Advertisement

OPINI: PKP Lalai atas Kewajiban Pajaknya, Bisakah di Pidana?

Arum Setyo Mestuti, Fungsional Penyuluh, KPP Pratama Sukoharjo Jawa Tengah
Rabu, 13 September 2023 - 20:37 WIB
Maya Herawati
OPINI: PKP Lalai atas Kewajiban Pajaknya, Bisakah di Pidana? Arum Setyo Mestuti, Fungsional Penyuluh, KPP Pratama Sukoharjo Jawa Tengah

Advertisement

Seorang Wajib Pajak (WP) datang tergopoh-gopoh menuju loket Helpdesk. Ia membawa berlembar-lembar Surat Tagihan Pajak (STP). Setelah dicek oleh petugas, ternyata STP tersebut adalah tagihan karena WP Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak lapor SPT Masa PPN selama berbulan-bulan.

Dari pengakuannya, usaha yang dijalankan keluarganya kolaps setelah sang ayah sebagai pengurus meninggal dunia. Sebagai anak ia tidak terlalu paham atas usaha tersebut apalagi kewajiban pajaknya.

Advertisement

Tiba-tiba datang surat tagihan pajak yang nominalnya tidak sedikit. Ia kira setelah usaha sang ayah bangkrut maka kewajiban pajaknya otomatis berhenti. Benarkah? Lalu bagaimana?

Apa Itu PKP?

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020, Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disingkat PKP, adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya.

Pengusaha wajib melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar. Namun Wajib Pajak tetap bisa memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak walaupun belum memenuhi ketentuan peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar.

Di lapangan, kadang-kadang menjadi PKP merupakan hal yang mau tidak mau harus dilakukan oleh pengusaha. Lawan transaksi biasanya meminta faktur pajak atas pembelian yang mereka lakukan. Padahal pengusaha tidak bisa menerbitkan faktur pajak kalau tidak dikukuhkan menjadi PKP­. Dengan adanya faktur pajak maka menjadi bukti bahwa PKP telah melakukan pungutan pajak dari lawan transaksi.

Yang menjadi permasalahan adalah masih banyak PKP yang belum memahami kewajiban pajaknya. Mereka tidak cukup tahu apa saja yang harus mereka lakukan khususnya dalam hal pajak setelah dikukuhkan menjadi PKP.

Kewajiban PKP

Di Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPn BM sebagaimana telah beberapa kali diubah terkahir dengan UU No 6 Tahun 2023, pada penjelasan Pasal 3A ayat (1):

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam daerah pabean dan/atau melakukan ekspor BKP berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP tidak berwujud diwajibkan:

1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

2. Memungut pajak yang terutang;

3. Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan

4. Melaporkan penghitungan pajak.

Setelah pengusaha dikukuhkan menjadi PKP ada tanggung jawab dan kewajiban yang menantinya. Tentu PKP harus memungut pajak atas penjualan yang dilakukan, kemudian menyetorkannya ke kas negara. Setelah itu masih ada kewajiban untuk melaporkan penghitungan pajaknya. Namun, dalam beberapa kasus, masih banyak PKP yang mendapat STP karena tidak lapor SPT Masa PPN, khususnya bagi PKP yang merasa sedang tidak ada kegiatan usaha di masa-masa tertentu. Mereka menganggap kalau tidak ada kegiatan usaha di masa-masa tertentu atau bahkan ketika kegiatan usaha sudah tidak berjalan maka tidak ada kewajiban lapor SPT Masa PPN. Padahal entah ada kegiatan ataupun tidak, bahkan ketika usaha sudah tidak lagi berjalan masih ada kewajiban lapor SPT Masa PPN.  Lalu atas kelalaian ini apakah kantor pajak bisa menindaklanjuti dengan pidana?

Ketentuan Pidana dalam KUP

Setidaknya ada dua unsur dalam tindak pidana perpajakan. Pertama, tindak pidana karena kealpaan. Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pasal 38 pada intinya dinyatakan bahwa:

Setiap orang yang karena kealpaannya :

1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Kedua, tindak pidana karena kesengajaan. Arti sengaja di KBBI adalah: dimaksudkan (direncanakan); memang diniatkan begitu; tidak secara kebetulan. Tindak pidana berupa kesengajaan diatur dalam Pasal 39 UU KUP. Tindakan kesengajaan ini dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara, yang terdiri dari:

3. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Sedangkan Wajib Pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP. Hal ini tercantum dalam Pasal 2 UU KUP.

1. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP;

Salah satu contohnya adalah ketika seseorang menggunakan NPWP orang lain untuk melakukan transaksi jual-beli.

2. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

Ketentuan tentang tata cara penyampaian SPT Tahunan tercantum dalam Pasal 3 UU KUP.

3. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 3 UU KUP.

4. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan terdapat dalam Pasal 29 UU KUP.

5. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

Ketentuan terkait pembukuan terdapat dalam Pasal 28 UU KUP.

6. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

Sesuai Pasal 28 ayat (4) UU KUP dinyatakan:

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan”.

1. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

2.Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Dalam huruf h di atas, ketentuan terkait jangka waktu penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Sedangkan maksud tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sesuai dengan mekanisme pemungutan pajak withholding tax. Dikutip dari klikpajak.id, sistem pemungutan atau pemotongan ini dilakukan oleh pihak ketiga. Pajak yang telah dipotong atau dipungut harus disetorkan ke kas negara. Apabila WP telah memotong atau memungut pajak namun tidak disetorkan ke kas negara maka dikategorikan melakukan tindak pidana pajak sesuai Pasal 39 UU KUP ini.

Jadi bagaimana jika PKP lalai melaporkan SPT Masa PPN-nya? Apakah bisa dipidana?

Bisa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam uraian di atas. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak Wajib Pajak yang belum melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal ini bisa terjadi karena memang Wajib Pajak tidak memahami kewajiban pajaknya ataupun abai akan hal tersebut. Walaupun demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak serta merta melakukan enforcement secara represif seperti melakukan pemeriksaan pajak dan mengajukan tindak pidana pajak. Petugas pajak (fiskus) biasanya akan melakukan upaya persuasif dan pendekatan edukatif untuk menangani Wajib Pajak yang tidak patuh. Upaya persuasif bisa dilakukan dengan menghimbau Wajib Pajak agar patuh pajak secara sukarela. Selain itu fiskus juga dapat melakukan pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada Wajib Pajak tentang arti pentingnya pajak dan kewajiban pajak mereka, seperti:

1. Melakukan sosialiasi perpajakan baik secara langsung maupun tidak langsung

2. Melakukan bimbingan dan pendampingan seperti melakukan asistensi tata cara pengisian SPT Tahunan, pengisian dan pelaporan SPT masa unifikasi bagi instansi pemerintah dll

3. Mengadakan pelatihan perpajakan bagi Wajib Pajak seperti pelatihan perpajakan bagi WP UMKM

4. Mengadakan kerja sama dengan instansi lain

Pendekatan edukatif juga dinilai lebih efektif  dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak. Selain itu juga dapat meningkatkan hubungan baik antara fiskus dan Wajib Pajak.
Jadi, Wajib Pajak tidak perlu ragu atau takut untuk bertanya kepada petugas pajak apabila ada hal yang tidak dipahami terkait kewajibannya perpajakannya. Dengan memahami kewajiban pajaknya, Wajib Pajak dapat menjadi Wajib Pajak yang patuh dan turut berkontribusi dalam pembangunan negara.

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prakiraan Cuaca, Jumat 22 September 2023, Siang Hari Cerah Menyengat

Jogja
| Jum'at, 22 September 2023, 05:47 WIB

Advertisement

alt

Yonghwa Titip Salam untuk "Mantan Istri", Seohyun

Hiburan
| Rabu, 20 September 2023, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement