Pengelolaan Kas Daerah: Belajar dari Masjid Jogokaryan Jogja
Advertisement
Salah satu isu pengelolaan keuangan pada pemerintah daerah di seluruh Indoensia yang sering dipermasalahkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah terkait besarnya dana yang mengendap di Rekening Kas Daerah pada sejumlah Pemerintah Daerah, atau yang biasa dikenal dengan istilah idle cash atau dana yang menganggur.
Disebut dana menganggur karena dana tersebut hanya mengendap pada sejumlah bank tanpa berputar. Berdasarkan data dari konferensi pers APBN Kita bulan November 2022 yang lalu diperoleh data bahwa dana Pemerintah Daerah se-Indonesia yang mengendap di perbankan per 31 Oktober 2022 sebesar Rp278 triliun. Jumlah ini sungguh besar dan sangat disayangkan, karena sejatinya dana menganggur tersebut dapat digunakan untuk memperkuat laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Advertisement
Hal ini sungguh ironis, mengingat sebagian besar dana yang diterima oleh mayoritas pemerintah daerah di Indonesia berasal dari dana APBN, baik itu berupa Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Sementara kita tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini APBN kita selalu mengalami defisit, dimana defisit tersebut kemudian ditutup oleh utang pemerintah.
Ironisnya, sebagian uang dari hasil pinjaman pemerintah tersebut ditransfer kepada pemerintah daerah dengan harapan bahwa pemerintah daerah akan mempergunakan dana transfer dari pemerintah pusat secara bijak.
Namun ternyata oleh sejumlah pemerintah daerah, dana transfer dari pemerintah pusat tersebut malah diendapkan pada perbankan dengan harapan pemerintah daerah akan menerima imbalan bunga atau jasa giro dari pihak perbankan. Uang yang diendapkan pada perbankan, secara teori, tidak dapat membantu menggerakkan roda perekonomian. Dengan kata lain, kalau dilihat dari sisi pemerintahan atau sektor publik, uang akan lebih bermanfaat jika uang tersebut dibelanjakan, bukan diendapkan pada perbankan.
Dalam teori ekonomi makro, pendapatan nasional atau perekonomian nasional, atau lebih dikenal dengan sebutan Produk Domestik Bruto (PDB) dihitung dengan rumus sebagai berikut: Y = C + I + G + ( X – M ). Dimana PDB (Y) adalah akumulasi dari konsumsi masyarakat (C), ditambah Investasi (I) yang biasanya berasal dari perusahaan swasta, ditambah Belanja Pemerintah (G), ditambah Ekspor (X) dikurangi Impor (M). Dari rumus ini terlihat jelas bahwa Belanja Pemerintah, termasuk Belanja Pemerintah Daerah, turut menyumbang laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan data BPS, Produk Domestik Bruto di Indonesia selama Triwulan-III tahun 2022 adalah sekitar 5 ribu triliun, dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,72% (y-on-y). Misalkan kita asumsikan bahwa dari dana Pemerintah Daerah yang mengendap pada perbankan yang totalnya mencapai Rp278 triliun itu, kita asumsikan sebagian besarnya, katakanlah sebesar Rp200 triliun, digunakan untuk Belanja Pemerintah, entah itu Belanja Barang dan Jasa atau Belanja Modal. Maka angka Rp200 triliun ini angka mendongkrak PDB Triwulan III tahun 2022 menjadi sebesar Rp 5,2 triliun.
Jika PDB triwulan III tahun 2022 sebesar Rp5,2 triliun, maka laju pertumbuhan ekonomi boleh jadi akan melesat menjadi sekitar 7% (y-on-y). Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tentunya akan mendongkrak tingkat perekonomian di Indonesia, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga pada gilirannya dapat semakin mempercepat pemulihan ekonomi nasional di Indonesia.
Bagaimana dengan pengelolaan Kas di Rekening Daerah di wilayah DIY? Jika penulis bandingkan dengan wilayah lain, maka rata-rata Pemda di wilayah DIY memang tidak mengendapkan uang di perbankan dalam jumlah yang se-ektrim pemerintah daerah lainnya di luar DIY. Dengan kata lain, jumlah uang yang menganggur, atau sebut saja dengan istilah SiLPA pada pemerintah daerah di wilayah DIY masih dalam batas wajar.
Berdasarkan data dari LKPD tahun 2021 Audited, rata-rata SiLPA Pemda di DIY sekitar 10~15% dari total APBD. Namun demikian, walaupun jumlah SiLPA di wilayah DIY masih tergolong wajar jika dibandingkan dengan pemda lainnya, bukan berarti bahwa pengelolaan kas pada rekening kas daerah di wilayah DIY sudah optimal. Masih banyak sejumlah ruang perbaikan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah agar pengelolaan keuangan pada pemerintah daerah lebih optimal, atau dengan kata lain, agar jumlah idle cash yang diendapkan oleh pemerintah daerah lebih diminimalisir.
Berdasarkan perhitungan yang penulis lakukan, jumlah idle cash atau SiLPA pada Kas Daerah yang ideal pada setiap pemerintah daerah sebaiknya berkisar antara 8% hingga maksimal 12% dari pagu APBD, sehingga optimalisasi pengelolaan kas daerah sangat mungkin untuk dilakukan.
Ada baiknya jika pemerintah daerah berkaca dari pengalaman mengelola uang kas pada pengurus Masjid Jogokaryan. Beberapa tahun lalu, Masjid Jogokaryan sempat terkenal dan viral di dunia maya, bahkan beritanya tersebar sampai ke luar negeri. Ketika itu, penulis masih betugas di Pulau Sumatera, namun penulis juga ikut membaca tentang ketenaran dari pengurus Masjid Jogokaryan.
Berdasarkan berita yang penulis baca ketika itu, pengurus Masjid Jogokaryan menjadi terkenal se-antero dunia maya karena pengurus Masjid sangat efisien di dalam mengelola uang kas yang diperoleh dari jama’ah masjid. Setiap kali pengurus masjid menerima dana sumbangan dari masyarakat, maka seketika itu juga dana tersebut langsung disalurkan kepada pihak yang berhak. Dengan demikian, saldo kas pada Masjid Jogokaryan hampir selalu nol rupiah.
Instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tentu saja tidak bisa se-ekstrim itu dalam pengelolaan keuangan seperti yang dilakukan oleh pengurus Masjid Jogokaryan. Akan salah jika sampai terjadi Kas di Kas Daerah (atau Kas Umum Negara) sampai habis atau tekor. Namun setidaknya tetap ada pelajaran yang bisa dipetik dari pengurus Masjid Jogokaryan, yakni bagaimana mengelola keuangan secara lebih efisien sehingga dana tidak berlama-lama mengendap pada bank.
Mengapa sampai terjadi idle cash pada pemerintah daerah? Menurut pengamatan penulis, hal ini terjadi antara lain karena pemerintah daerah terlalu rendah dalam mengestimasi pendapatan, dan juga terlalu hati-hati dalam mengestimasi belanja daerah. Hal tersebut menyebabkan realisasi pendapatan daerah biasanya jauh melebihi target pendapatan, sementara realisasi belanja tidak boleh melebihi anggaran belanja. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan realisasi pendapatan yang jauh melebihi realisasi belanja, sehingga pemerintah daerah memiliki sisa uang atau SiLPA dalam jumlah yang besar.
Sebenarnya, kalau di dalam ilmu akuntansi, hal tersebut adalah wajar-wajar saja, karena di dalam ilmu akuntansi terdapat suatu prinsip yang bernama konservatisme atau prinsip kehati-hatian. Artinya, seorang akuntan tidak boleh terlalu optimis dalam mengestimasi pendapatan, namun sebaliknya akuntan harus segera mengakui belanja ketika belanja tersebut berpotensi untuk terjadi. Prinsip konservatisme ini tentunya tidak cocok jika diterapkan di dalam mengestimasi penyusunan pendapatan dan belanja daerah (APBD), karena ini menyebabkan anggaran pendapatan akan dinilai terlalu kecil yang pada gilirannya membuat anggaran belanja juga akan kecil. Namun pada faktanya realisasi pendapatan hampir selalu jauh melebihi anggaran pendapatannya, yang pada gilirannya menyebabkan dana SiLPA yang besar.
Bagaimana mengatasi hal tersebut? Dalam penyusunan APBD khususnya dalam menentukan anggaran pendapatan, hendaknya pemerintah daerah jangan terlalu pesimis atau konservatis. Hendaknya pemerintah daerah bersikap optimis dalam mengalokasikan anggaran pendapatan. Dengan tingginya target pendapatan, maka tentunya pemerintah daerah dapat mengalokasikan belanja daerah dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu, dengan adanya target pendapatan yang lebih tinggi dari biasanya, tentunya akan mendorong ASN Pemerintah Daerah untuk lebih giat lagi dalam menggenjot pendapatan daerah.
Lalu, bagaimana seandainya jika pemerintah daerah terlalu optimis dalam mengalokasikan target pendapatan, sehingga kemudian realisasi pendapatan tidak sebesar targetnya? Jika hal tersebut terjadi, maka pemerintah daerah cukup melaksanakan kebijakan efisiensi belanja. Artinya untuk belanja-belanja yang tidak terlalu urgent dan dapat ditunda, sebaiknya ditunda hingga dananya tersedia. Berdasarkan pengamatan penulis, efisiensi ini bukanlah hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
Hal ini dapat dibuktikan dari kecenderungan pemerintah daerah untuk menghabiskan anggaran belanja menjelang akhir tahun, khususnya di bulan November dan bulan Desember. Dan jika penulis melihat sample kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, biasanya kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang amat sangat urgent.
Dengan kata lain, tujuan utama kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada bulan November dan Desember biasanya adalah untuk penyerapan anggaran yang pada gilirannya dapat meningkatkan PDRB. Apakah kebiasaan ini salah? Tentu saja tidak, karena bagaimanapun juga, belanja pemerintah –apapun bentuknya– tetap berguna karena dapat meningkatkan tingkat perekonomian negara.
Namun, alangkah baiknya jika pengotimalan belanja pemerintah pada akhir tahun dapat direncanakan lebih matang, sehingga belanja tersebut benar-benar dapat berguna bagi masyarakat luas, dan bukan hanya mempengaruhi sebagian kelompok masyarakat saja.
*Muhammad Ali Agil Prasetyo
Penulis adalah pegawai Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi D.I. Yogyakarta, Kementerian Keuangan, namun tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak mewakili instansi di tempat penulis bekerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
20 Bidang Tanah Wakaf dan Masjid Kulonprogo Terdampak Tol Jogja-YIA
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement