Advertisement

OPINI: Kohesi Kebangsaan sebagai Pilar Berdemokrasi

Andre Rahadian Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia
Senin, 29 Agustus 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Kohesi Kebangsaan sebagai Pilar Berdemokrasi

Advertisement

Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki modal sosial. Kemajemukan dan keberagaman yang dimiliki Indonesia bukanlah suatu hal yang melemahkan bangsa ini.

Justru dengan sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi, kemajemukan dan keberagaman menjadi modal sosial yang kuat agar bangsa Indonesia bisa maju.

Advertisement

Hari ini, kemajemukan dan keberagaman yang ada justru terpolarisasi serta memberikan dampak negatif.

Polarisasi menghilangkan harmoni di antara warga negara, bahkan dimanfaatkan oleh oknum elit untuk menempatkan kepentingannya di atas kepentingan publik. Termasuk dalam kontesasi pemilu.

Nilai-nilai demokrasi pun disalahgunakan untuk memperkeruh polarisasi dengan dalil kebebasan berpendapat.

Saat ini bangsa kita menganut sistem pemilihan kepala negara secara langsung dengan mengusung prinsip one man one vote yang dianggap paling demokratis. Hal ini tertuang dalam Pasal 6 UUD 1945 pasca amandemen.

Namun, Indonesia telah bergeser dari sebelumnya demokrasi melalui musyawarah untuk mufakat menjadi demokrasi eleksional.

Dalam model demokrasi eleksional, prinsip yang paling penting untuk dipenuhi adalah majority rules minority rights. Tidak ada yang salah dengan model demokrasi seperti ini.

Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Setiap individu dewasa paling tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam lima pemilihan.

Pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD dan pemilihan kepala daerah.

Sistem demokrasi eleksional dengan mekanisme direct vote akan memastikan pelibatan aktif dari seluruh masyarakat.

Semua individu didengar. Semua individu memiliki hak yang sama untuk menentukan siapa pilihannya.

Sistem demokrasi kita saat ini memang dirasa paling demokratis, tetapi permasalahannya adalah kontesasi menang-kalah seperti ini kemudian menimbulkan kebencian.

Menang dan kalah dalam pemilu merupakan suatu keniscayaan, sama seperti mencari keadilan dalam pengadilan.

Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menerima kemenangan sebagai amanah dan kekalahan sebagai pelajaran, satu hal yang absen dari episode pemilu sebelumnya.

Kekhawatiran Fukuyama terhadap ancaman abad 21 hampir terlihat sangat nyata di Indonesia.

Salah satu tanda gagalnya suatu negara di abad ini adalah konflik antar kelompok. Hal ini membutuhkan penanganan segera.

Diperlukan suatu kohesi dalam berbangsa untuk mengurangi dampak negatif dari perbedaan. Karena sesungguhnya, perbedaan dan kemajemukan, jika dibungkus dengan nilai tenggang rasa dan toleransi, meupakan berkah bagi bangsa ini.

Bagi bangsa Indonesia, modal sosial sesungguhnya telah hidup di antara kita sejak dahulu kala. Sejak kecil kita diajarkan sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi.

Para founding fathers juga sadar betul bahwa rakyat Indonesia sangatlah majemuk, sehingga menguatkan modal sosial merupakan suatu keharusan untuk menjaga keutuhan bangsa.

Sayangnya, saat ini modal sosial kita mulail kehilangan kepercayaan akibat polarisasi yang menciptakan keresahan, kebencian, sinisme dan stigmatisasi antar kelompok. Hal ini diperparah dengan calon pemimpin yang memanfaatkan situasi untuk memenangi pemilu.

Mencari pemimpin dengan Semangat Kohesi Kebangsaan

Jika dahulu founding fathers sibuk untuk mencari titik-temu atas perbedaan, saat ini yang terjadi adalah kita sibuk menonjolkan perbedaan yang kita miliki sebagai klaim bahwa pandangan kita yang paling benar dan paling baik.

Hal tersebut dilakukan hanya demi mencari suara dalam kontestasi pemilihan pemimpin. Dalam kondisi ini, tidak mungkin akan muncul trust.

Gerakan membangun kohesi kebangsaan sudah mulai banyak dibicarakan dan menjadi diskursus di berbagai medium.

Kohesi Kebangsaan sebagai suatu pergerakan telah diusung oleh ILUNI UI sebagai agenda nasional dalam mencari pemimpin bangsa.

Gerakan ini dimulai sejak Oktober 2021 dan menjadi diskusi utama dalam kegiatan Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan dalam acara pertemuan ILUNI UI 2022.

Marilah kita bersama-sama mengusung gerakan ini sebagai jalan untuk mencari dan memilih pemimpin bangsa pada masa depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

LITERASI KESEHATAN: Warga Lansia Diminta Bijak Memilih Jenis Olahraga

Gunungkidul
| Jum'at, 26 April 2024, 22:07 WIB

Advertisement

alt

Giliran Jogja! Event Seru Supermusic Superstar Intimate Session Janji Hadirkan Morfem

Hiburan
| Jum'at, 26 April 2024, 17:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement