Advertisement
Menjadi Muslim yang Smart Financial

Advertisement
Generasi Y adalah kelompok generasi yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996. Generasi ini juga dikenal dengan sebutan generasi milenial atau Gen Y.
Generasi Y tumbuh dan berkembang dalam era teknologi dan informasi, sehingga sangat terbiasa dengan penggunaan teknologi dan Internet. Setelah generasi ini, muncul generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012, disebut dengan Generasi Z. Mereka merupakan generasi yang tumbuh dan hidup di era digital yang sangat terhubung dan serba cepat.
Mereka juga sangat terbiasa dengan teknologi dan media sosial, serta memiliki pandangan yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi Z juga dikenal sebagai generasi yang paling inklusif dan toleran. Mereka lebih terbuka terhadap beragam budaya, gender, orientasi seksual, dan agama. Mereka juga lebih memperhatikan isu-isu sosial dan lingkungan.
Dua generasi tersebut merupakan generasi yang saat ini sebagian besar mengisi populasi masyarakat. Apabila kita telisik lebih lanjut terdapat kesamaan antara Generasi Y dan Generasi Z yaitu sangat adaptif dengan perkembangan teknologi.
Terlebih lagi ketika Pandemi Covid-19 yang harus memaksa individu untuk dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi. Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan kehidupan manusia secara drastis di seluruh dunia tidak terlepas pengaruh pada perubahan sosial.
Fenomena tersebut telah mengubah cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi. Pembatasan sosial telah mengurangi interaksi langsung dan meningkatkan penggunaan teknologi untuk berkomunikasi sehingga timbul lah beberapa tren budaya melalui media sosial, salah satunya flexing.
Budaya flexing adalah fenomena populer di kalangan remaja dan generasi milenial di mana seseorang menunjukkan kemampuan kekayaan, kekuatan, atau status sosial dengan cara memamerkan barang-barang mewah, mobil, perhiasan, atau gaya hidup eksklusif mereka melalui media sosial seperti Instagram, TikTok, atau Snapchat.
Budaya ini seringkali dikritik karena dinilai mencerminkan nilai materialisme yang berlebihan dan mengabaikan nilai-nilai moral serta sosial yang seharusnya lebih penting. Namun, banyak juga yang melihat budaya flexing sebagai bentuk pengakuan atas prestasi dan kerja keras seseorang, serta memandangnya sebagai bentuk ekspresi diri dan kebebasan berekspresi dalam era digital yang semakin berkembang.
Flexing dapat diterima karena kita bisa melihat dari sudut pandang yang positif, menghargai pencapaian kerja keras selama ini dengan batas yang wajar.
Namun, kita harus tetap bijak dalam mengatur hasil dari pencapaian atau prestasi yang kita dapatkan dengan perencanaan yang baik untuk menuju financial independent atau dengan menentukan skala prioritas kebutuhan dengan memilah kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Selain itu, kita juga dapat mulai belajar menginvestasikan sebagian pendapatan ke pasar modal.
Jadi, kita tetap bisa meghargai diri sendiri dengan mengikuti tren tanpa harus menjerumuskan kemampuan finansial di masa yang akan datang. Hal tersebut selaras dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur'an Surat Al-Isra ayat 26-27: "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan [hartamu] secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabb-nya." (QS. Al-Isra': 26-27).
Linda Kusumastuti Wardana
Dosen Sarjana Terapan Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah UMY
BACA JUGA: Laptop Harga 6 Jutaan Terbaik, Mulai Axioo Mybook Hingga Acer Aspire
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Pemkab Temukan Data Baru, Ternyata Hari Jadi Gunungkidul Bukan 27 Mei
Advertisement

Sinopsis Hati Suhita, Film yang Bikin Banyak Penonton Menangis
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement