Advertisement

OPINI: Vaksinomics

Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 07 Januari 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Vaksinomics Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Presiden Jokowi telah mengumumkan bahwa pemerintah berkomitmen menyediakan vaksin Covid-19 secara gratis kepada seluruh masyarakat Indonesia (Rabu, 16/12/2020). Keputusan pemerintah tersebut merupakan langkah penting untuk memberi perlindungan kepada warga negara demi tercapainya kekebalan kolektif. Kebijakan tersebut menuntut sinergi dan koordinasi dari semua instansi, baik pemerintah pusat dan daerah, termasuk pemangku kepentingan (tokoh masyarakat, tokoh agama, perguruan tinggi, dunia usaha dan media massa). Dengan demikian vaksinasi menjadi program prioritas sehingga dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Pemerintah menargetkan jumlah masyarakat yang divaksin gratis sebanyak 182 juta atau sekitar 70% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut dengan pertimbangan untuk memunculkan kekebalan di masyarakat atau herd immunity (kekebalan komunal) terhadap virus SARS-CoV-2.

Advertisement

Anggaran sebesar Rp 54,4 triliun telah disiapkan pemerintah untuk program vaksinasi Covid-19 pada tahun anggaran 2021. Anggaran vaksin Covid-19 tersebut didapatkan dari alokasi di APBN 2021 sebesar Rp18 triliun. Kemudian alokasi anggaran kesehatan di Program Pemulihan Ekonomi  Nasional (PEN) 2020 sebesar Rp 36,4 triliun yang belum dipergunakan.  

Selanjutnya pemerintah menyebut ada enam merek vaksin Covid-19 yang akan digratiskan untuk masyarakat. Vaksinasi gratis itu sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/9860/2020. Vaksin gratis termaksud yang diproduksi oleh Bio Farma, Astra Zeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer Inc and BioNtech, dan Sinovac Biotech.

Bagaimanakah dampak ekonomi dari vaksinasi Covid-19? Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi fokus tulisan singkat ini.

Akselerasi

Banyak pihak menyatakan  bahwa vaksinasi Covid-19 (dan penegakan protokol kesehatan 3M) akan menjadi salah satu faktor penggerak akselerasi pemulihan ekonomi pada tahun 2021. Dapat dianggap vaksinasi menjadi pemicu (trigger) dan pendobrak perubahan (game changer) pemulihan ekonomi. Dengan adanya vaksinasi akan mendorong meningkatnya mobilitas masyarakat, termasuk produsen dan konsumen (Sri Susilo, 2020a). Masyarakat yang telah divaksin mempunyai rasa kepercayaan yang lebih tinggi dalam beraktifitas di luar rumah.

Dari sisi konsumen, dengan meningkatnya aktivitas identik dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Peningkatan konsumsi tersebut misalnya dengan kegiatan belanja non pangan dan kegiatan berwisata. Instansi pemerintah dan swasta lebih meningkatkan aktifitas di luar kantor misalnya dalam bentuk rapat koordinasi, seminar, lokakarya dan sejenisnya. Kegiatan tersebut mempunyai dampak keterkaitan dengan sub-sektor ekonomi lain, misalnya akomodasi dan makanan, transportasi, komunikasi dan sebagainya. Proses efek pengganda (multiplier effect) ekonomi dapat berjalan lebih cepat.

Dari sisi produsen, dengan mulai meningkatnya aktifitas konsumsi masyarakat dan  instasi/lembaga maka produsen sudah mulai berhitung untuk ekspansi usaha. Seperti diketahui ekspansi usaha dapat diartikan terjadinya peningkatan investasi. Optimisme mulai tumbuhan di kalangan pengusaha. Skenario peningkatan investasi tersebut dapat berjalan sesuai dengan harapan jika didukung dengan kebijakan dalam mengakses sumber-sumber permodalan bagi pengusaha (Sri Susilo, 2020b). Di sinilah peran penting Program PEN dalam proses percepatan pemulihan ekonomi baik melalui stimulus fiskal (Pemerintah), pelonggaran moneter (Bank Indonesia/BI), dan stimulus perbankan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan/LPS).

Regulasi

Dengan adanya vaksinasi gratis, apakah vaksinasi mandiri dibatalkan atau ditiadakan? Menurut penulis, seharusnya pemerintah tetap menyiapkan regulasi dan fasilitas vaksinasi Covid-19  mandiri. Hal tersebut terkait dengan 30% masyarakat yang tidak mendapat fasilitas vaksinasi gratis. Mereka dapat diberikan fasilitas untuk dapat melakukan vaksinasi mandiri atau dengan biaya sendiri. Fasilitas tersebut juga untuk mengakomodasi masyarakat yang ingin segera melakukan vaksinasi.

Regulasi vaksinasi mandiri khususnya dalam hal penetapan harga (pricing) atau tarif vaksinasi. Pemerintah sebaiknya menetapkan harga vaksinasi tersebut. Diperlukan penetapan batas harga terendah (floor price) dan harga tertinggi (ceiling price). Jadi tarif vaksinasi tidak diserahkan pada mekanisme pasar sepenuhnya. Dalam kasus vaksinasi Covid-19 ini penulis menganggap vaksin merupakan kebutuhan pokok dan menyangkut hajat hidup masyarakat umum, seperti halnya penetapan harga tarif listrik (PLN), air minum PDAM, dan BBM/LPG (Pertamina).

Jika tidak diterapkan batas harga terendah dan tertinggi maka tarif vaksinasi yang terjadi menjadi lebih mahal dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, posisi tawar (bargaining position) masyarakat menjadi relatif lemah. Masyarakat dirugikan karena harus membayar tarif vaksinasi yang lebih mahal. Kondisi tersebut secara makro dapat menimbulkan ketidakefisienan dalam perekonomian, dalam hal ini adanya kesejahteraan masyarakat yang hilang (dead weight welfare loss).

Dalam kasus tarif tes Rapid (Antibodi dan Antigen) dan PCR/Swab sebelum adanya pedoman tarif dari pemerintah, kenyataaan di lapangan tarif relatif lebih mahal dan bervariasi. Setelah pedoman diberlakukan maka tarif relatif menjadi lebih murah dan homogen. Dari pengalaman tersebut diharapkan tidak terjadi untuk tarif vaksinasi dan dapat dicegah dengan penetapan atau pesoman tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Catatan Penutup

Vaksinasi Covid-10 (dan protokol kesehatan 3M) menjadi kondisi yang diperlukan (necessary condition) namun hal tersebut tidak mencukupi (sufficient condition) untuk percepatan pemulihan ekonomi. Dalam arti vaksinasi menjadi prasyarat namun haryus dibarengi dengan kebijakan dan strategi yang dilakukan oleh otoritas fiskal, otoritas moneter dan otoritas perbankan.

Penulis sependapat dengan Gubernur BI, pemulihan ekonomi nasional pada tahun 2021 dapat terwujud dengan penguatan sinergi melalui satu prasyarat dan lima strategi. Satu prasyarat tersebut adalah vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19, dan 5 strategi respons kebijakan sebagai berikut (www.bi.go.id): (1) pembukaan sektor produktif dan aman, (2) percepatan stimulus fiskal (realisasi anggaran), (3) peningkatan kredit dari sisi permintaan dan penawaran, (4) stimulus moneter dan kebijakan makroprudensial, dan (5) digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya UMKM. Momentum pemulihan ekonomi nasional perlu terus didorong dengan memperkuat sinergi membangun optimisme oleh semua pihak baik Pemerintah (Pusat dan Daerah), BI, OJK, LPS, Perbankan, Pengusaha dan pemangku kepentingan lainnya. (ADV)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement