Advertisement

OPINI: Dekolonialisasi, Usaha Menghilangkan Pola Pikir Bangsa Terjajah

Tegar Satya Putra, Dosen Departemen Manajemen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 18 Agustus 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Dekolonialisasi, Usaha Menghilangkan Pola Pikir Bangsa Terjajah Tegar Satya Putra, Dosen Departemen Manajemen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Mulai dari bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Jepang pernah menjadi penjajah Indonesia, sampai pada akhirnya Indonesia dapat merdeka pada tahun 1945 dan akhirnya selama 77 tahun Indonesia sudah bebas dari penjajahan.

Harus diakui, bahwa perjalanan kita untuk mencapai kemerdekaan cukuplah panjang, namun benarkah kita sudah benar-benar merdeka? Sepertinya perjuangan kita masih belum selesai. Mengapa penulis berpikir demikian? Coba pikir, berapa banyak dari kita merasa bahwa makanan barat lebih mewah dan berkualitas daripada makanan Indonesia?

Advertisement

Selain itu, mengapa banyak produsen baju memakai orang kulit putih sebagai model produk pakaian mereka? Apakah Anda pernah bertanya kepada diri anda sendiri mengapa dua hal tersebut bisa lumrah terjadi di Indonesia?

Mengapa kita selalu menganggap segala sesuatu yang dilakukan “bule” dan segala budaya mereka adalah sesuatu yang spesial? Penulis berpendapat hal ini terjadi karena kita masih mempunyai mentalitas kolonial.

Mentalitas Kolonial

Guna memahami apa itu mental kolonial, kita harus tahu terlebih dahulu apa itu kolonial. Kolonial berasal dari kata koloni yang berarti daerah jajahan. Contohnya pada saat Belanda menjajah Indonesia, Indonesia adalah koloni dari negara Belanda. Maka dari itu kolonial berarti sesuatu yg berhubungan dengan koloni.

Lalu apa itu mentalitas kolonial? Mentalitas kolonial mengacu pada pola pikir kelompok/suku yang terjajah. Dalam pidatonya, Jokowi juga menyatakan keresahan terhadap masih kuatnya mentalitas kolonial di benak WNI.

Banyak dari kita, warga Indonesia, yang menganggap bahwa kulit putih dan hidung mancung seperti orang kulit putih adalah standar baku kecantikan. Dilansir dari artikel South China Morning Post, orang Indonesia menganggap dirinya inferior, dan menganggap bahwa orang kulit putih adalah manusia yang lebih superior dari kita. Contohnya, banyak orang kulit putih yang menuai kesuksesan dari menjadi model dan selebritis, karena orang Indonesia cenderung menganggap kulit putih dari orang kulit putih lebih bagus dan cantik dari kulit kuning langsat atau sawo matang yang biasa dimiliki orang Indonesia. Maka banyak produk-produk kecantikan yang memberikan janji “memutihkan” kulit.

Selain masalah warna kulit, dampak mentalitas kolonial juga terjadi pada persepsi kita ke berbagai suku di Indonesia yang menyebabkan banyak perpecahan dan perang saudara. Salah satu dampak perpecahan yang masih kita rasakan adalah ketegangan kita dengan saudara kita di Papua.

Ketegangan dengan saudara kita di Papua bermula dari strategi sekutu untuk memecah belah persatuan Bangsa Indonesia dengan membagi Indonesia menjadi enam negara bagian. Salah satunya adalah negara Indonesia Timur yang wilayahnya meliputi Papua dan Maluku.

Dalam memerintah negara bagian tersebut, khususnya di wilayah negara Indonesia Timur, Belanda menerapkan pemisahan wilayah dan hak berdasarkan warna kulit. Orang kulit putih adalah yang paling superior sementara warga Papua merupakan kelompok dengan hak paling terbatas.

Dampak Pemisahan atau segregasi hak berdasarkan warna kulit ini masih terbawa sampai hari ini, orang-orang menomorduakan warga Papua yang berujung pada konflik tidak berkesudahan di tanah Papua.

Pertumbuhan Ekonomi

Mentalitas kolonial tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial, kondisi perekonomian suatu negara juga terdampak karena kentalnya mentalitas ini di benak warganya. Contohnya, negara Pakistan yang merupakan bekas jajahan Inggris, menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari negara barat lebih berkualitas. Adanya mentalitas ini menyebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi di Pakistan.

Orang Pakistan lebih memilih bekerja di luar negeri ditambah lagi mereka lebih suka membeli barang impor. Kedua hal tersebut menyebabkan menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB) Pakistan.

Apa yang terjadi di Pakistan sebenarnya juga terjadi di Indonesia, namun kita masih lebih beruntung karena hambatan bahasa membuat lebih sulit untuk orang Indonesia mencari peruntungan di negara lain. Namun sampai kapan kita harus berdiam diri, kasus-kasus penerima beasiswa LPDP yang “kabur” ke luar negeri harusnya menyadarkan kita untuk mulai menghilangkan mentalitas kolonial di benak kita.

Men-dekolonialisasi Mentalitas

Cara untuk menghilangkan mentalitas kolonial adalah dengan pendekatan dekolonialisasi. Sebelum mengetahui cara melakukan dekolonialisasi, sebaiknya kita mengetahui arti dari dekolonialisasi. Kata dekolonialisasi mempunyai dua arti. Arti yang pertama adalah merdekanya suatu wilayah dari penjajahan, sedangkan arti yang kedua adalah membebaskan dari pengaruh kolonialisme. Sesuai dengan hal-hal yang sudah dibahas pada tulisan ini, penulis fokus pada arti kedua dari dekolonialisasi. Lalu bagaimana cara kita melakukan dekolonialisasi? Mari mulai dari pikiran kita sendiri terlebih dahulu.

Kunci dari dekolonialisasi diri sendiri adalah berpikir kritis dan refleksi. Mulai dari sekarang, mulailah lebih kritis terhadap akvititas yang kita lakukan sehari-hari.

Awali dengan bertanya pertanyaan kritis seperti “mengapa kita harus melakukan suatu aktivitas dengan preferensi tertentu?”. Contohnya, pada saat berbelanja Anda sadar bahwa Anda cenderung membeli kosmetik dengan merek yang menggunakan Bahasa Asing. Saat anda sadar akan hal tersebut mulailah bertanya “ Mengapa saya lebih condong membeli kosmetik yang menggunakan bahasa inggris dalam merek mereka; apakah memang benar kualitas kosmetik dengan merek tersebut lebih bagus?” Dengan mempertanyakan kebiasaan anda sendiri seperti contoh di atas, Anda sudah selangkah lebih maju dalam mendukung gerakan dekolonialisasi. Setelah anda mampu mengkritisi aktivitas sehari-hari Anda, mulai perbesar ruang kritis anda, mulailah mengkritisi tren atau tata cara yang ada di keluarga dan lingkungan tempat tinggal Anda.

Akhir kata, penulis ingin menekankan bahwa dekolonialisasi adalah tanggung jawab kita semua. Kita harus mulai melakukan gerakan nyata untuk mendekolonialisasi mentalitas kolonial yang sudah mendarah daging antar generasi di Indonesia. Proses ini tidak akan mudah dan akan banyak penolakan, namun kita harus ingat bahwa pada akhirnya kita melakukan ini untuk kebaikan bersama, kebaikan Bersama untuk semua Warga Negara Indonesia.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lomba Dirikan Tenda Darurat Meriahkan HUT Ke-20 Tagana

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 16:47 WIB

Advertisement

alt

Lokasi dan Harga Tiket Museum Dirgantara Jogja, Cek di Sini

Hiburan
| Sabtu, 20 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement