilaku wanita, ketika semakin banyak wanita mengecap pendidikan tinggi yang akhirnya mendorong mereka untuk memilih bekerja di sektor formal. Konsekuensi logis dari pergeseran peran wanita tersebut adalah ditinggalkannya pekerjaan-pekerjaan domestik yang dulu menjadi kebanggan para wanita. Memasak adalah salah satunya.

“Saya tidak bisa memasak” bukanlah menjadi kalimat tabu lagi, bahkan telah menjelma menjadi salah satu kebanggaan. Tidak bisa memasak telah menjelma menjadi indikator status sosial tinggi, dipersepsikan wanita tersebut bekerja di sektor formal. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mampu memasak, cukup membeli makanan. Dari sisi bisnis, perubahan perilaku ini menumbuhsuburkan bisnis makanan siap saji, baik itu yang berkonsep tradisional maupun modern.

Warung-warung makanan yang menjual lauk harian menjadi sangat populer di masyarakat. Bahkan bisnis ini dianggap sebagai bisnis yang tahan banting karena tak lekang oleh waktu. Bagaimanapun, makanan adalah kebutuhan primer manusia. Tidak mungkin manusia tidak membeli makanan. Meskipun dalam situasi keuangan keluarga yang sedang menurun, makanan tetap akan dibeli. Keyakinan ini terbukti dalam beberapa tahun terakhir, ketika beberapa industry mengalami penurunan penjualan dalam beberapa situasi tertentu, bisnis warung makan ratengan tetap bertahan.

Selain warung-warung ratengan, ternyata bisnis kuliner lain yang tumbuh subur adalah bisnis katering keluarga. Bisnis ini mengirimkan paket makan atau lauk ke keluarga-keluarga yang menjadi pelanggannya. Ini menjadi sangat praktis bagi keluarga-keluarga sibuk, ketika wanita dalam keluarga tersebut tidak mempunyai waktu untuk menyiapkan makan keluarga.

Bisnis kuliner yang melayani kebutuhan makanan harian keluarga, baik itu rumah makan, warung ratengan yang menjual lauk pauk harian maupun bisnis katering telah lama mengecap keuntungan dari perubahan perilaku wanita. Seakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara wanita dan penyedia hidangan harian keluarga ini. Bisnis ini seakan memberikan kesempatan wanita untuk mengaktualisasi diri mereka di sektor formal. Bisnis kuliner ini semakin berkibar ketika layanan ojek daring merambah industry kuliner.

Konsumen semakin dipermudah untuk mendapatkan produk tersebut dengan bantuan aplikasi ojek daring. Tidaklah mengherankan, semakin banyak pelaku bisnis masuk ke industri kuliner, terutama yang menyasar pasar rumah tangga dengan menu makanan harian. Bukan hanya pemain besar yang masuk dalam industri, bahkan ada banyak pemain-pemain baru yang berskala sangat kecil. Meskipun begitu, revenue yang mereka terima dari bisnis kuliner kecil-kecilan ini tidaklah kecil.

Kedatangan pandemi Covid-19 secara tiba-tiba, ternyata berhasil mengubah peta bisnis kuliner yang sudah mapan tersebut. Berawal dari masyarakat yang ketakutan terinfeksi virus, yang konon sangat mudah menular. Masyakarat mulai memproteksi keluarga dari paparan luar, bukan hanya menghindari keluar rumah, tetapi juga menghindari bersentuhan dengan barang-barang yang menurut potensial menularkan. Asumsi droplet bisa menempel di banyak benda, telah menyebabkan masyarakat berusaha untuk menghindari menyentuh barang-barang.

Alhasil, masyarakat mulai mengurangi pembelian barang-barang untuk meminimalkan paparan virus. Seperti misalnya, mereka memilih memasak makanan daripada membeli makanan. Mereka mempunyai ketakutan akan kemasan makanan yang mungkin terpapar virus, dan ketakutan akan penyedia produk makanan yang mungkin tanpa sadar telah terinfeksi virus dan sebagainya.

Ketika jumlah masyarakat yang mulai terinfeksi semakin banyak, maka pemerintah mengimbau supaya para karyawan perusahaan semaksimal mungkin bekerja dari rumah. Para wanita yang sebelum pandemi lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor, saat ini mereka bergeser ke rumah. Seakan sudah berjodoh, preferensi memasak karena kekhawatiran akan makanan siap saji dan keberadaan para wanita di rumah sebagai efek work from home.

Kombinasi dua hal ini ternyata mampu mengembalikan habitus wanita untuk memasak. Seakan waktu telah diputar balik oleh pandemi ini, ke masa ketika wanita adalah ratu dapur. Selain berimbas pada turunnya omzet bisnis kuliner yang sudah ada, apakah kembalinya habitus ini akan mendorong munculnya ide-ide bisnis baru?

Wanita telah kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan keluarga, itu adalah fakta yang ada di masyarakat saat ini. Namun demikian, para wanita ini tetap berusaha untuk mensimplifikasi proses memasak supaya masih mempunyai waktu untuk pekerjaan formal mereka. Hal ini tentu akan mendorong munculnya beberapa gagasan bagi para pelaku bisnis di pasar. Ada beberapa produk yang diprediksi akan menjadi preferensi para wanita ini. Pertama makanan beku, yakni proses penyiapan hanya membutuhkan waktu yang singkat dengan proses pemasakan yang tidak terlalu rumit.

Kedua, bumbu instan dari bahan segar. Misalnya bumbu tongseng, bumbu gulai dan sebagainya. Harus diingat para wanita sudah lama meninggalkan habit memasak. Dengan demikian kemampuan mereka meracik bumbu untuk makanan berrempah tidaklah mumpuni. Dengan tersedianya bumbu instant dari bahan segar yang mungkin hanya bertahan beberapa hari di dalam kulkas, akan sangat menolong mereka. Bumbu instan bermerek yang selama ini sudah ada di pasaran mungkin hanya akan menjadi pilihan kedua karena persepsi kesegarannya sangat rendah. Ketiga, paket menu sayuran mentah dan bumbunya. Misalnya, paket sayur lodeh yang terdiri dari bahan mentah sayuran dan bumbunya dalam satu kemasan. Ini akan memudahkan para wanita untuk membuat agenda menu harian.

Ketiga hal tersebut akan mendatangkan cuan atau keuntungan bagi para penjualnya. Misalnya, para penjual ratengan, mungkin bisa memvariasikan dagangannya dengan menjual bumbu-bumbu mereka dalam kemasan kecil. Pandemi ini ternyata membawa perubahan dalam perilaku konsumen dan juga perilaku pemain bisnis. Kemampuan pemain bisnis dalam menganalisis perubahan perilaku konsumen akan mendorong munculnya kreativitas mereka.

Inovasi dan deferensiasi barang yang mereka produksi dan jual sebagai hasil analisis perilaku konsumen tersebut akan menghasilkan cuan yang sangat signifikan. Terima kasih Covid-19, telah membuka mata para pebisnis kuliner untuk meningkatkan kreativitas demi provitabilitas yang lebih baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Alert! Stok Darah di DIY Menipis, PMI Dorong Instansi Gelar Donor Darah

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement