Advertisement

OPINI: Diorama Kenaikan CHT

Lambang Wiji Imantoro, Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute
Selasa, 15 Maret 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Diorama Kenaikan CHT Buruh tani merawat tanaman tembakau di Sekejengkol, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/1/2022). ANTARA FOTO - Raisan Al Farisi

Advertisement

Pemerintah resmi menentukan besaran tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2022 sebesar 12%. Kenaikan ini dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam mendulang penerimaan di sektor cukai, juga bisa diartikan sebagai upaya pemerintah menekan laju perokok di Indonesia yang terus melonjak tiap tahunnya, terutama kalangan remaja rentang umur 15—20 tahun.

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perokok di Indonesia terus naik. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai 33,8% dan terjadi peningkatan jumlah perokok menjadi 9,1% pada penduduk usia 10—18 tahun.

Advertisement

Bertolak dari permasalahan tersebut, rasanya kenaikan tarif CHT relevan untuk menekan laju peningkatan perokok di Indonesia. Maklum, tembakau kadung melekat dengan rokok, karena minimnya produk selain rokok yang dihasilkan dari komoditas olahan tembakau. Namun, apakah dalam praktiknya akan efektif?

Setidaknya ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi pemerintah, yang paling utama menyangkut penerimaan negara, kinerja industri tembakau, peredaran rokok ilegal, bahkan berefek pada sektor pekerja, petani, hingga pedagang.

Industri tembakau selama ini menjadi tulang punggung penerimaan cukai negara. Saat banyak industri mengalami kelesuan akibat pandemi, industri tembakau justru berkontribusi terhadap perekonomi nasional sebanyak 96% dari total penerimaan cukai atau sebesar Rp170,24 triliun.

Bila tarif CHT dinaikkan, masa suram industri tembakau akan jadi keniscayaan. Dalam beberapa rilis media, Menkeu menjelaskan bahwa kenaikan tarif CHT akan berdampak pada kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok per batang maupun per bungkus.

Petani dan pekerja akan merasakan dampaknya, setidaknya nyaris 6 juta pekerja industri dan 3 juta petani menggantungkan hidupnya pada industri rokok. Belum lagi para pedagang dan investor juga akan merasakan dampak dari kenaikan tarif CHT.

Naiknya CHT akan berimbas pada kenaikan harga rokok dan berpeluang meningkatnya peredaran rokok ilegal. Selama 2020 negara mencatat kerugian Rp53,18 triliun akibat peredaran rokok ilegal.

Bila menilik tujuan kenaikan CHT untuk menekan angka perokok, agak naif bila pemerintah berasumsi kebijakan tersebut berjalan efektif. Faktanya, asumsi tersebut tak sesuai utopia yang diangankan. Meskipun tarif CHT terus dinaikkan, nyatanya angka perokok terus naik.

Pada 2018, pemerintah mengeluarkan industri rokok dari kelompok Daftar Investasi Negatif (DIN) yang ditujukan guna membantu Industri Rokok Kecil dan Menengah (IKM). Belum lagi, adanya alokasi dana bagi hasil (DBH) CHT guna membantu petani tembakau pada proses hulu ke hilir, seperti menyediakan bantuan bibit dan pupuk, hingga memberi pendampingan pelatihan profesi dan bantuan modal usaha untuk IKM.

Di lain hal, anggaran kesehatan Indonesia pada 2022 tergolong menjadi yang terendah hanya 9,4% dari total APBN 2022. Bila dibandingkan dengan beberapa negara dengan Produk Domestik Bruto rendah saat ini, Indonesia cenderung ‘perhitungan’ soal kesehatan masyarakat. Agak naif jika kenaikan CHT menjadi solusi final guna menekan angka perokok nasional, sementara biaya penanganan dan pencegahan yang ditujukan untuk menekan angka perokok saja masih sangat rendah.

EKSTENSIFIKASI CUKAI

Berkaca pada negara-negara Asean, Indonesia menjadi negara dengan objek cukai paling sedikit yakni hanya memiliki tiga kategori barang kena cukai (BKC). Thailand dan Brunei Darussalam mempunyai lebih dari 20 kategori BKC.

Sebenarnya Indonesia memiliki banyak potensi BKC yang menjadi pilihan ketimbang rutin menaikkan tarif CHT. Pemerintah harus mencari objek cukai baru sebagai alternatif sumber penerimaan cukai. Naif rasanya menampik fakta bahwa CHT berkontribusi 10% dari total APBN.

Bila tarif CHT terus naik setiap tahunnya tanpa diimbangi pertumbuhan ekonomi yang kuat, bukan tak mungkin berimbas pada kerugian negara dari hilangnya penerimaan CHT, hingga minusnya DBH. Sudah lama CHT jadi tulang punggung penerimaan negara.

Suka atau tidak, secara historis tembakau khususnya rokok atau kretek telah lama melekat dalam sosio kultur bangsa Indonesia. Rokok telah menjadi simbol identitas bangsa. Ia selalu hadir dalam setiap perhelatan besar dan tak pernah absen dalam mendampingi peristiwa bersejarah bangsa kita. Agak naif bila stereotip perokok sebagai beban BPJS terus digaungkan, di lain hal pemerintah hanya punya satu solusi.

Pemerintah harus mencari solusi alternatif dan menaikkan CHT tak dapat diasumsikan sebagai solusi yang efektif tanpa diimbangi upaya lainnya. Kadung melekatnya rokok sebagai budaya, identitas, bahkan chauvinisme sebuah bangsa, agaknya pemerintah wajib mencari alternatif kebijakan lain sambil berupaya dengan serius untuk menekan laju pertumbuhan angka perokok nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prediksi Cuaca Jogja dan Sekitarnya Rabu 24 April 2024: Hujan Sedang

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 06:37 WIB

Advertisement

alt

Berikut Rangkaian Program Pilihan Keluarga Indonesia Paling di Hati, Hanya di MNCTV

Hiburan
| Selasa, 23 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement