Advertisement

Mencegah Brain Drain dari Negeri Ini

Ahmad Djauhar
Senin, 14 Agustus 2023 - 06:47 WIB
Arief Junianto
Mencegah Brain Drain dari Negeri Ini Ilustrasi wisuda mahasiswa. - Harian Jogja

Advertisement

Negeri ini tiap tahun kehilangan banyak mahasiswa pintar. Mereka direbut Singapura, dirayu dengan pelbagai fasilitas menarik—gaji tinggi, ketersediaan sarana riset, dan berbagai daya tarik—yang membuat mereka kemudian pindah menjadi warga negara Singa tersebut.

Belum lagi mereka yang diiming-imingi oleh negeri lain, yang juga menawarkan daya pikat agar mahasiswa pintar dari Indonesia itu tidak perlu kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, tetapi pindah kewarganegaraan dan turut memajukan negeri pemikat tersebut.

Advertisement

Fenomena ini mungkin bukan kabar baru bagi sebagian orang, melainkan sudah berlangsung belasan tahun. Tapi, paparan tentang tingginya angka perpindahan WNI ke Negeri Singa itu cukup menggelisahkan tentunya.

Adalah Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Karim dalam sebuah acara Juli lalu, yang mengungkapkan arus deras brain drain ke negeri jiran itu. Dapat dimaklumi, selain miskin sumber daya alam, Singapura juga menghadapi ancaman demografi minus, karena beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif dalam hal angka kelahiran.

Menurut catatan Ditjen Imigrasi, angka perpindahan mahasiswa pintar Indonesia ke Singapura saja mencapai 1.000 orang per tahun. Belum lagi yang pindah ke negara-negara lain. Pantas saja, jumlah diaspora Indonesia di seluruh jagat kian membengkak dari tahun ke tahun, selain mereka yang benar-benar merantau mengadu nasib, juga fenomena pemikatan sumber daya manusia unggul oleh sejumlah negara itu kian menjadi-jadi.

Saya jadi ingat ketika sejumlah rekan kerja di eks-PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN—kini PT Dirgantara Indonesia) pada medio dekade 1990-an ramai-ramai hengkang pindah bekerja ke CASA Spanyol, ATR Italia, Airbus Prancis/Eropa, Fokker Belanda, Boeing AS, hingga Embraer Brasil, dan lain-lain, Indonesia langsung mengalami brain drain (kemarau ilmuwan) di bidang disiplin ilmu struktur pesawat terbang. Penghentian secara mendadak terhadap pembiayaan berbagai proyek strategis nasional—termasuk PT IPTN, oleh IMF, menimbulkan luka yang tak kunjung pulih.

Rekan-rekan saya tersebut di sana menjadi ekspatriat yang cukup diperhitungkan di berbagai perusahaan manufaktur aviasi. Selain pintar dan tekun, tenaga kerja Indonesia dikenal loyal dan tidak banyak menuntut ini-itu, seperti halnya tenaga kerja orang bule. Akibatnya, mereka yang bila bekerja di Indonesia sudah masuk usia pensiun tetap digondheli alias tetap dipekerjakan di sana.

Hengkangnya putra-putri terbaik negeri ini ke negara lain jelas bakal memengaruhi masa depan Indonesia, yang digembar-gemborkan akan menghadapi tahun keemasan pada 2045 mendatang, dan digadang-gadang menjadi salah satu negara maju. Kalau laju perpindahan jumlah mahasiswa pintar Indonesia terus bertambah, berkah demografi yang dulu didengung-dengungkan oleh banyak orang itu niscaya akan menjadi kutukan atau bahkan bencana demografi.

Karena, mereka yang pintar-pintar tadi dirangkul oleh negeri lain, dimanja dengan berbagai fasilitas kehidupan yang relatif kian sulit diperoleh di negeri sendiri, akibat ketidakberesan pengelolaan negara, setidaknya selama hampir satu dekade belakangan ini.

Indikatornya tampak gamblang, yakni meruyaknya praktik korupsi, kejemuan kaum muda atas ketidaknyamanan iklim perpolitikan nasional, serta kian banyaknya jumlah penduduk yang masuk kategori rentan miskin—mencapai 112 juta jiwa. Walhasil, makin banyak warga yang tidak mampu mengenyam jenjang pendidikan formal, mengingat biaya sekolah/kuliah di bangku pendidikan negeri tidak jauh berbeda dengan mereka yang swasta.

Silmy Karim menyatakan Indonesia sebenarnya tidak boleh diam dengan situasi brain drain ke Singapura ini. Menurutnya sumber daya manusia yang hebat-hebat ini merupakan aset terbaik yang dimiliki bangsa untuk kemajuan Indonesia ke depannya. “Berbeda dengan sumber daya alam yang bisa habis, sumber daya manusia tentu jauh sangat berharga karena generasi Indonesia bisa melakukan dan menciptakan banyak hal untuk kemajuan Indonesia.”

Antidemokrasi

Iklim perpolitikan di negeri ini sedang terdisrupsi cukup hebat. Apa pasal? Negeri yang sudah sepakat menerapkan sistem demokrasi secara kaffah ini menghadapi situasi antidemokrasi, sehubungan berkembangnya wacana kepemimpinan nasional lebih dari dua periode, sibuk membangun legacy, ketidakpastian hukum akibat keberkuasaan oligarki, dan aneka persoalan kebangsaan lainnya.

Keruan saja, situasi seperti ini memicu ketidaknyamanan baru bagi mereka yang semula menganggap Gerakan Reformasi 1998, dan kemudian menghasilkan pemantapan tata aturan kenegaraan sesuai prinsip demokrasi yang sesungguhnya, bukan demokrasi seolah-olah—sebagaimana terjadi pada periode Orde Baru—membuat masa depan negeri ini berbelok ke arah tidak menentu.

Sejumlah kaum muda bahkan sudah berancang-ancang hengkang dari Bumi Pertiwi ini, ingin mencari peruntungan di negeri orang yang dianggap lebih established dan firm memberlakukan sistem ketatanegaraan. Mereka mendambakan tinggal di sebuah negara yang tidak diombang-ambingkan oleh para koboi politik serta para cukong yang dapat seenak udelnya ‘membajak’ sistem ketatanegaraan.

Para pemuda merasa jengah menyaksikan tingkah mereka-mereka yang ambeg kumawasa itu, yang ingin terus menangkasi kekuasaan. Mereka telah merasa nyaman selama hampir dua periode menikmati gelimang takhta—yang dengan sendirinya bergelimang harta—dan nyaris tidak menyejahterakan harkat rakyat jelata. Buktinya, kehidupan ekonomi masyarakat awam kian merosot dari waktu ke waktu. Ironisnya, di sisi lain, sebagian kecil bangsa ini menikmati pertambahan kekayaan luar biasa.

Kesenjangan ekonomi kian menjadi-jadi. Taraf hidup rakyat kembali ke kubangan, sebagaimana terjadi pada periode 1970-an. Sudah demikian, beban utang negara luar biasa besarnya. Ibarat kata, bayi yang belum dilahirkan seorang ibu di negeri ini, sudah menanggung utang jutaan rupiah—taksirannya mencapai Rp30 juta per jiwa—sehingga cukup alasan bagi pasangan muda untuk tidak memiliki momongan, misalnya, ketimbang kehidupan mereka akan penuh dengan liability.

Karenanya, begitu menerima tawaran menggiurkan dari negeri sebelah tersebut, para mahasiswa pintar yang sebenarnya merupakan aset bangsa Indonesia itu pun menyambarnya sebagai peluang memperbaiki taraf hidup, juga mencari pengalaman dan tantangan hidup yang baru, sembari meninggalkan hiruk-pikuknya tanah tumpah darah mereka.

Salah seorang pemuda yang bekerja di perusahaan multinasional di Jakarta bertutur kepada saya betapa dia sedang menunggu kesempatan untuk berkarier serta mencari penghidupan di luar negeri. Iklim perpolitikan di Indonesia saat ini dan mendatang, menurut dia, tampaknya tidak akan banyak berubah. Selagi negeri ini masih dikuasai oligarki, kata dia, “tidak ada masa depan kami di negeri ini.”

Ahmad Djauhar

Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Rute Bus Trans Jogja, dari Prambanan, Adisucipto, Condongcatur, dan Jombor, Jangan Salah Pilih

Jogja
| Jum'at, 22 September 2023, 05:17 WIB

Advertisement

alt

Yonghwa Titip Salam untuk "Mantan Istri", Seohyun

Hiburan
| Rabu, 20 September 2023, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement