Advertisement
OPINI: Pelajar dan Gerakan Mengawal Kebebasan Beragama

Advertisement
DIY dikenal dengan keberagamannya dan merupakan salah satu destinasi utama tujuan studi dan wisata dari berbagai daerah dengan latar belakang agama, suku dan budaya berbeda-beda, Ini menjadikan DIY sebagai daerah dengan keberagaman sosial yang sangat kental.
Pada 2022, media ramai memberitakan tentang adanya salah satu sekolah negeri di DIY terindikasi melakukan pemaksaan penggunaan pakaian identitas keagamaan tertentu. Hasil investigasi Ombudsman RI DIY mengonfirmasi adanya dugaan pemaksaan penggunaan pakaian identitas keagamaan tersebut (Harianjogja.com). Kesimpulannya bahwa pemakaian pakaian identitas keagamaan oleh guru kepada siswi tersebut merupakan kekerasan terhadap anak karena mengandung unsur paksaan dan perundungan.
Advertisement
Padahal sekolah yang seharusnya menjadi “ruang aman” bagi pelajarnya yang justru menjadi ruang yang tidak nyaman, ini menjadi ironi keberagaman dalam ruang pendidikan.
Mengutip data Setara Institute, DIY masuk dalam peringkat 10 besar pelanggaran intoleransi. Ini menjadi penegas bagaimana ironisnya daerah yang memiliki slogan “berhati nyaman”. Menilik kembali kasus pemaksaan pakaian identitas keagamaan pada salah satu sekolah negeri di DIY, menurut investigasi yang dilakukan memang menemukan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh pihak sekolah pada seorang siswa (Ombudsman.go.id).
Kasus pemaksaan penggunaan pakaian identitas keagamaan ini menjadi satu bukti penguat bahwa di akar rumput (pelajar) DIY, kebebasan beragama dalam lingkup pendidikan ataupun pelajar masih perlu dipertanyakan. Ironisnya, ini terjadi pada sekolah yang notabene sebagai tempat pelayanan publik berlangsung. Seharusnya sekolah memfasilitasi perbedaan tersebut secara adil dan non-diskriminatif bagi seluruh siswa. Kesetaraan itu termuat dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik yang menyebutkan dalam satu poinnya adalah persamaan hak. Oleh karena itu, idealnya tidak ada ruang untuk intoleransi di ranah pendidikan ini.
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya untuk mengatasi kasus yang mengancam kebebasan ini. Pada skala daerah, upaya tersebut ditunjukkan melalui Instruksi Gubernur DIY No.1/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial kepada masing masing kepala daerah kota dan kabupaten tentang pencegahan potensi konflik sosial. Instruksi ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi, peningkatan efektivitas penyelesaian dan penyelesaian dengan tanggap, hingga pelibatan perangkat daerah hingga langsung ke masyarakat dalam menangani permasalahan intoleransi serupa.
Bahkan dalam kaitannya dengan pendidikan, pada skala nasional, pemerintah pusat telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan melalui Pasal 4 ayat 1 UU No. 20 /2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus diselenggarakan dengan demokratis dan berkeadilan, kemudian tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa.
Peran Pelajar
Penanganan kasus intoleransi di DIY perlu dilakukan secara bersama dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, agar sampai menyentuh akar rumput. Merujuk pada Instruksi Gubernur DIY No.1/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial, masyarakat memang perlu terlibat aktif dalam menangani masalah ini, dan pelibatan pelajar sangat diperlukan.
Pelajar harus dipandang sebagai subjek dan ikut terlibat dalam pembentukan kebijakan terkait, bukan hanya sebagai objek sebuah wewenang dan kebijakan semata.
Jika pendekatan pelibatan yang partisipatoris ini terus dikembangkan, akan mencegah ketimpangan relasi kuasa yang menimbulkan perlakuan diskriminasi.
Orientasi gerakan organisasi pelajar di beberapa sekolah juga perlu diberikan kemandirian agar semata-mata tidak menjadi bagian dari perangkat dan objek pelaksana kebijakan sekolah. Proses pelibatan pelajar perlu dilakukan secara serius dan berkesinambungan, misalkan melalui Pusat Informasi Kesehatan Remaja (PIK–R) , Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dan Praja Muda Karana (Pramuka), yang notabene merupakan organisasi yang dinaungi institusi yang memiliki kewenangan lebih besar.
OSIS sebagai organisasi yang dinaungi oleh sekolah dapat dilibatkan oleh Dinas Pendidikan. Pemuda dan Olahraga dalam suatu forum strategis untuk mendiskusikan kebijakan bagi pelajar, terutama yang berkaitan erat dengan isu-isu keberagaman dan intoleransi. Termasuk dalam hal pembuatan aturan sekolah, sehingga pelajar dapat memahami dan menyampaikan aspirasi dalam aturan tersebut apakah berpotensi mendiskriminasikan dirinya atau tidak.
Hasil kebijakan yang disusun dengan proses pelibatan ini dapat dikawal melalui mekanisme monitoring dan evaluasi rutin bersama, sebagai input untuk memperbarui kebijakan-kebijakan yang lebih aktual.
DIY harus menjadi contoh bagaimana semangat keberagaman tersemai dan tumbuh subur memperkuat kebinekaan bangsa. Sehingga setiap pelajar dapat menjalankan kebebasan dalam menjalankan dan mengekspresikan keyakinan agama dan budayanya di sekolah. Gerakan keberagaman pelajar sebagai gerakan akar rumput harus menjadi ujung tombak pencegahan intoleransi dalam pelayanan pendidikan di sekolah. Agar manifesto Jogja Berhati Nyaman di DIY benar-benar dapat dirasakan secara nyata, tidak sekadar slogan belaka.
Araf Caysar Muqorrobin
Pelajar Sahabat Ombudsman RI DIY, Kelas XII Madrasah Muallimin Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
- Perjalanan Cepat Tanpa Macet, Berikut Jadwal KRL Solo-Jogja Hari Ini
- Tak Bisa Bantu Padamkan Kebakaran di Purwantoro, Damkar Wonogiri Minta Maaf
- Jalan-jalan di Kampus Kopi Banyuanyar Boyolali, Cek Yuk Paket Wisata & Tarifnya
- Ibu dan Anak di Kediri Meninggal di Dalam Rumah, Penyebabnya Diduga Kelaparan
Berita Pilihan
Advertisement

Jadwal Keberangkatan Bus Damri Tujuan Jogja-Bandara YIA dan Sekitarnya
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement