Advertisement

OPINI: Quo Vadis Eks Petani Terdampak Jalan Tol

Th. Agung M. Harsiwi, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 17 Februari 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Quo Vadis Eks Petani Terdampak Jalan Tol Th. Agung M. Harsiwi, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Akhir-akhir ini begitu ramainya media massa membahas masyarakat terdampak pembangunan jalan tol, baik jalan tol Jogja-Solo maupun Jogja-Bawen. Umumnya mereka adalah masyarakat petani yang mengandalkan hidupnya dengan bercocok tanam. Tidak lama setelah uang penggantian tanah dicairkan, tersiarlah berita masyarakat itu membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang yang bisa jadi selama ini belum pernah dimilikinya, seperti mobil, motor, perhiasan, emas, dan sebagainya. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana penghidupan mereka selanjutnya?

Uang Ganti Untung

Advertisement

Sesuai Undang-Undang RI No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, setiap tanah yang dipergunakan untuk kepentingan umum termasuk jalan tol diberikan ganti kerugian yang layak dan adil oleh pemerintah. Pemerintah melalui UU ini mengatur penilaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara fisik dan nonfisik. Aspek fisik mencakup nilai pasar dari tanah, ruang atas tanah, ruang bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Sedangkan aspek nonfisik mencakup kehilangan pekerjaan/usaha, kerugian emosional, biaya transaksi, kerugian masa tunggu, kompensasi sisa tanah, dan kerusakan fisik lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika petani atau pemilik tanah mendapatkan uang ganti yang jauh melebihi harga pasaran tanah umumnya di daerah itu sampai sering disebut sebagai uang ganti untung sebab telah memperhitungkan opportunity revenue atau peluang penghasilan yang hilang. 

Persoalan muncul ketika uang ganti untung yang diterima petani atau pemilik tanah begitu besar, sehingga muncullah  orang kaya baru (OKB) yang dalam waktu singkat mempunyai banyak uang. Pertanyaannya, sungguhkah orang-orang itu kaya ataukah sekedar orang-orang yang sedang mempunyai banyak uang?

Pada umumnya sebagian besar petani atau pemilik tanah mengandalkan hidupnya dari bercocok tanam, yang secara rutin menanami tanahnya dengan tanaman pertanian  dan panen tiga hingga empat kali setahun. Dapat dipastikan kompetensi mereka adalah bertani, bisa jadi tidak mempunyai kemampuan menghitung laba atau rugi dari usahanya bercocok tanam, seperti memperhitungkan bibit tanaman, pupuk, sewa bajak mesin, termasuk memberi upah orang yang membantu mengelola tanah, apalagi menghitung “gaji” dirinya sendiri sebagai pengusaha yang mengelola tanahnya. Sekedar hidup mengalir sebagai petani.

Maka saat menerima uang ganti untung yang sangat besar mereka akan jadi sasaran pihak-pihak yang ingin memanfaatkan uang yang mereka miliki, entah menawarkan kendaraan, rumah, peralatan elektronik, bahkan menawarkan investasi dengan imbalan yang belum tentu menguntungkan. Literasi keuangan masyarakat petani sangat minim. Jika tidak berhati-hati mereka akan berada dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap), yaitu gaya hidup akan berubah drastis menyesuaikan dengan penghasilan atau rezeki yang dimilikinya. Alih-alih menambah aset-aset produktif yang dalam jangka panjang berlipat ganda nilainya, yang terjadi justru uang ganti untung akan habis dibelanjakan untuk aset-aset konsumtif. 

Middle Income Trap

Masih segar dalam ingatan kita, suatu film Indonesia berjudul Orang Kaya Baru (OKB) yang dirilis tahun 2019. Film itu menceritakan suatu keluarga sederhana, bahkan cenderung berkekurangan yang tiba-tiba bergelimang harta warisan. Alhasil mereka membelanjakan uangnya dengan aset konsumtif, seperti pakaian, perhiasan, peralatan elektronik, kendaraan, bahkan rumah lengkap beserta isinya. Tentu tidak ada yang salah saat mempunyai banyak uang lalu membelanjakannya untuk barang-barang yang selama ini tidak terbeli karena keterbatasan uang yang dimiliki. Tetapi betulkah demikian yang harus dilakukan? Sungguh film itu memberi pesan yang sangat jelas tentang potret masyarakat kita, tidak terkecuali bagi masyarakat petani terdampak proyek pembangunan jalan tol.

Middle income trap mengacu pada keadaan suatu negara yang berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju (Bank Dunia, 2006). Salah satu efek dari middle income trap adalah munculnya masyarakat yang tidak mampu mengangkat kesejahteraannya sebagaimana layaknya masyarakat di negara maju yang berorientasi jauh ke depan, khususnya menuju pada kemapanan finansial.

Jika dianalogikan dengan perusahaan, setiap karyawan yang akan pensiun dari tempatnya bekerja akan dipersiapkan dalam program prapurnabakti yang mengajari mereka bagaimana mengelola kehidupannya pascapensiun secara sejahtera. Termasuk belajar mengelola uang pesangon yang acap kali diterimakan dalam beberapa termin secara proporsional untuk memulai kehidupan baru pascapensiun, misalnya merintis usaha atau memulai pekerjaan baru. Tidakkah model prapurnabakti dan penerimaan uang pesangon secara bertahap ini dapat diterapkan dalam konteks uang ganti untung tanah bagi petani terdampak pembangunan infrastruktur?

Mengingat banyaknya kejadian senada, tidak hanya pembangunan infrastruktur jalan tol, namun juga infrastruktur lainnya, maka sudah saatnya pemerintah tidak cuci tangan setelah uang ganti untung diberikan kepada masyarakat.

Pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial untuk mendampingi masyarakat petani yang tidak mempunyai literasi keuangan memadai. Pemerintah Pusat maupun daerah perlu mengedukasi masyarakat agar dapat keluar dari middle income trap dengan mendampingi masyarakat terdampak pembangunan jalan tol atau infrastruktur publik lainnya, agar tidak menjadi korban penipuan oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan keadaan. Meskipun ada juga sebagian kecil masyarakat petani yang menyadari saat tanahnya dibeli dan diganti pemerintah, maka akan dibelikan tanah kembali di tempat lain untuk dikelola sebagai lahan bercocok tanam.

Tentu pendampingan pemerintah ini akan menjadi kerja bersama antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah setempat, sampai dengan aparat desa didukung oleh kementerian terkait, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian yang bersama-sama dilibatkan untuk menyelamatkan penghidupan petani terdampak pembangunan infrastruktur. 

Catatan Penutup

Literasi keuangan masyarakat kita masih sangat terbatas, maka sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengedukasi masyarakat terdampak pembangunan infrastruktur melalui pendampingan. Satu tahun pertama sejak menerima uang ganti untung masyarakat perlu didampingi agar uang ganti untung yang diterimanya sungguh dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang.

Entah membeli tanah baru di tempat lain untuk dikelola, membuka usaha baru di tempat lain, membeli aset produktif seperti kendaraan atau rumah untuk disewakan, bahkan membeli aset finansial seperti surat berharga negara yang dapat memberikan pendapatan tetap secara berkelanjutan.

Melalui pendampingan ini diharapkan tidak lagi terdengar petani terdampak pembangunan infrastruktur yang berubah menjadi orang miskin baru setahun setelah menerima uang ganti untung  tanahnya, yang justru akan menambah populasi masyarakat miskin di Indonesia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Termasuk Jogja, BMKG Ingatkan Sebagian Besar Wilayah Indonesia Waspada Cuaca Ekstrem

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 09:17 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement