Advertisement

OPINI: Berantas Kemiskinan ala Gus Dur

Anton Prasetyo; Social Worker di Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Gunungkidul
Sabtu, 31 Desember 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Berantas Kemiskinan ala Gus Dur Ilustrasi Gus Dur, Harian Jogja - Hengky Irawan

Advertisement

Masalah kemiskinan adalah salah satu perjuangan KH Abdurrahman Wahid yang hingga saat ini belum bisa terselesaikan. Jamak kita tahu, Presiden RI ke-4 yang akrab di sapa Gus Dur ini, selain gigih memperjuangkan demokrasi, kebudayaan, toleransi, dan pluralisme, juga selalu berpihak kepada kaum minoritas.

Masih sangat lekat dalam ingatan kita betapa cucu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) ini pernah mengingatkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar tidak memperhatikan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas saja. Gus Dur mengharapkan agar MUI juga memikirkan persoalan-persoalan orang miskin. Jangan sampai fatwa-fatwa tidak penting dikeluarkan, padahal justru membebani masyarakat miskin. “Rakyat kita sekarang hidup sangat kesusahan, jadi berfatwalah yang memiliki dampak kebaikan ekonomi bagi rakyat kecil. Agar penderitaan mereka berkurang,” begitu kata beliau. (NU Online, 29/11/2008).

Advertisement

Selain kepada MUI, sindiran Gus Dur ini juga ditujukan kepada seluruh komponen Indonesia. Mereka memiliki kewajiban untuk mengentaskan kemiskinan diri dan saudaranya. Dalam agama, tidak dibenarkan seorang membiarkan saudaranya kelaparan.

Allah SWT berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (al-Maa’uun: 1–3). Sementara, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 juga menyebutkan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Dari dua dasar primer (dasar agama dan negara) di atas, mestinya tidak ada lagi alasan masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Apalagi, persentase penduduk muslim Indonesia adalah 87,18%. Dengan persentase ini, angka kemiskinan tak lagi tinggi.

Ketika tiga ayat Al-Qur’an di atas dilaksanakan, umat muslim tidak akan membiarkan tetangganya merasakan kelaparan karena tidak adanya makanan yang bisa disantap sementara diri dan keluarganya makan dengan berlebihan.

Ketika fakir miskin dan anak-anak yatim diberi makanan diharapkan mereka bisa tumbuh untuk meningkatkan perekonomian. Dalam pada itulah, sebagai muslim (kaya) harus menyingkirkan prasangka negatif (suudzon) yang dapat menghalangi niatan baik, yakni menjalankan perintah agama. Sering kali, umat muslim tidak mau memberikan harta kepada orang-orang miskin dengan alasan pemberian tersebut justru akan memanjakan si miskin.

Tuduhan ini bisa jadi benar, namun tidak selamanya. Dalam kenyataannya, masih banyak warga miskin yang menginginkan peningkatan perekonomian sehingga bisa hidup mandiri dan layak. Hanya saja, mereka tidak bisa berupaya dengan baik karena lemahnya fisik, harta (modal), dan pengetahuan. Jika demikian yang terjadi, tidak mustahil ketika kesenjangan antara si kaya dan si miskin di negeri ini terus berkembang.

Menjadi Paradoks

Tahun 2012, Global Wealth Report melaporkan bahwa jumlah orang kaya di Indonesia pada tahun 2017 diprediksi akan mencapai 99% atau 104.000 orang. Namun, Irman Gusman (2013) mengatakan bahwa pertumbuhan orang kaya di Indonesia akan menjadi paradoks karena jumlah kemiskinan pun juga akan meningkat.

Selanjutnya, negara juga memiliki peran dalam mengentaskan kemiskinan. Dalam kaca mata penulis, tata pemerintahan negara Indonesia sebenarnya sudah sangat baik. Ketidaksuksesan negara dalam rangka mengentaskan kemiskinan bukanlah terletak pada kesalahan peraturan. Banyak aturan yang sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan namun para pemberantas yang justru menjadi penghambat. Banyak dari pelaksana pemberantas kemiskinan menyunat harta hak si miskin demi kepentingan diri dan golongannya.

Berangkat dari sinilah, Haul ke-13 wafatnya Gus Dur merupakan momentum tepat untuk memberantas kemiskinan. Lihatlah bagaimana Gus Dur yang menjadi tokoh dunia dan menjabat sebagai presiden RI hanya menggunakan pakaian ala pedagang kaki lima. Ia tidak pernah terbukti menggunakan kekuasaan dalam rangka memupuk kekayaan untuk diri dan golongannya. Bahkan, uang pribadinya selalu dihabiskan untuk mengentaskan orang-orang miskin. Wallahu a’lam.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Genjot Produktivitas Sawah Tadah Hujan, DKPP Bantul Akui Masih Butuh Ratusan Pompa Air

Bantul
| Rabu, 04 Desember 2024, 20:57 WIB

Advertisement

alt

1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an

Hiburan
| Rabu, 04 Desember 2024, 17:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement