Advertisement

OPINI: Efek Pengganda Pariwisata

Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Pengurus Kadin DIY & Ketua Pokdarwis Panembahan Gumregah Yogyakarta
Rabu, 27 Juli 2022 - 07:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Efek Pengganda Pariwisata Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Pengurus Kadin DIY & Ketua Pokdarwis Panembahan Gumregah Yogyakarta

Advertisement

Dalam bulan Juli 2022 penulis sempat berkunjung di tiga tempat destinasi wisata di Indonesia. Destinasi wisata tersebut adalah Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo, Bali (Kuta, Legian dan Nusa Dua), dan Kawasan Batu, Malang.

Dari pengamatan penulis selama beberapa hari di tiga destinasi wisata tersebut nampaknya kegiatan pariwisata sudah mulai bangkit. Indikasi kebangkitan tersebut dapat dilihat dari jumlah wisatawan yang datang di tempat-tempat wisata, hotel juga kepadatan di bandara dan stasiun kereta api. Harus diakui aktivitas pariwisata termaksud belum seperti sebelum pandemi Covid-19.

Advertisement

Kondisi tidak berbeda juga terjadi di DIY sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Aktivitas wisata sudah mulai bergerak sejalan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang semakin membaik, berdasarkan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 1 dan 2. Indikasi menuju pemulihan pariwisata antara lain dapat dilihat dari jumlah wisatawan yang datang ke DIY, okupansi hotel termasuk homestay, dan kemacetan lalu lintas di beberapa destinasi wisata.

Sejauh mana dampak pemulihan   akvitas pariwisata terhadap perekonomian baik daerah maupun nasional? Jawaban tersebut dapat dilihat dari efek pengganda (multiplier effect) dari aktvitas pariwisata tersebut.

Dampak kegiatan pariwisata secara makro melalui usaha makanan dan minuman, akomodasi, jasa transportasi, kawasan wisata, jasa hiburan, MICE (Meeting, Incentive, Conference and Exhibiton), dan usaha lainnya akan berujung dengan meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB). Secara mikro aktivitas pariwisata dapat meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dapat juga mendorong penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan pengembangan usaha yang terkait dengan kegiatan pariwisata.

Penyedia Jasa Wisata

Efek pengganda aktivitas pariwisata terjadi seluruh aktivitas pariwisata akan menciptakan konsumsi dari sisi wisatawan dan sekaligus terjadinya pendapatan yang diterima penyedia jasa wisata dan pelaku wisata lain serta pelaku ekonomi yang terlibat. Di samping itu, juga mendorong terjadinya investasi di sektor pariwisata baik dalam jangka menengah dan  panjang.

Investasi termaksud dipastikan dapat menyerap tenaga kerja dan menarik kegiatan ekonomi yang lain. Keterkaitan tersebut mencakup keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage). Seluruh aktivitas konsumsi dan investasi yang berdampak kepada meningkatnya pendapatan tersebut berujung kepada meningkatnya output secara agregat atau disebut dengan PDB.

Berdasarkan data Kemenparekraf RI (2022), selama periode 2017-2019, kontribusinya cenderung meningkat masing-masing sebesar 4,11% (2017), 4,50% (2018) dan 4,70% (2019) (Sri Susilo, 2022).

Selanjutnya sejalan dengan terjadinya Pandemi Covid-19 msksa pada tahun 2020 kontribusinya menurun menjadi 4,05%. Kemudian pada tahun 2021 sedikit meningkat menjadi 4,20%, kondisi ini sejalan dengan mulai bergeraknya aktivitas pariwisata. Pada 2022 diharapkan kontribusinya meningkat menjadi 4,30%.

Selama periode 2010-2019, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas yang termasuk pariwisata cenderung meningkat (Kemenparekraf, 2021). Sebagai contoh, jumlah tenaga pada tahun 2016 sebesar 11,8 juta tenaga kerja atau sebesar 9,87% dari total pekerja nasional. Kemudian pada 2019, meningkat menjadi 13 juta atau 12,28% total pekerja nasional. Pada tahun 2020 jumlahnya menurun menjadi 10 juta pekerja atau turun sekitar 3 juta dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan tersebut terkait dengan Pandemi Covid-20 yang sejak bulan Maret 2020 melanda Indonesia. Pandemi tersebut menjadikan penerapan kebijakan pembatasan mobilitas sehingga aktivitas pariwisata hampir berhenti total. Dari sisi penawaran, pelaku pariwisata menghentikan atau menutup kegiatannya. Dari sisi permintaan, wisatawan harus beraktivitas dari rumah dan hanya melakukan aktivitas di luar rumah jika untuk keperluan yang penting saja. Jadi kegiatan berwisata oleh masyarakat juga berhenti. Kondisi tersebut menjadikan pelaku pariwisata merumahkan pekerjanya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Efek pengganda kegiatan pariwisata terhadap perekonomian dapat dilihat dari Indonesia Tourism Account (TSA) pada 2016-2019 yang diterbitkan BPS (2021). Kontribusi pariwisata terhadap perekonomian dapat dilihat dari indikator Nilai Tambah Bruto Industri Pariwisata (Gross Value Added Tourism Industry/GVATI), pengaruh langsung pariwisata terhadap  Nilai Tambah (Tourism Direct Gross Valued Added/TDGVA) dan pengaruh langsung pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto/PDB (Tourism Direct Gross Domestic Product /TDGDP).

Pada 2016 hingga 2018, GVATI cenderung mengalami penurunan (BPS. 2021). Pada 2016, nilai GVATI menunjukkan nilai sebesar 7,10 persen. Sedangkan pada 2019, angka GVATI menunjukkan nilai sebesar 7,15 persen atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Selanjutnya nilai TDGVA, dari tahun 2016 hingga 2019 menunjukkan peningkatan yaitu dari 4,63% pada 2016 menjadi sebesar 4,97% pada tahun 2019. Dalam periode yang sama, TDGDP mengalami peningkatan dari 2016 dengan nilai TDGDP sebesar 4,65% meningkat menjadi 4,97% pada 2019.

Dampak aktivitas pariwisata terhadap perekonomian secara lebih detil dapat juga dilihat dari publikasi Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) yang diterbitkan Badan Pusat Publikasi (BPS, 2019). Dari publikasi tersebut, dapat digunakan untuk mengukur dinamika dan skala ekonomi yang terjadi akibat kegiatan pariwisata, mata rantai sektor-sektor ekonomi terkait pariwisata, serta peranan pariwisata dalam perekonomian nasional seperti dalam pembentukan PDB, penciptaan lapangan kerja, penerimaan negara dari pajak dan retribusi, serta dalam ekspor barang dan jasa.

Agar aktivitas pariwisata lebih cepat pulih maka masyarakat harus berani untuk berwisata meskipun dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Dari sisi pelaku pariwisata menyiapkan kegiatan pariwisata yang menerapkan prinsip CHSE Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability). Dengan demikian upaya pemulihan pariwisata harus dilakukan secara simultan baik dari sisi penawaran (pelaku pariwisata) dan sisi permintaan (wisatawan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cuaca DIY Hari Ini Jumat 19 April 2024: Jogja, Sleman dan Gunungkidul Hujan Lebat Disertai Petir

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 06:37 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement