Advertisement

OPINI: Perbaikan Tata Kelola Pupuk

Dian Novita Susanto
Kamis, 20 April 2023 - 05:57 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Perbaikan Tata Kelola Pupuk Dian Novita Susanto - JIBI

Advertisement

Saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke daerah, petani kerap mengeluhkan kelangkaan pupuk. Sebut saja kejadian di Blora, Jawa Tengah saat pembagian sertifikat tanah, Presiden diteriaki sejumlah petani soal pupuk yang langka dan mahal. Kondisi ini telah berulang kali terjadi, padahal komponen utama dalam produksi pertanian, selain air dan benih/bibit adalah pupuk. Pertaruhannya, kedaulatan pangan tidak akan pernah tercapai kalau masalah pupuk ini tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat.

Secara nasional, kebutuhan pupuk sebesar 13 juta ton per tahun, sementara kemampuan produksi dalam negeri (dari lima BUMN pupuk) hanya 3,5 juta ton/tahun. Kekurangan ini ditutupi dengan kebijakan impor sebesar 6,3 juta ton yang dilakukan pada awal 2023. Meski demikian, petani masih sulit mencari pupuk, apalagi pupuk bersubsidi, kalaupun ada harganya sangat mahal. Terobosan pemerintah di 2023 dengan membangun industri pupuk di Papua Barat perlu dipercepat. Walaupun industri ini juga masih belum bisa menutupi kekurangan pupuk produksi dalam negeri.

Advertisement

Pupuk bersubsidi sekarang ini hanya Urea dan NPK yang diperuntukkan bagi sembilan komoditas pertanian strategis yang berdampak inflasi: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 734 Tahun 2022, pada 2023 Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi dipatok Rp2.250/kg untuk Urea, Rp2.300/kg untuk NPK, dan Rp3.300/kg untuk NPK dengan formula khusus kakao.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2020—2024 mencantumkan rencana anggaran subsidi pupuk secara bertahap, dari Rp26,60 triliun pada 2020, menjadi Rp23,10 triliun pada 2021 dan Rp26,7 triliun pada 2024. Besaran rancangan anggaran tersebut, tergambar ada penurunan tajam jika dibanding realisasi anggaran subsidi pupuk pada periode 2015—2020 yang secara rerata per tahun Rp29,45 triliun. Pemerintah telah berulangkali mengatakan kalau biaya yang dikeluarkan pemerintah pada program subsidi pupuk, baik fiskal dan ekonomi, lebih besar daripada manfaat yang dicapai.

Anggaran untuk pupuk bersubsidi sekitar Rp33 triliun per tahun atau sekitar Rp330 triliun dalam 10 tahun tetapi tidak ada dampak. Dengan angka ini, anggaran subsidi pupuk adalah yang terbesar untuk subsidi non-energi.

Dalil pemerintah bahwa pupuk hanya salah satu faktor dari banyak faktor yang menentukan hasil dan produktivitas pertanian benar adanya, tetapi realokasi sumber daya untuk investasi barang-barang publik pertanian lain seperti irigasi, layanan penyuluhan, pemasaran, penelitian dan pengembangan pertanian dengan mengurangi anggaran subsidi pupuk perlu di pertimbangkan kembali. Petani kecil tetap punya hak untuk mendapatkan perlindungan. Negara mensejahterakan petani dengan mengurangi cost produksi.

Selain anggaran yang terus berkurang, data penerima pupuk subsidi masih bermasalah, salah sasaran di mana lebih dari 65% petani kecil hanya menerima 3% subsidi pupuk, sisanya dinikmati petani kaya. Selain itu, lemahnya pengawasan relatif longgar sehingga terbuka ruang bagi mafia mempermaikan harga khususnya level pengecer. Belum lagi efektifitas penyaluran juga bermasalah. Terakhir petani seringkali mengeluhkan pupuk yang diterima tidak memenuhi 6T (tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu).

Secara teknis mekanisme pengalokasian pupuk subsidi dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan membayar selisih antara Harga Pokok Penjualan (HPP) dengan HET yang terjual kepada pelaksana subsidi pupuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Holding Company. Sinergitas antar pihak yang terlibat di lapangan dalam rantai sistem ini masih lemah terutama dalam hal transparansi, akuntabilitas publik, dan teamwork.

Transparansi dapat dilakukan dengan secara bersama-sama para pihak melakukan pengecekan lapangan secara berkala. Akuntabilitas publik dapat ditempuh dengan membukanya ke masyarakat dua bulan sebelum penetapan di mana data penerima dalam RDKK sudah terpasang di setiap kantor desa sehingga memungkinkan adanya koreksi manakala ada kesalahan dengan tingkat respons yang cepat. Sementara teamwork dalam kerangka untuk akselerasi mengatasi setiap kendala melalui optimalisasi teknologi informasi berbasis data satelit. Lebih dari itu, para pihak sebisa mungkin menelaah dan memperbaiki setiap kekurangan dalam tata kelola pupuk subsidi.

Penataan Ulang

Perbaikan tata kelola pupuk subsidi harus dimulai dari: pertama, reformasi kebijakan pupuk bersubsidi, dimulai dengan desain anggaran dan program, distribusi, penyempurnaan pengelolaan data petani, data lahan sampai dosis pupuk, serta mengintegrasikan sistem digitalisasi penyaluran pupuk bersubsidi.

Dalam hal ini, masalah pupuk bukan hanya masalah ketersediaan (effective supply) tetapi distribusi yang efektif menuju penerima sasaran subsidi. Ketersediaan mungkin bisa dicapai oleh produsen pelaksana, tetapi belum tentu terdistribusi, dan kalau tidak terdistribusi itu menimbulkan harga tambahan, sehingga HET tidak efektif. Untuk bagian ini, dapat memanfaatkan sistem digital yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia.

Kedua, perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi. Dalam hal ini target penerima sasaran subsidi, harus tegas didefinisikan yaitu petani aktif. Selama ini tidak ada kriteria secara detail petani penerima pupuk bersubsidi. Lebih khusus lagi perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi harus 100% petani tanaman pangan dan hortikultura dengan luas lahan di bawah dua hektare.

Ketiga, perbaikan akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap lima tahun sekali dengan evaluasi setiap tahun. Selain itu dapat dilaksanakan penyusunan mekanisme pelibatan aparatur desa dalam pendataan, verifikasi dan validasi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi. Keempat, perbaikan pengawasan oleh Tim Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) yang di dalamnya melibatkan OPDP terkait dan aparat penegak hukum.

Kelima, sudah waktunya Smart Farming Precision Agriculture (SFPA) digunakan. Sebagai terobosan dari revolusi 4.0 di sektor pertanian, kedua instrumen ini bisa mengurangi secara signifikan karut marut penggunaan pupuk dan pestisida. Smart farming (pertanian pintar) merujuk penggunaan platform yang dikonektivitaskan dengan perangkat teknologi (contoh tablet dan handphone) dalam pengumpulan informasi seperti status hara tanah, kelembaban udara, kondisi cuaca dan lain-lain yang diperoleh dari lapangan melalui perangkat yang ditanamkan pada lahan pertanian. Sedangkan precision agriculture (pertanian presisi) lebih kepada penggunaan input berupa pestisida dan pupuk sesuai kebutuhan berdasarkan informasi olahan data sehingga tidak ada kelebihan dalam dosis pengaplikasiannya karena dipenuhi berdasarkan kekurangannya. Dampak baik yang ditimbulkan pada pengaplikasian pupuk dan pestisida sesuai kebutuhan akan menjaga kelestarian tanah, optimalisasi penggunaan input dan saving cost.

Dian Novita Susanto

Ketua Umum DPP Perempuan Tani HKTI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ini Rekayasa Lalu Lintas yang Disiapkan Polres Bantul Untuk Atasi Kemacetan saat Libur Lebaran

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 19:17 WIB

Advertisement

alt

Rela, Ungkapan Some Island tentang Kelam, Ikhlas dan Perpisahan

Hiburan
| Jum'at, 29 Maret 2024, 09:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement