Advertisement

OPINI: Pandemi, Perempuan Penyandang Disabilitas Lebih Rentan Kehilangan Pekerjaan

Islamiyatur Rokhmah, Dosen Unisa
Senin, 02 November 2020 - 05:02 WIB
Galih Eko Kurniawan
OPINI: Pandemi, Perempuan Penyandang Disabilitas Lebih Rentan Kehilangan Pekerjaan Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas terjadi di berbagi lini kehidupan, salah satunya pada akses pendidikan yang berdampak pada akses mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi pada masa pandemi Covid-19 ini, akses pendidikan dan berdampak pada pekerjaan pun akan semakin terpuruk bagi mereka. Hasil assessment cepat dampak Covid-19 bagi penyandang disabilitas dari Temuan Asesmen Cepat Jaringan Disabilitas Indonesia yang dipaparkan di laman web Sigab.id menunjukkan dari 1.600 responden, 86%mengalami penurunan pendapatan, dan posisi perempuan penyandang disabilitas lebih rentan kehilangan pekerjaan dibandingkan laki-laki penyandang disabilitas.

Banyak peneliti menunjukkan perempuan penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan, mereka terdiskriminasi karena perempuan dan terdiskriminasi karena kedisabilitasannya, ditambah lagi jika kondisi ekonomi mereka tidak mampu. Sebagai contoh jika dalam satu keluarga memiliki dua anak perempuan yang satu disabilitas dan yang satu non disabilitas maka orang tua akan lebih mendahulukan anak perempuan yang non disabilitas untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi.

Advertisement

Di sisi lain ada yang mengungkapkan laki-laki disabilitas lebih utama mendapatkan pendidikan dari pada perempuan penyandang disabilitas, karena laki-laki adalah pemimpin keluarga yang akan mencari nafkah dalam keluarga. Maka di sini perempuan penyandang disabilitas mengalami multi diskriminasi dalam mengakses pendidikan yakni terdiskriminasi karena perempuan, disabilitas dan miskin.

Di sini terlihat adanya intersection yakni adanya irisan multi diskriminasi yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas. terlebih lagi pada masa Covid-19 ini perempuan penyandang disabilitas lebih terpuruk dan mempunyai tantang tersendiri dalam menghadapi belajar dari rumaj (BDR), tidak semua perempuan penyandang disabilitas memiliki telepon seluler (ponsel) dan dapat mengakses internet dengan baik.

Rendahnya pendidikan tersebut tentu saja akan sangat berdampak pada akses pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas, terlebih lagi jika perempuan penyandang disabilitas sebagai kepala rumah tangga, maka multi diskriminasi akan dialmi oleh mereka. Menurut data The Smeru Institut April 2020 perempuan penyandang disabilitas di Indonesia memiliki kecenderungan tingkat kesejahteraan lebih rendah dari pada laki-laki dengan tingkat kemiskinan 15,30% sedangkan laki-laki penyandang disabilitas 14,60%, jika dibandingkan dengan nodisabilitas perempuan sebanyak 9,73% sedangkan laki-laki sebanyak 9.31%.

Tingkat kesejahteraan tersebut disebabkan karena akses pekerjaan yang berdampak pada sumber penghasilan penyandang disabilitas. Angka partisipasi angkatan kerja (TPAK) masih sangat rendah dibanding nondisabilitas, TPAK penyandang disabilitas hanya 31,63% sedangkan TPAK nondisabilitas sebanyak 70%. Perbandingan akses pekerjaan masih ada ketimpangan gender dalam memperoleh pekerjaan, perempuan penyandang disabilitas yang bekerja 38.37% sedangkan laki-laki penyandang disabilitas lebih banyak yakni 61,43%. Maka melihat data tersebut perempuan penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan kerja lebih rendah dibanding laki-laki penyandang disabilitas.

Selain itu perempuan penyandang disabilitas mengalami stereotype dan diskriminasi oleh stigma kedisabilitasannya dalam memperoleh pekerjaan di masyarakat, lebih lagi bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi kepala keluarga, dia akan mengalamidouble burden (beban ganda), dalam hal ini analisis intersection juga diperlukan untuk melihat irisan double burden, sebagai perempuan dan karena stereotype akan stigma kedisabilitasannya.

Pendekatan Kultural
Pendekatan analisis intersection menjadi keniscayaan untuk dilakukan karena untuk melihat irisan multi diskriminasi yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas sehingga dapat menghasilkan agenda advokasi untuk memperjuangkan hak pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Pendekatan cultural dengan memberikan penyadaran kepada keluarga dan masyarakat akan pentingnya memberikan ruang dan akses pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas. Beberapa orang tua menasehati anak disabilitas dengan kalimat sabar dan nrimo akan kedisabilitasannya, dengan tidak memberikan akses pendidikan. Konsem nrimoyang adalah dari sesanti Jawa nrimo ing pandung dan makaryo ing nyoto adalah merupakan kearifan local yang dilestarikan oleh masyarakat Jawa, namun sayangnya hanya nrimo ing pandum saja yang sering digembar gemborkan tanpa disandingkan dengan makaryo ing nyoto.

Hal ini berakibat menjadikan stereotype masyakat Jawa yang lemah, padahal sejatinya nrimo ing pandum dilakukan setelah bekerja keras (makaryo ing nyoto) dengan menerima segala pemberian dari Tuhan ikhlas. Maka jika dikaitkan dengan perempuan disabilitas nrimo disini adalah sikap pasrah dan mudah menyerah tanpa kemudian memberikan akses pendidikan yang berakibat minimnya akses pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas. Maka hendaknya konsep nrimo disini dengan sikap memberikan semangat dan motivasi kepada perempuan penyandang disabilitas, dengan mengambil hikmah kedisabilitasan untuk menumbuh suburkan potensi-potensi yang lain yang dimiliki oleh perempuan penyandag disabilitas dengan memberikan akses pendidikan.

Demikian juga kepada masyarakat sekitas akar dibangun pemahaman inklusif yang perlu dilakukan secara bersinergi baik dari tokoh agama, tokoh masyarkat dan pemangku kepentingan yang lain sehingga perempuan disabilitas dapat diterima dan berperan di komunitas. Dengan begitu tidak akan muncul stereotype yang memunculkan stigma negatif dan juga tidak adanya diskriminasi kepada perempuan penyandang disabilitas di masyarakat.

Dalam pendekatan struktural, pemerintah sudah mengatur dalam UU No.8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 11, bahwa Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak : a) mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; b) mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; c) mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan dan d) mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.Sedangkan pada pasal 59 juga sudah diatur tentang hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas mengharuskan setiap intansi baik pemerintah maupun swasta mewajibkan menerima pegawai 2 % dari penyandang disabilitas.

Namun, dalam Undang-undang tersebut belum menyebutkan prosetasi jumlah perempuan penyandang disablitas untuk mengakses pendidikan begitupula dalam pekerjaan belum menyebutkan prosentasi untuk tenaga kerja perempuan penyandang disabilitas. Maka disinilah pentingnya advokasi yang berbasis intersection diatas, yakni dengan melihat irisan multi diskriminasi yang dialmi oleh perempuan penyandang disabilitas. perlunya afirmatf of action dalam melakukan advokasi kepada perempuan penyadang disabilitas dalam mengakses pendidikan dan pekerjaan.

Penyadaran secara struktural tidak cukup hanya melahirkan kebijakan perundangan saja, namun monitoring secara nyata terhadap layanan pendidikan dan akses pekerjaan dibeberapa intansi perlu dilakukan secara terus menerus. Terutama pada masya pandemic covid-19 ini pentingnya penyesuain layanan pendidikan agar lebih terjangkau bagi perempuan penayndang disabilitas dan tetap memperhatikan protokol Covid-19.

Maka di sinilah perlunya kerjasama multipihak dalam hal ini, di Jogja sudah ada Pokja Disabilitas atau Komite IX, maka peran komite IX di sini sangat penting dengan melibatkan berbagai unsur baik dari pemerintah, LSM, organisasi kemasyarakat dan tentu saja sangat penting untuk kelompok agama terlibat, serta intansi terkait, untuk mengawasi implementasi program yang dilakukan, jika ada pelanggaran atau penyimbangan yang dilakukan baik oleh intansi pemerintah maupun swasta.

Disi lain pentingnya kesadaran inklusi di masyarakat, yakni membangun kesadaran inklusi di masyarakat untuk mewujudkan komunitas atau desa inklusi, perlunya keterlibatan perempuan penyandang disabilitas pembangunan masyarakat desa, dengan menciptakan perdes yang inklusif seperti adanya kejar paket inklusi yang memberikan hak pendidikan bagi perempuan penyandang disabilitas untuk mengakses kejar paket A, B dan C.

Kemudian perlunya aturan yang memudahkan akses permodalan bagi perempuan penyandang disabilitas, karena selama ini penyandang disabilitas sangat sulit mengakses modal terlebih lagi penyandang disabilitas perempuan. Pada masa pandemi ini diharapakn permodalan bagi mereka juga dipermudah, karena kondisi perekonomian mereka yang mengalami penurunan secara drastis.

Maka pendekatan kultual dan struktural harus seiring sejalan dalam melakukan perjuangan advokasi kepada perempuan penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan pada masa pandemic virus corona/Covid-19 ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement