Advertisement

OPINI: Klithih, Pengasuhan Salah Jalan

Komarudin, Dosen Prodi Psikologi UNISA Yogyakarta
Senin, 11 April 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Klithih, Pengasuhan Salah Jalan Komarudin, Dosen Prodi Psikologi UNISA Yogyakarta

Advertisement

Dan terjadi lagi, kejahatan jalanan yang menimpa salah seorang pelajar di Yogyakarta yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Klithih yang dalam terminologi bahasa Jawa sebagai “klithah klithih” diatribusikan pada perilaku seseorang di malam hari ketika terbangun dan merasa lapar, tetapi di rumah tidak ada apa pun yang bisa dimakan, lalu mendorong orang tersebut untuk keluar rumah mencari makan. Namun sekarang telah bertransformasi menjadi kejahatan jalanan, “mencari-cari masalah” dengan subjek yang tidak dikenali/mencari korban secara acak.

Momentum euphoria Ramadan dengan pelonggaran PPKM yang seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan positif untuk meningkatkan religiusitas justru disalahgunakan oleh sekelompok remaja untuk berkumpul membuat klik dan crowd (kumpulan/kerumunan) untuk berkegiatan di malam hari. Remaja yang bergabung dalam sebuah klik atau crowd, maka bisa mengubah keyakinan dan perilaku mereka yang dianut sebelumnya terlebih mereka berada dalam berada dalam periode “storm and stress” menjadikannya mudah terpantik pada hal-hal emosional (Sarwono, 2015).

Advertisement

Meningkatnya kejahatan jalanan di DIY yang dirilis oleh polda DIY pada akhir 2021 menyiratkan tentang potret perilaku sekelompok remaja yang melakukan kejahatan jalanan dan ironisnya fenomena ini muncul lagi di tahun 2022 ini.

Fenomena ini meresahkan masyarakat yang siapa saja dapat menjadi korban. Bahayanya, jika riwayat kekerasan ini tidak diputus, perilaku tersebut dapat terus berlanjut atau terulang ke generasi berikutnya (intergenerational transmission).

Motif kelompok remaja melakukan klithih ini bervariasi. Apabila ditinjau dari psychological profiling penyebab kejahatan jalanan, faktor penyebabnya antara lain: frustrasi, stres, provokasi, senjata, deindividuasi, lingkungan, kepatuhan, alkohol, dan prasangka (Koeswara, 1988). Faktor ini saling terkait dan menjadi motif seseorang dalam berperilaku; sebagai contoh dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 3 April dini hari di Gedongkuning, Jogja.

Pada saat itu pelaku berkelompok melakukan pengeroyokan bisa karena terprovokasi oleh perilaku kawannya yang berhasil menyabetkan senjata tajam ke korban, sehingga kawannya yang lain ikut berpartisipasi melakukan penyerangan.

Adanya provokasi yang dilengkapi dengan penggunaan senjata tajam menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang memegang senjata secara psikologi akan lebih mudah berperilaku nekat, agresif, hingga kehilangan kendali.

Akibatnya banyak kasus menjadikan pelaku membabibuta untuk menyerang korban yang sudah tidak berdaya bahkan mengakibatkan nyawa melayang.

 

Ketahanan Keluarga

Tidaklah cukup memotret suatu fenomena hanya berhenti pada penyimpulan pada motif perilaku, akan tetapi perlu upaya preventif yang serius supaya peristiwa tersebut tidak terjadi kembali. Salah satu hasil penelitian dari Febriani (2018) menunjukkan bahwa akibat remaja (pelaku klithih) melakukan klithih karena relasi buruk dengan orang tua yang ditandai dengan adanya kekerasan fisik di rumah, pudarnya figur ayah dan kontrol orang tua yang lemah.

Sudah saatnya saat ini memutus rantai klithih melalui ketahanan keluarga. Menurut Euis (2011) terdapat tiga komponen besar untuk menandai apakah sebuah keluarga memiliki ketahanan yang cukup ataukah tidak. Ketiga komponen itu adalah (1) ketahanan fisik, yaitu keluarga memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (2) ketahanan psikologis, yaitu terbebasnya anggota keluarga dari pembiaran dan gambaran diri yang kabur (jika anak dari sebuah keluarga banyak mengalami perasaan cemas, takut, marah, kecewa, putus harapan, maka disinyalir peran keluarga untuk membantu keluar dari permasalahan klithih ini akan sulit), dan ketahanan sosial, yaitu partisipasi yang baik dari setiap individu dalam kehidupan di masyarakat, sehingga remaja memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Momentum Ramadan yang penuh dengan kebersamaan keluarga ini sepatutnya bisa dijadikan sebagai pengikat dan penguat bagi orang tua dan anak, sehingga menjadikan anak merasa aman, nyaman, dan dihargai dengan pengawasan yang proporsional dari orang tua.

Melalui penguatan ketahanan keluarga ini, menjadikan anak berusia remaja akan termotivasi untuk selalu berbuat kebaikan dan terhindar masuk ke dalam kelompok yang mengajarkan perilaku menyimpang.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemkab Sleman Berupaya Mempercepat Penurunan Angka Stunting

Sleman
| Jum'at, 19 April 2024, 07:27 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement