Advertisement
OPINI: Afirmasi, Isu Basi atau Angin Segar untuk Perempuan?

Advertisement
Membaca pengumuman penyelenggara pemilu tambahan di Bawaslu DIY yang lolos, membikin hati saya berbunga-bunga penuh kelegaan dan optimisme. Afirmasi keterwakilan perempuan yang terpilih, mencapai 100%, dibandingkan dengan pemilihan 2022 yang nol persen, dengan panitia seleksi hanya satu perempuan sedang empat lainnya laki-laki.
Panitia seleksi yang kedua ini luar biasa. Dua di antara tiga perempuan adalah mantan komisioner Komnas Perempuan, dan satunya dekan UIN Sunan Kalijaga yang merupakan penulis buku perempuan yang sangat berpihak terhadap isu keperempuanan. Diterpa cercaan dan laporan ke Komnas Perempuan, DKPP, dan demo terkait afirmasi di hasil seleksi pertama, Bawaslu RI sepertinya agak sedikit bebenah dan berpihak kepada nasib pengawas pemilu perempuan. Semoga di KPU DIY pun, angin keberpihakan terhadap perempuan juga berhembus kencang.
Advertisement
Calon penyelenggara pemilu yang diumumkan lolos baik di Bawaslu maupun KPU kabupaten/kota di Jogja 2023, rata rata keterwakilan perempuan di kisaran 20-30%, kecuali KPU Kota Jogja hanya 10%, dan yang berimbang 50% untuk laki laki dan 50% perempuan hanya di KPU Kabupaten Kulonprogo. Hati saya agak sedikit ciut, apabila sampai tahap terakhir atau final, berapa perempuan yang masih tertinggal dan bertahan sebagai penyelenggara pemilu baik di Bawaslu maupun KPU DIY.
Eksistensi kaum perempuan di Indonesia baik di lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif, terus didorong lewat undang-undang dan aturan turunannya terkait kebijakan afirmasi (affirmative action). Agar keadilan, akses setara untuk melakukan partisipasi politik, dan kesenjangan kesempatan dan peran dalam mempengaruhi proses politik, antara laki-laki dan perempuan tidak begitu lebar.
Untuk sisi panitia seleksi dan penyelenggara pemilu, sebenarnya telah menampakkan tren yang lebih baik dari pemilu ke pemilu, dan konsistensi tersebut yang seharusnya dijaga. Kebijakan afirmasi bukan berarti tidak memperhatikan kualitas dan kompetensi perempuan.
Berdasarkan pengalaman penulis beberapa kali menjadi panitia seleksi baik KPU maupun Bawaslu DIY, rata- rata perempuan memiliki kompetensi yang tinggi dilihat dari nilai CAT kepemiluan, psikologi, dan kesehatan. Ketika mencapai tahap wawancara, mereka gugur karena ketidakpahaman dan ketidakpedulian panitia seleksi lain terkait afirmasi baik perempuan maupun laki-laki, dan kepentingan tertentu.
Lima Komisioner Bawaslu DIY yang dalam waktu dekat ini telah melakukan fit and proper test kepada para calon pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota. Seharusnya mereka berpegang pada UU No.7/2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 92 Ayat (11) yang menyebutkan bahwa "Setiap anggota Bawaslu termasuk provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen". Ditambah Perbawaslu RI No.10/2012 Pasal 41 Ayat (2) yang menyatakan bahwa, ".... nama nama calon anggota sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berjumlah paling sedikit 6 orang dengan komposisi keanggotaan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang kurangnya 30 persen".
Amanat undang-undang sudah jelas tertuang tentang afirmasi keterwakilan perempuan, akan kah para komisioner Bawaslu DIY terpilih dimana dua diantaranya adalah perempuan, juga masih berpedoman dan melaksanakan amanat itu. Atau kah kesadaran akan afirmasi hilang, kemudian dikesampingkan oleh kepentingan yang lain? Saya masih optimis dan berprasangka baik, karena sebagian besar komisioner merupakan mantan aktivis yang bergabung dan aktif di organisasi mahasiswa, ormas dan lembaga swadaya masyarakat.
Afirmasi Perempuan
Seharusnya afirmasi bukan isu yang jadi pertimbangan basi. Apalagi sebagian besar komisioner perempuan, sejak mahasiswa telah terbiasa digembleng menjadi pejuang kesetaraan gender, dan secara tidak langsung juga menggunakan aturan afirmasi ketika "jadi". Semoga mereka masih memiliki idealisme, kesadaran, dan slogan perjuangan perempuan untuk perempuan dalam mewujudkan afirmasi. Jangan sampai ketika mau menjadi komisioner isu afirmasi dijadikan wangi, tetapi setelah menjabat dibuang demi kepentingan “yang menjadikan”.
Afirmasi perempuan penyelenggara pemilu baik di Bawaslu maupun KPU tidak bisa kita biarkan senyap di tahun politik ini. Organisasi masyarakat, LSM, organisasi perempuan, dan lembaga-lembaga yang sensitif dan memiliki kesadaran terhadap perjuangan perempuan, seharusnya bersatu padu menyuarakan, memberikan aksi dukungan pernyataan dan sikap, dalam mengawal 30% keterwakilan perempuan. Jangan sampai isu ini memudar, dan menjadi buyar karena kepentingan politik kekuasaan.
Retna Susanti
Lawyer, Peneliti Institute For Democracy And Welfarism (IDW) Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
- Perjalanan Cepat Tanpa Macet, Berikut Jadwal KRL Solo-Jogja Hari Ini
- Tak Bisa Bantu Padamkan Kebakaran di Purwantoro, Damkar Wonogiri Minta Maaf
- Jalan-jalan di Kampus Kopi Banyuanyar Boyolali, Cek Yuk Paket Wisata & Tarifnya
- Ibu dan Anak di Kediri Meninggal di Dalam Rumah, Penyebabnya Diduga Kelaparan
Berita Pilihan
Advertisement

Jadwal Keberangkatan Bus Damri Tujuan Jogja-Bandara YIA dan Sekitarnya
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement