Advertisement
OPINI: Perubahan Iklim & Peran Masyarakat Memilah Sampah
Advertisement
Menurut hasil kajian yang dilakukan pada 2022 oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), sekitar 34% penduduk di Indonesia akan hidup dengan kelangkaan air di tahun 2050. Kelangkaan air itu meningkat cukup drastis dari kondisi saat ini yang berjumlah sekitar 14%. Dalam skala global, diperkirakan sekitar tiga miliar penduduk di wilayah subtropis (setara dengan 42% populasi global saat ini) akan mengalami krisis air.
Di sisi lain jumlah pendapatan Indonesia dari hasil sektor perikanan akan berkurang sekitar 24%. Hal tersebut dikarenakan ikan-ikan akan cenderung berpindah dari wilayah tropis dikarenakan suhu yang semakin panas di wilayah tersebut. Tentunya diperlukan konsentrasi untuk mengatasi hal itu.
Advertisement
Sayangnya, langkah-langkah yang diberikan pemerintah Indonesia saat ini belum cukup mengatasi masalah di atas. Pemerintah baru pada tataran kampanye dengan membuat komitmen dan kebijakan tentang masalah iklim tanpa menerapkan peraturan yang jelas. Contohnya kampanye tentang Indonesia sebagai negara zero carbon di tahun 2060. Nyatanya, langkah-langkah inovasi Indonesia nihil dan cenderung merusak lingkungan. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, justsru melegalkan penambangan dan ekspor pasir laut.
Kebijakan di pemerintah daerah pun tampak kurang maksimal, contohnya kebijakan Pemerintah Daerah DIY dalam Dokumen RPJMD 2017-2022, menetapkan sasaran (indikator) pada tujuan 13 adalah: (1) Menurunnya Indeks Risiko Bencana (IRB), (2) Terwujudnya penyelenggaraan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) serta monitoring, pelaporan dan verifikasi Emisi GRK yang dilaporkan secara Tahunan, (3) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (bappeda.jogjaprov.go.id).
Belum terlihat ada dampak nyata dari masyarakat tentang peningkatan kesadaran lingkungan. Masyarakat masih kurang sadar tentang pengelolaan serta pemilahan sampah rumah tangga sehingga dampaknya dapat dilihat di Tempat Pembuangan Sampah Piyungan yang bahkan seringkali ditutup untuk mengolah sampah yang telah menumpuk dan juga pengelolaan TPA tersebut yang kurang maksimal sehingga bisa menghasilkan gas metana yang merupakan salah satu gas yang menyebabkan pencemaran udara.
Untuk menekan masalah iklim diperlukan kesadaran diri sendiri dan kesadaran Bersama. Ini semua dapat terjadi jika ada proses edukasi yang luas dan merata bagi masyarakat. Karena biasanya masalah iklim paling sering disebabkan oleh tingkah laku manusia yang secara tidak langsung menghasilkan suatu efek yang dinamakan efek rumah kaca. Efek tersebut terjadi karena aktivitas manusia sehari-hari seperti membakar sampah, menebang pohon, dan lain sebagainya sampai menghasilkan beberapa gas yang dinamai gas rumah kaca. Gas-gas tersebut bersifat menangkap panas Matahari dan karena aktivitas berlebihan dari manusia, gas-gas tersebut menjadi terlalu banyak dan menyebabkan panas bumi yang tidak terkontrol.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kesadaran diri menjadi hal terpenting. Kesadaran diri dapat dibangun dengan melakukan habituasi positif yang berkaitan dengan menjaga lingkungan, seperti tidak membakar sampah melainkan memilahnya yang kemudian dari beberapa sampah yang dipilah dapat dijadikan pupuk dan sebagainya. Kebiasaan memilah sampah juga dapat meringankan beban tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir yang tentunya juga sangat mencemari lingkungan. Setelah membangun kebiasaan pada diri sendiri, kemudian dilanjutkan dengan membangun kesadaran bersama.
Kesadaran bersama dapat dibangun dengan membentuk suatu komunitas ataupun organisasi yang bergerak dalam pemberdayaan lingkungan. Kesadaran bersama juga dapat dilakukan dengan cara mengedukasi masyarakat luas tentang bahaya perubahan iklim tersebut, contoh dengan didirikannya sekolah lapang iklim oleh BMKG Stasiun Klimatologi Sleman untuk membekali para petani wawasan tentang iklim serta pembangunan sekolah berbasis adiwiyata atau sekolah ramah lingkungan.
Peran Pemerintah
Namun, jangan sampai melupakan peran pemerintah dalam menerapkan peraturan ataupun regulasi yang menjadi peranan penting dalam hal mengatasi krisis tersebut. Peraturan ataupun regulasi harus bersifat sangat mengikat dan bila tidak mematuhinya terdapat beberapa sanksi yang harus dijalani. Seperti, UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Bila pemerintah Indonesia baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah serius untuk membenahi masalah iklim tersebut, maka diperlukan peraturan-peraturan yang jelas dan tidak bersifat merugikan suatu pihak. Karena seringkali peraturan yang menyangkut hal terkait masalah lingkungan tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya, seperti RUU Omnibus Law yang disahkan baru-baru ini yang disahkan oleh pemerintah yang diyakini oleh aktivis lingkungan sebagai penggenjot upaya deforestasi di Indonesia.
Peraturan-peraturan pemerintah baik Pemerintah Pusat ataupun pemerintah daerah masing-masing harus berorientasi dan dipertegas pada kesepakatan Indonesia pada Paris Climate Agreement tahun 2015 yang membatasi kenaikan suhu global rata-rata 1,5 derajat celsius serta dalam penerapannya perlu langkah konkret dari pemerintah. Adanya peraturan ataupun regulasi dari masing-masing Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, maka krisis pada tahun 2050 yang diprediksi terjadi di Indonesia dapat tercegah atau bahkan teratasi.
Kaysan Nawfal Fadila
Pelajar Sahabat Ombudsman Kelas XI Madrasah Muallimin Yogyakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Prakiraan Cuaca, Jumat 22 September 2023, Siang Hari Cerah Menyengat
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement