Advertisement

OPINI: Mengelola Inflasi Pangan

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia & Komite Pendayaagunaan Pertanian
Jum'at, 26 Agustus 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Mengelola Inflasi Pangan Pengendara mengisi bahan bakar di SPBU, di Jakarta, Senin (9/4/2018). - JIBI/Dwi Prasetya

Advertisement

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meluncurkan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan di Malang, Jawa Timur, 10 Agustus 2022. Ia mengajak seluruh kementerian dan lembaga serta pemda bersinergi mengendalikan inflasi pangan yang mulai merambat ke dalam negeri.

Ia menyebut, inflasi pangan terseulut kenaikan harga komoditas pangan global usai Rusia menginvasi Ukraina. Bagi Perry, ini masalah krusial dan serius karena menyangkut urusan perut warga yang bisa berdampak sosial.

Advertisement

Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan sangat penting setidaknya karena dua hal. Pertama, inflasi pangan masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah relatif berhasil menjinakkan inflasi. Inflasi bisa ditekan di bawah satu digit. Inflasi rendah disumbang oleh terkendalinya kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti. Sebaliknya, inflasi yang disumbang oleh sektor pangan (volatile foods) masih jadi masalah besar.

Catatan panjang dari 2014 hingga 2021 inflasi nasional bergerak dari 1,3% hingga 8,36%. Dalam rentang 8 tahun itu sumbangan inflasi pangan (bahan makanan, makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau) rerata mencapai 49,3%/tahun. Andil inflasi pangan terendah dalam inflasi nasional terjadi pada 2017: 26% dari inflasi 3,61%. Andil inflasi pangan tertinggi terjadi pada 2016: 70,1% dari inflasi nasional 3,01%. Ada 11 komoditas penyumbang inflasi pangan: mie dan ikan segar (menyumbang inflasi 7 x dalam 8 tahun); daging ayam ras (6x); beras (5x); bawang merah dan telur ayam ras, cabe merah, cabe rawit, dan minyak goreng (4x); bawang putih dan gula pasir (2x), serta daging sapi (1x).

Besarnya andil inflasi pangan juga terbaca dari inflasi tahun 2022. Dari (total) inflasi tahun berjalan (Januari-Juli) 3,85% andil inflasi inti hanya 2,11%. Sedangkan andil komponen administered prices dan volatile foods masing-masing mencapai 5,13% dan 9,24%.

Khusus Juli 2022, inflasi mencapai 0,64%. Inflasi pangan tinggi di Juli disumbang sejumlah komoditas, seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras. Ada pula sumbangan pangan asal impor: terigu, gula, dan kedelai.

Kedua, memastikan semua warga terpenuhi haknya atas pangan dengan menjamin akses pada pangan bergizi dengan harga terjangkau.

Sesuai konstitusi, pemenuhan hak atas pangan itu hingga level individu. Mengendalikan inflasi pangan jadi amat penting. Karena inflasi pangan yang tinggi bukan saja menjadi mimpi buruk bagi warga miskin, pada saat yang sama juga mengancam pemenuhan atas hak pangan mereka. Apa pasal? Karena di satu sisi inflasi naik didorong kenaikan harga pangan.

Di sisi lain, kemampuan memenuhi kebutuhan pangan menjadi indikator utama penentuan garis kemiskinan.

Konsekuensi dari situasi ini, kenaikan laju inflasi dipastikan bakal menyundul batas garis kemiskinan. Implikasinya, inflasi yang tinggi, terutama yang didorong oleh inflasi pangan, tidak hanya membuat warga yang ada di dalam di garis kemiskinan semakin miskin.

Warga yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan pun akan turun kelas: dari tidak miskin jadi golongan miskin. Jumlah orang miskin tak turun signifikan salah satunya karena pengeluaran mereka masih dominan pangan: 74,08% dari pengeluaran rumah tangga pada Maret 2022. Hanya 25,92% pengeluan non-makanan.

Implikasi dari kondisi ini, stabilitas pasokan dan harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses pangan warga, terutama yang miskin, tetap terjaga baik. Tentu ini bukan wilayah BI. Tetapi sebagai otoritas penjaga inflasi BI bisa mendorong pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar serius mengurus pangan.

Seperti kelompok harga-harga yang diatur pemerintah, inflasi pangan sejatinya bisa dikelola agar tak bergerak liar bagai roller coaster: naik-turun tajam. Setidaknya ada empat hal agar inflasi pangan terkelola.

Pertama, memastikan ketersediaan komoditas pangan biang inflasi. Untuk pangan yang sepenuhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri, ini otoritas Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dua kementerian ini mesti memastikan kecukupan pangan.

Sebaliknya, untuk komoditas pangan yang sebagian dipenuhi dari impor atau sepenuhnya impor seperti gandum, harus ada pengaturan impor agar sesuai dengan produksi domestik dan permintaan dalam negeri: kapan izin keluar, berapa kuota, dan yang lain. Mempertemukan pasokan-permintaan menjadi titik krusial. Kementerian Perdagangan sebagai pengatur beleid impor mesti koordinasi dengan kementerian teknis.

Kedua, memastikan komoditas pangan, terutama yang partisipasi konsumsinya sudah hampir sempurna alias 100%, tersedia merata di seluruh wilayah Indonesia dengan harga terjangkau. Beras misalnya, produksinya masih terpusat di Jawa. Pulau yang hanya 7% luas Indonesia ini menyumbang 55-56% produksi beras nasional.

Selain itu, hanya 5-8 dari 12 bulan dalam setahun terjadi surplus beras. Sisanya, 4-9 bulan produksi beras defisit. Ini menuntut manajemen distribusi dan pengelolaan stok yang handal di seluruh pelosok negeri. BUMN pangan, seperti Bulog dan ID Food bisa ditugaskan jadi operator.

Ketiga, mengatur harga komoditas pangan strategis. Dibandingkan negara lain, negeri ini tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian harga.

Saat negara lain rigid mengatur dan mengendalikan harga pangan, Indonesia cenderung menyerahkan harga pangan pada pasar. Hampir semua harga pangan, kecuali beras, gula dan minyak goreng, diserahkan mekanisme pasar. Ini tak salah bila infrastruktur distribusi sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar. Yang penting, harga itu sudah mempertemukan kepentingan produsen-konsumen.

Keempat, menetapkan cadangan komoditas pangan strategis. Cadangan ini akan menjadi instrumen intervensi ketika terjadi kegagalan mekanisme pasar (market failure). Misalnya, ketika harga pangan naik jauh di atas toleransi harga yang diatur, pemerintah bisa menugaskan operasi pasar pada BUMN operator.

Sebagai pelengkap ini, pemerintah bisa menugaskan BUMN operator untuk menyerap produksi pangan domestik sebagai cadangan. Untuk pangan yang sebagian atau sepenuhnya diimpor, BUMN operator bisa diberi tugas mengimpor. Yang penting, bagaimana penugasan ini tak mematikan swasta.

Di bawah orkestrasi Badan Pangan Nasional (NFA), ada harapan stabilisasi harga dan pasokan pangan lebih terkendali. Jika harga dan pasokan pangan terkendali, bisa dipastikan andil inflasi pangan lebih terkelola. Institusi yang beroperasi Februari 2022 itu mengurus pangan hulu-hilir: ketersediaan, stabilisasi pasokan dan harga, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi, dan keamanan pangan.

Sebagai institusi baru, NFA tentu butuh dukungan dan keterlibatan semua pemangku kepentingan pangan. Urusan pangan yang semula terkotak-kotak kini di bawah satu dirijen: NFA.Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Terbaru! KRL Jogja-Solo Sabtu 20 April 2024, Berangkat dari Stasiun Tugu dan Lempuyangan

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 00:57 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu Kristen Tak Terbatas, Tuhan Akan Angkat Kamu From Mess to Masterpiece!

Hiburan
| Jum'at, 19 April 2024, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement