Advertisement

OPINI: Pengadilan Nitizen Berupa Cancel Culture

Agatha Mayasari, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kamis, 13 Oktober 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Pengadilan Nitizen Berupa Cancel Culture Agatha Mayasari, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Advertisement

Pada era digitalisasi, media sosial telah membuka portal individu menjadi kolektif dan dapat bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo bagi individu lain. Melalui internet, media sosial telah mengubah bagaimana, kapan, dan di mana interaksi apapun bisa terjadi tanpa ada batas tembok penghalang antara ranah pribadi dan ranah publik.

Baru-baru ini, media sosial dan beberapa saluran televesi di Indonesia diramaikan dengan aktivitas boikot salah satu figur publik yang diisukan telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Advertisement

Tindakan boikot yang dilakukan adalah sebagai bentuk sanksi tekanan publik untuk tidak memberikan ruang bebas tampil bagi pelaku. Contoh lainnya, pada tahun 2021 pembawa acara talk show Elen DeGeneres mendapat tuduhan melakukan penyimpangan kerja dalam bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual. Tindakan negatif yang dituduhkan tersebut menjadi dasar bagi nitizen untuk dengan bebas melakukan pemboikotan pelaku secara personal melalui media sosialnya.

Seiring perkembangan penggunaan media sosia yang masif, tindakan boikot tersebut memunculkan istilah baru yang happening di kalangan nitizen, yaitu cancel culture. Apa sih maksudnya cancel culture? Istilah cancel culture umumnya merujuk pada penggunaan media sosial (atau platform publik) untuk "membatalkan" reputasi figur publik, biasanya sebagai tanggapan terhadap peristiwa atau skandal sosial yang negatif.

Menurut Mueller (2021), cancel culture berpotensi untuk mendekonstruksi kehidupan siapa saja dan kapan saja tanpa pandang bulu. Hal ini dapat ditujukan kepada seorang figur publik yang menyinggung kelompok minoritas etnis, seksual, atau gender. Individu yang “dibatalkan” berkali-kali dituduh melakukan intimidasi, seksisme, rasisme, atau homofobia. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan influencer dan bintang film; perusahaan juga dapat “dibatalkan” melalui boikot produk atau layanan. Umumnya, tujuan dari individu yang terlibat dalam cancel culture adalah untuk meremehkan “target” mereka sampai menghapus pengakuan orang atau entitas tersebut, atau merusak efek positif apa pun untuk dihapus, ditolak, atau dibatalkan.

Pada akhirnya, cancel culture adalah bentuk keadilan mentah dan protes sosial yang tidak seimbang yang secara luas dapat disamakan dengan konsep pelabelan, mempermalukan profil sosial, atau permintaan maaf kepada publik yang dipaksakan dengan maksud menyebabkan kerusakan reputasi yang tidak dapat diubah.

Yang banyak terjadi di media sosial, individu terjebak pada perdebatan dalam sebuah tindakan atau skandal yang bertentangan dari figur publik yang tidak dapat diterima oleh nitizen. Lebih dari itu, dalam teknologi digital, jejak digital perilaku masa lalu dari target cancel culture menjadi santapan empuk bagi nitizen.

Artinya, masa lalu tetap ada di masa sekarang, dapat diakses kapan saja cukup dengan klik tombol telepon pintar atau komputer. Nitizen tidak lagi fokus pada masalah atau isu perdebatan utama. Jejak digital yang ada tidak lagi bisa dikompromikan oleh nitizen. Hal ini semakin memperluas serangan nitizen dalam mencari dukungan melalui bentuk “calling” banyak orang untuk menggiring stigmatisasi negatif dari target, ad hominem.

Adanya tindakan cancel culture, sebenarnya diharapkan dapat memberikan efek jera atau sebagai bentuk punishment bagi target. Namun sayangnya, pada era digitalisasi ini, cancel culture menjadi budaya toksik di kalangan nitizen.

Bola Liar

Cancel culture berkembang seperti bola liar menjadi pengadilan nitizen di mana nitizen beramai-ramai berubah profesi menjadi hakim atau juri bagi hidup individu lain, merasa paling benar. Secara individu maupun berkelompok, nitizen melakukan perundungan atau serangan kepada target melalui media sosial dalam bentuk ujaran kebencian, caci maki, report akun media sosial hingga efeknya dapat merusak mental target. Lebih dari itu, target  cancel culture dapat merasakan bahwa diri pribadi mereka tidak berguna, merasa tidak mendapatkan kesempatan kedua, merasa menjadi individu yang paling bersalah dalam dunia ini, merasa takut menyuarakan pendapat secara publik, bahkan yang paling fatal target cancel culture nekat melakukan tindakan bunuh diri. Tindakan cancel culture menjadi bahaya bagi reputasi target.

Oleh karena itu, dalam bermedia sosial, Kosseff (2016) menyarankan bahwa dalam kegiatan bermedia sosial perlu adanya kewaspadaan di mana ketika individu tidak waspada maka dapat menyebabkan kerusakan reputasi pribadi, secara adil atau tidak adil, dengan perlu memperhatikan sifat kemampuan media sosial, yaitu mampu membuat sesuatu menjadi viral dengan jangkauan penonton yang amat luas dan dalam waktu singkat.

Respons cepat nitizen masa kini dapat mengubah reputasi individu. Hal ini semakin dipertegas dengan peribahasa  yang selaras dengan tindakan cancel culture, “nila setitik rusak susu sebelanga”, maknanya adalah hati-hatilah dengan tindakan kita dalam bermedia sosial, jangan sampai karena tindakan “terpleset” akan menghancurkan atau membuat kacau karier, kredibilitas, integritas, dan reputasi kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Transformasi Digital UMKM, Diskominfo DIY Gelar Pelatihan E-Business

Bantul
| Kamis, 18 April 2024, 18:37 WIB

Advertisement

alt

Film Korea Selatan Terbaru, Jo Jung Suk Tampil sebagai Pilot Cantik

Hiburan
| Rabu, 17 April 2024, 23:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement