Advertisement

OPINI: Ancaman Krisis Utang Indonesia

As'ad Mahdi, Ekonom Samudera Indonesia Reasearch Initiatives
Sabtu, 23 Juli 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Ancaman Krisis Utang Indonesia Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/3/2020). Bloomberg - Andrew Harrer

Advertisement

Inflasi Amerika Serikat (AS) Juni 2022 mencapai 9,1% year-on-year (YoY), yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir di Juni 2022. Angka tersebut melampaui konsensus pasar yang dilaporkan oleh Tradingeconomics sebesar 8,8% YoY. Berkaca pada periode sebelumnya, jika realisasi inflasi AS lebih tinggi dari konsensus pasar, The Fed (Bank Sentral AS) kemungkinan besar akan meningkatkan suku bunga acuan lebih dari 25 basis poin (bps). Pada Federal Open Market Committee (FOMC) 27 Juli nanti, konsensus pasar memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75—100 bps.

Ketika Bank Sentral menaikkan suku bunga acuan, jumlah permintaan uang akan menurun karena cost of fund meningkat. Dari sisi penawaran, pelaku ekonomi juga akan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di instrumen keuangan yang lebih aman karena kenaikkan imbal hasil yang mengubah profil risiko investor. Perilaku tersebut pada akhirnya dapat menurunkan jumlah likuiditas di pasar dan sangat efektif dalam mengendalikan inflasi akibat permintaan berlebih (demand pull inflation).

Advertisement

Hal ini yang dilakukan The Fed pada paruh pertama 2022. The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan di bulan Maret sebesar 25 bps ke level 0,5%. Pada Mei 2022, suku bunga acuan kembali naik 50 bps ke level 1%. Kemudian pada Juni 2022, seiring dengan tetap meningkatnya laju inflasi di bulan Mei 2022, The Fed lanjut menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps ke level 1,75%. Sayangnya, akumulasi kenaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps belum juga cukup untuk menurunkan laju inflasi di Juni 2022.

Meskipun sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan dengan total kenaikkan 150 bps, inflasi AS masih belum menunjukkan tanda-tanda melandai, bahkan cenderung lepas kendali.

Terkait dengan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, kenaikkan suku bunga acuan AS (FFR) akan menyebabkan ketidakstabilan pada sektor finansial Indonesia seperti pasar saham, pasar utang, dan pasar foreign exchange (forex). Untuk menjaga stabilitas sektor finansial, Bank Indonesia nantinya harus menyesuaikan suku bunga acuannya (BI-7DRR) ke level premium (selisih antara FFR dan BI-7DRR) tertentu. Berdasarkan perhitungan penulis, pada periode 2020—2022, sektor finansial Indonesia berada pada kondisi stabil saat level premium BI-7DRR terhadap FFR sebesar 3,25%—4,25%. Dengan kata lain, apabila Bank Indonesia ingin menjaga stabilitas sektor finansial, maka level BI-7DRR sebaiknya lebih tinggi 3,25%—4,25% daripada FFR.

Sebagai gambaran, level premium BI-7DRR terhadap FFR pada bulan Mei dan Juni 2022 adalah 2,50% dan 1,75%, lebih rendah 1,50%—1,75% dari level premium pada saat sektor finansial stabil. Dampaknya adalah, pada periode akhir April—Juni 2022 nilai tukar rupiah terhadap dolar (US$/IDR) terdepresiasi 2,8%, indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah 4,4%, dan yield obligasi Indonesia 10 tahun naik 25 bps.

Selain itu, tekanan juga hadir dari laju inflasi. Inflasi tahunan Indonesia pada Juni 2022 mencapai 4,35% (lebih tinggi 35 bps dari batas atas target inflasi Bank Indonesia). Oleh karena itu, kemungkinan besar Bank Indonesia akan menaikkan BI-7DRR sampai dengan level premium 3,25%—4,25% daripada FFR. Dengan mempertimbangkan dinamika yang ada pada saat ini, penulis memprediksi BI-7DRR akan berada pada level 6%—6,5% di akhir 2022 atau 7,5%—8% apabila neraca transaksi berjalan mengalami defisit.

Apakah kenaikkan suku bunga acuan tersebut dapat menjadi jawaban untuk ketidakstabilan sektor finansial dan tingginya laju inflasi di negara berkembang? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya. Penulis melihat kenaikkan suku bunga acuan tidak akan berdampak terlalu besar terhadap laju inflasi, sebab laju inflasi saat ini lebih bersifat cost push inflation. Kemungkinan besar negara berkembang, khususnya Indonesia, akan dihadapkan pada fenomena suku bunga tinggi (untuk mencegah capital outflow yang masif ke negara maju) yang diiringi oleh pertumbuhan ekonomi rendah, atau bahkan negatif, seiring dengan pelemahan daya beli akibat inflasi tinggi.

Pada kondisi tersebut, sektor-sektor ekonomi dengan level utang yang tinggi akan menjadi sektor yang paling dirugikan. Hal tersebut karena sektor-sektor tersebut akan menghadapi dua persoalan sekaligus, yaitu masalah operasional akibat cost push inflation dan masalah finansial akibat suku bunga tinggi. Akibatnya, risiko gagal bayar pun akan semakin tinggi.

Apabila skenario tersebut benar-benar terjadi, maka jangan kaget apabila di akhir tahun 2022 akan banyak berita-berita ekonomi mengenai perusahaan-perusahaan yang gagal bayar utang atau bahkan bangkrut. Sebab, secara teori, kondisi saat ini memang meningkatkan ancaman krisis utang. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari setiap pelaku ekonomi untuk mengantisipasi ancaman tersebut agar nantinya tidak menjadi kenyataan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Penyair Joko Pinurbo Wafat, Jenazah Disemayamkan di PUKJ Bantul

Bantul
| Sabtu, 27 April 2024, 11:07 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement