Advertisement

Menjaga Elan Jurnalisme Melalui Bahasa

Ahmad Djauhar
Senin, 24 Juli 2023 - 11:47 WIB
Jumali
Menjaga Elan Jurnalisme Melalui Bahasa Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Ilustrasi - Hengky Irawan

Advertisement

Untuk ke sekian kalinya, saya kembali menguji kompetensi sejumlah wartawan di wilayah bagian timur Indonesia pekan silam. Kali ini, peserta uji kompetensi adalah wartawan yang tersebar di Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan UKW yang merupakan program Dewan Pers tersebut digelar di Kupang, Ibu Kota Timor Barat.

Menjelang berangkat ke Kupang itu, saya berhusnuzan bahwa rata-rata peserta uji tentulah berkemampuan menulis bagus, dengan gramatika terjaga. Karena, berbekal pengalaman selama hampir sepertiga abad di dunia jurnalistik, saya berkali-kali ketemu atau mengikuti sejumlah tokoh dari kawasan NTT yang mayoritas memiliki kualitas kebahasaan—Bahasa Indonesia, tentu—yang bagus.

Advertisement

Siapa tidak kenal Prof. Herman Johannes, Gorys Keraf, Gerson Poyk, dan banyak lagi tokoh terkait dengan kebahasaan dan kesusastraan asal NTT. Apalagi yang berkarier di media, jumlah mereka dapat dikatakan bejibun alias berlimpah-ruah.

Salah seorang mentor saya ketika memulai karier sebagai jurnalis di Bisnis Indonesia pernah berujar bahwa sebagai orang berkultur Jawa, saya dianjurkan untuk tidak membawa struktur Bahasa Jawa ketika menulis berita maupun artikel, tetapi harus konsisten menerapkan gramatika Bahasa Indonesia saja. Salah satu contoh unsur gramatika Bahasa Jawa, menurut mentor saya yang berasal dari Maumere, Flores, itu adalah penggunaan suku kata “nya” secara berlebihan dalam kalimat yang saya buat ketika itu.

“Pelajaran” tersebut rupanya sangat membekas di benak, sehingga saya sedemikian terobsesi menulis dengan terus mencoba untuk teliti, jangan sampai membuat kesalahan yang tidak perlu. Setiap kali membuat kalimat, saya selalu memperhatikan prinsip dasar SPOK—subjek, predikat, objek, dan keterangan—dan hal itu sangat bermanfaat ketika saya menjadi penyunting/editor di media tempat saya bekerja. Juga ketika saya sudah selesai secara formal mengemban tugas sebagai awak redaksi.

Saya juga menyunting sejumlah buku, dan dengan kedisiplinan menerapkan prinsip gramatika secara konsisten itu, lambat laun gunting sunting saya menjadi semakin tajam. Saking menjadi kebiasaan tersebut, begitu mendengar seseorang berucap dengan struktur kalimat tidak bagus, kuping terasa “gatal”, ingin sekali mengedit kalimat yang ia utarakan itu.

Walhasil, habit tersebut dengan sendirinya terbawa ketika saya menguji kompetensi wartawan. Termasuk di antaranya terhadap wartawan NTT beberapa waktu lalu. Begitu membaca beberapa karya atas tugas yang diberikan selama UKW tersebut, saya agak mengernyitkan dahi. “Kok begini ya, struktur kalimat yang dibuat oleh para awak pers generasi muda NTT. Kenapa mereka kurang konsisten menerapkan prinsip gramatika baku, yang umumnya dikuasai oleh awak pers generasi lebih senior dari NTT itu?” demikian pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya.

Hal itu, lanjut saya dalam hati, sedikit banyak tentu dipengaruhi oleh bahasa tutur dan bahasa pesan singkat pada media sosial yang mereka praktikkan sehari-hari selama ini, sehingga menjadikan bahasa tulis teman-teman muda yang bekerja di bidang media di wilayah ini juga terdisrupsi. Cenderung menjauh dari kemampuan para senior mereka.

Padahal, ruh media pengusung jurnalisme terletak pada kekuatan bahasa yang mengantarkan informasi kepada pembaca. Semakin lemah struktur bahasa sebuah media, kian miskin dan kering  informasi yang dapat disampaikan media tersebut. Dengan demikian, salah satu fungsi media massa sebagai edukasi dan hiburan bagi audiens, menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, sedikit-banyak jelas berkurang karenanya.

Kalau sudah demikian halnya, audiens pun akan lebih memilih media sosial yang sesungguhnya memang tidak dapat dianggap sebagai pengusung jurnalisme itu. Padahal, sesuai perannya, media sosial hanyalah pemasok info, benar-tidaknya isi informasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Juga bermanfaat-tidaknya.

Masyarakat akan sangat dirugikan jika yang berkembang luas adalah media sosial, dan ini sudah menjadi realitas di tengah masyarakat. Karena itu, masyarakat semakin merasakan kehampaan, karena mereka lebih banyak mengonsumsi info yang tak jarang cenderung bermuatan fitnah, hoaks, dan kandungan disinformasi. Bagaimana bangsa ini akan membangun karakter menjadi entitas yang tangguh dan maju apabila dijejali informasi berkualitas “sampah” itu?

Tidak berlebihan kiranya bunyi pepatah yang menyatakan bahwa “bahasa menunjukkan bangsa”, yang mengandung arti bahwa baik-buruk sifat dan tabiat orang dapat dilihat dari tutur kata atau bahasanya. Ya, bangsa yang maju tentu saja harus didukung dengan keberadaan media yang memiliki kualitas kebahasaan yang maju pula. Beberapa negara maju telah membuktikannya. Karena itu, meski terdisrupsi hebat oleh iklim digitalisasi, sejumlah media di negara maju dapat tetap eksis dan bahkan berkembang mengikuti iklim digital tersebut.

Jenis media tradisional—cetak dan elektronik—mungkin melemah karena keniscayaan zaman akibat disrupsi digital. Tapi, entitas masing-masing media seharusnya tetap eksis, guna mengikis kelemahan media sosial. Dalam bahasa para pakar komunikasi klasik, kehadiran satu media tidaklah menafikan atau bahkan “membunuh” media yang telah lama eksis. Seharusnya, media baru dan tradisional saling melengkapi.

Nah, untuk mempertahankan elan atau semangat menjaga jurnalisme itulah, urgensi kegiatan seperti UKW di atas justru harus diperkuat dan kian dimasifkan. Sebab, melalui UKW itulah dapat diketahui sejauh mana penguasaan kebahasaan seorang jurnalis. Dengan mengetahui kekurangan mereka, kapabilitas para awak media dapat didorong dan dikembangkan, sehingga mereka menjadi lebih profesional, sekaligus menjaga muruah pers kita.

Jikalau pelaksana sistem UKW efektif, awak media tradisional justru dapat menjadi pengimbang membanjirnya informasi dari media sosial. Media tradisional pada gilirannya dapat menjadi penyeimbang berbagai ketimpangan informasi, dan perhatian masyarakat pun dapat dialihkan kembali kepada media tradisional pengusung jurnalisme. Ini merupakan pekerjaan rumah masyarakat pers yang memerlukan keseriusan untuk menyukseskannya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Target Pembayaran PBB-P2 Kulonprogo Tercapai Rp5,3 Miliar

Kulonprogo
| Jum'at, 03 Mei 2024, 09:57 WIB

Advertisement

alt

YouTuber Jerome Polin Kini Dukung Irak, Khawatir Timnas Indonesia Kalah di Piala Asia U-23

Hiburan
| Kamis, 02 Mei 2024, 12:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement