Advertisement
OPINI: Belajar dari Kasus KSP Indosurya
Advertisement
Kasus ini bermula sekitar Februari 2020 terkait laporan Hendra Kusuma Karnoto dan sejumlah korban lain yang berjumlah 165 orang kepada kepolisian.
Dalam laporan disebutkan bahwa mereka mengalami kerugian Rp 800 juta akibat kelakuan Henry Surya dan kawan-kawannya. Henry dan June didakwa atas Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 tentang kejahatan perbankan yang diancam diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
Advertisement
Berdasarkan laporan hasil analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kerugian yang dialami korban KSP-IC mencapai Rp106 triliun. Jaksa Agung juga menyatakan bahwa kerugian yang dialami korban KSP-IC ini merupakan suatu kerugian terbesar sepanjang sejarah kasus penipuan di Indonesia dengan korban 23.000 orang.
Namun, pada akhirnya pengadilan telah memutuskan bahwa Henry Surya dan June Indria divonis bebas. Kerugian yang dialami masyarakat akibat KSP-IC ini telah merugikan banyak masyarakat dan memberikan preseden atau persepsi buruk bagi perkoperasian di Indonesia.
Mengapa masyarakat kerap menjadi korban? Penipuan-penipuan ini masih seringkali terjadi dialami oleh masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh motif ingin cepat mendapatkan keuntungan yang besar dan instan, tanpa melihat atau menelusuri adanya penipuan atau jebakan dalam investasi tersebut.
Faktor lain adalah unawareness di mana masyarakat yang sudah mengetahui risiko dan kerugian, akan tetapi mereka tidak peduli untuk tetap berinvestasi dengan tujuan memperoleh keuntungan dibandingkan tidak sama sekali berinvestasi.
Putusan pengadilan atas terdakwa KSP-IC telah mengabaikan rasa keadilan bagi ribuan anggota KSP-IC yang dirugikan. Oleh karena itu masyarakat harus berhati-hati dalam menginvestasikan uangnya dengan lebih membuka mata sebelum memercayakan uangnya dikelola oleh perusahaan tertentu karena tidak sedikit pemilik lembaga keuangan yang justru menguras rekening nasabahnya demi keuntungan pribadi mereka.
Seperti pada kasus KSP-IC yang menawarkan imbal hasil melebihi 20% setahun. Imbal hasil ini sangat tidak masuk akal. Pada kasus yang lain, anggota diberikan bonus dari member get member dan memanfaatkan influencer dalam menawarkan produk mereka, semisal dengan memamerkan harta influencer untuk mengelabui calon anggota.
Lebih parah lagi, kasus gagal bayar KSP-IC berpotensi menghancurkan citra koperasi di Indonesia karena kepercayaan masyarakat terhadap koperasi sebagai satu pilar perekonomian daerah dan nasional semakin hilang.
Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk mencegah kasus serupa dan memitigasi setiap permasalahan. Kasus KSP-IC bukan satu-satunya, sebelumnya terjadi pada koperasi, seperti Koperasi Pandawa, Koperasi Langit Biru, dan Koperasi Cipaganti. Kasus yang berulang ini menunjukkan kelemahan pengawasan oleh pemerintah termasuk kelemahan regulasi.
PENGAWASAN KOPERASI
Selanjutnya apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah dan mengatasinya? Terkait kasus KSP, pada dasarnya, perkoperasian tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan koperasi yang berbeda dengan sistem perbankan.
Berdasarkan UU 25/1992 disebutkan bahwa pengawasan koperasi dilakukan secara internal di tubuh koperasi itu. Dengan demikian, pemerintah sudah seharusnya merevisi UU Nomor 25 tahun 1992 ini dan sesegara mungkin, sehingga Kemenkop UKM mendapatkan kewenangan untuk mengawasi KSP dengan lebih baik.
Kemenkop UKM belum memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi termasuk sanksi pidana bagi manajemen koperasi yang “nakal”. Idealnya, koperasi yang menjalankan praktik jasa keuangan tidak seharusnya diawasi oleh anggotanya saja, Namun dibutuhkan suatu lembaga atau otoritas yang memiliki instrumen pengawasan lengkap dan pengenaan sanksi yang bertingkat.
Praktik KSP yang ada sangat mungkin melakukan shadow banking yang berubah menjadi koperasi jasa keuangan yang izin usaha dan pengawasannya berada di bawah pengawasan OJK.
KSP seharusnya kembali menjadi KSP murni (closed loop) atau pindah sebagai koperasi yang open loop. Untuk pengawasannya, Koperasi yang melakukan kegiatan usaha jasa keuangan dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan koperasi yang close loop tetap diawasi oleh Kemenkop dan UKM.
Ide membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk koperasi, seperti lembaga perbankan, dapat menjadi perhatian khusus demi terciptanya komitmen pemerintah untuk melakukan pengawasan pada manajemen dan tata kelola koperasi serta melindungi anggotanya. LPS ini diharapkan dapat menanggulangi fraud atau mismanagement untuk meningkatkan kepercayaan kembali masyarakat terhadap koperasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling di Jogja, Jumat 27 Desember 2024
Advertisement
Film 2nd Miracle In Cell No. 7 Tayang di Bioskop Mulai 25 Desember 2024
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement