Advertisement

OPINI: Membedah Transaksi Kripto

Ibrahim Kholilul Rohman, Dosen Ekonomi Digital FEB Universitas Indonesia
Senin, 21 Februari 2022 - 06:17 WIB
Maya Herawati
OPINI: Membedah Transaksi Kripto Tampilan koin kripto di Mining farm Rekeningku.com di Cibitung, Jawa Barat, Selasa (21/9/2021). Mining Farm yang telah berjalan sejak Oktober 2017 itu kini memiliki lebih dari 2.000 unit GPU dengan mayoritas menambang koin kripto Ethereum (ETH). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

Advertisement

Salah satu aspek hukum yang saat ini menarik bagi masyarakat adalah terkait dengan legalitas jual beli uang digital atau kripto. Terlebih jika melihat bahwa berdasarkan data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), 7,5 juta penduduk Indonesia melakukan transaksi kripto atau meningkat 87,5% dibandingkan dengan 2020 yang baru mencapai 4 juta orang.

Dari sisi volume transaksi, nilai transaksi kripto mencapai Rp478,5 triliun hingga Juli 2021 atau hanya sekitar 6% dari jumlah uang beredar Bank Indonesia yang mencapai Rp7.572 triliun hingga November 2021. Namun, volume transaksi kripto 2021 telah meningkat 636,15 % dibandingkan dengan 2020.

Advertisement

Berdasarkan aturan yang ada, kripto tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah sesuai UU No. 7 tahun 2011. Pasal 202 Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran menegaskan kripto tergolong sebagai virtual currency, yaitu uang yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter. Penyedia jasa pembayaran dilarang memfasilitasi perdagangan virtual currency sebagai komoditas kecuali dengan ketentuan perundangan-undangan.

Solusi yang ada saat ini adalah Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menerbitkan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa mata uang kripto diakui sebagai aset yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Alhasil dari tiga fungsi utama uang yaitu sebagai medium of exchange, store of value dan unit of account, secara regulasi uang kripto di Indonesia gagal memenuhi dua dari tiga persyaratan ini, karena hanya dipandang sebagai aset fisik yang bisa menyimpan nilai di masa depan (store of value).

Mengingat 85% penduduk Indonesia adalah muslim, aspek kehalalan transaksi kripto menjadi penting sebagai pedoman masyarakat. Dua institusi keagamaan terbesar mendukung fatwa bahwa transaksi yang melibatkan uang kripto masih bersifat haram seperti dinyatakan oleh pengurus wilayah Nahdatul Ulama Jawa Timur dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Namun Muhammadiyah memandang hukum uang kripto bersifat dinamis dan bisa berubah apabila memenuhi kaidah syariah. Dari sisi global, Bank Santander dan Oliver Wyman merilis studi pada 2015 yang menunjukkan berbagai manfaat dari kripto. Misalnya pengurangan kebutuhan biaya infrastruktur sistem perbankan sebesar US$20 juta. Kajian David Mills dan tim di The Fed pada 2016 mengidentifikasi manfaat blockchains dalam sektor keuangan.

Tentu kajian-kajian di atas disertai beberapa aspek risiko yang harus dimitigasi. Harus dipahami pula bahwa nilai kripto seperti Bitcoin tidak didukung oleh aset apa pun. Sumber utama nilainya adalah kelangkaan.

Ini yang membedakan dengan uang fiat yang diterbitkan oleh bank sentral. Dalam sistem moneter konvensional, sejumlah uang yang beredar di pasar akan selalu di back-up oleh nilai aset bank sentral, baik yang berupa emas, net foreign asset atau net domestic claim.

Suatu bank sentral tidak akan mencetak uang lebih dari kemampuan back-up asetnya jika tidak ingin nilai uangnya merosot. Sebaliknya kripto ‘ditambang’ secara independen.Keseimbangan pasarnya akan tergantung dari kelangkaannya. Sifat ini mirip dengan emas.

Bedanya, sisi penawaran dari uang kripto seperti bitcoin dibuat ketat, tidak akan pernah ada lebih dari 21 juta bitcoin. Hard cap Bitcoin ini yang kemudian menjadi value preposition, baik untuk daya tarik investasi maupun nilai tukar.

Untuk masyarakat muslim Indonesia, pertanyaan yang menarik seharusnya tidak hanya fatwa kehalalan transaksi kripto tetapi lebih tajam membahas kemungkinan alternatif model bisnis yang lebih align dengan aturan fikih, terutama jika terdapat mata uang kripto baru di Indonesia.

Setidaknya ada tiga kemungkinan solusi. Pertama, jumlah penambangan koin baru seharusnya tidak dilakukan dengan tingkatan yang konstan setiap hari tetapi dengan menimbang aspek jumlah adopter yang terus bertambah. Strategi ini ditujukan untuk meredam fluktuasi di pasar.

Kedua, kesan kripto masih sangat lekat dengan shadow economy dan transaksi ilegal seperti studi Marmora di jurnal Economic Letters terbaru pada 2021. Semua mata akan tertuju ke El Salvador sebagai negara pertama yang secara resmi melegalkan kripto sebagai alat transaksi.

Jika fungsi kripto bisa meningkat sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi publik di negara yang sedang mengalami krisis tersebut, pandangan dan sentimen masyarakat dunia mungkin akan berubah.

Terakhir, di setiap penawaran koin awal di mana perusahaan menjual mata uang kripto baru untuk mengumpulkan uang, inventor hendaknya membobot nilainya dengan satu anchor asset yang mereka miliki. Misalnya dibobot dengan nilai aset perusahaan, sehingga ada rasionalisasi dari fluktuasi kripto di pasaran.

Semua hal di atas perlu dibarengi dengan edukasi masyarakat tentang segala manfaat dan risiko yang ada, sehingga aspek kerelaan sebagai landasan dasar kehalalan transaksi lebih terpenuhi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cara Membeli Tiket KA Bandara Jogja via Online

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement