Advertisement

OPINI: Krisis Geopolitik dan Risiko Fiskal

Sunarsip
Jum'at, 26 April 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Krisis Geopolitik dan Risiko Fiskal Sunarsip - JIBI

Advertisement

Sebelum Israel melakukan serangan balasan terhadap Iran (19 April 2024), IMF sebenarnya masih memberikan optimisme terhadap outlook ekonomi global selama 2024. Ini terbukti, pada World Economic Outlook (WEO) yang terbit 16 April, IMF menaikkan outlook pertumbuhan ekonomi global pada 2024 menjadi 3,2% dari sebelumnya 3,1% (WEO, Januari 2024) dan 2,9% (WEO, Oktober 2023).

Perbaikan outlook antara lain didorong oleh outlook ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih baik, pemulihan ekonomi China dan kinerja ekonomi India yang mengejutkan (surprisingly). Kini, setelah serangan balasan Israel tersebut, memunculkan sejumlah pertanyaan: apakah optimisme tersebut masih valid? Dampak langsung konflik Iran-Israel terhadap ekonomi Indonesia sebenarnya sangat kecil.

Advertisement

Meskipun Iran merupakan salah satu produsen minyak dan gas bumi (migas) terbesar di dunia, impor migas Indonesia dari Iran sangat kecil. Data Bank Indonesia menyebutkan impor migas dari Iran hanya 0,01% dari total impor migas Indonesia pada 2023. Yang perlu diwaspadai adalah dampak tidak langsungnya.

Peningkatan konflik geopolitik di Timur Tengah akan memberikan dampak negatif bagi stabilitas keuangan global melalui transmisi utamanya antara lain, harga energi, gangguan rantai pasokan (supply chain disruptions), volatilitas pasar keuangan (financial market volatility), dan meningkatnya kembali tekanan terhadap inflasi.

Pada akhirnya, berbagai faktor tersebut dapat memengaruhi kalkulasi bank sentral utama dunia, seperti The Federal Reserve, yang sebelumnya berpotensi akan memangkas suku bunga acuan dalam waktu dekat. Tingginya harga minyak yang berlanjut akan memperburuk ekonomi negara-negara importir energi, seperti AS, Eropa, dan China.

Selanjutnya, kenaikan harga energi juga akan meningkatkan tekanan terhadap inflasi sehingga suku bunga tinggi dapat bertahan lebih lama. Suku bunga tinggi akan memberikan tekanan besar bagi negara-negara berkembang. Tentu kita berharap konflik geopolitik tersebut segera berakhir. Sebagai negara berkembang, kita perlu menyiapkan berbagai langkah mitigasi risiko manakala konflik geopolitik tersebut berlanjut.

Rekomendasi Kebijakan

Dari sisi fiskal, terdapat beberapa kebijakan mitigasi yang perlu dipersiapkan, yaitu mitigasi risiko untuk mengurangi dampak (i) risiko kenaikan harga energi, (ii) risiko nilai tukar, dan (iii) risiko kenaikan harga pangan. Ketiga jenis mitigasi risiko tersebut tidak hanya penting untuk membentengi fiskal tetapi juga untuk menjaga stabilitas inflasi.

Pemerintah, misalnya, perlu menyiapkan kebijakan mitigasi risiko harga energi untuk mengurangi tekanan terhadap beban subsidi dan kompensasi energi. Ini mengingat, analisis sensitivitas pada APBN 2024 menyebutkan bahwa realisasi harga minyak mentah (ICP) yang melebihi asumsi yang ditetapkan APBN justru meningkatkan beban (defisit) fiskal.

Analisis sensitivitas pada APBN 2024 menyebutkan setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel di atas asumsi APBN akan meningkatkan defisit fiskal sebesar Rp6,5 triliun. Situasi ini terjadi karena realisasi lifting migas kita menurun. Di sisi lain, kebutuhan energi (khususnya BBM) masih meningkat. Kenaikan harga minyak meningkatkan biaya pengadaan BBM yang akhirnya meningkatkan beban subsidi dan kompensasi energi.
Beban fiskal berupa kenaikan subsidi dan kompensasi energi akan menjadi lebih besar bila pada waktu yang sama nilai tukar rupiah melemah. Pelemahan nilai tukar Rupiah juga telah menimbulkan implikasi berupa kenaikan bunga utang pemerintah.

Selama Januari—Februari 2024, beban bunga utang pemerintah telah mencapai Rp69 triliun, naik dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp50,3 triliun dan Rp41,9 triliun pada 2022. Mitigasi risiko nilai tukar antara lain dilakukan melalui refinancing atas utang valas pemerintah dengan surat utang negara (SUN) rupiah.

Terlebih, bila penerbitan SUN rupiah tersebut mampu menggaet investor portofolio valas. Selain akan mengurangi beban bunga utang, langkah tersebut dapat meningkatkan pasokan valas untuk memperkuat nilai tukar.

Kebijakan mitigasi untuk memagari APBN dari risiko nilai tukar perlu dilakukan secara kolektif bersama korporasi negara (BUMN) yang memiliki relasi kuat dengan fiskal. Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN perlu mendorong BUMN melakukan mitigasi risiko nilai tukar melalui strategi lindung nilai (hedging). Pedoman pemanfaatan hedging yang telah disiapkan Kementerian BUMN sejak 2013, penerapannya perlu diperluas.

PLN dan Pertamina telah menerapkan strategi hedging dengan polanya masing-masing. Praktik ini perlu diperluas terhadap BUMN-BUMN yang memiliki eksposur valas dalam jumlah besar, naik untuk kebutuhan impor maupun membayar kewajiban luar negeri.

Penerapan strategi hedging, tidak hanya perlu dilakukan pada nilai tukar. Strategi hedging juga perlu dilakukan pada komoditas untuk memastikan stabilitas harga komoditas yang diimpor. Sejauh ini, diskusi hedging komoditas baru terbatas pada komoditas energi seperti minyak mentah, karena kita memang pengimpor minyak.

Namun, penerapan hedging komoditas juga perlu diterapkan pada komoditas lainnya, seperti pangan. Tentunya, penerapan hedging ini perlu diikuti dengan penguatan tata kelola (governance) di internal BUMN dan penguatan regulasi sebagai payung hukumnya.

Tujuannya, untuk mencegah moral hazard penggunaan hedging sekaligus melindungi manajemen BUMN dari kriminalisasi atas kerugian yang timbul (bila terjadi). Dengan demikian, kerja sama dengan lembaga pemeriksaan keuangan negara (BPK dan BPKP) serta aparat penegak hukum (Kejaksaaan, Polri dan KPK) perlu diperkuat.

Serangkaian kebijakan mitigasi risiko fiskal di atas penting untuk didorong. Berbagai kebijakan di atas memiliki dimensi luas untuk mewujudkan stabilitas keuangan, baik di tingkat mikro dan makro. Mitigasi risiko fiskal tidak hanya menjadi tanggung jawab otoritas fiskal. Dukungan kolektif dari korporasi negara juga penting untuk memperkuat ketahanan fiskal. Semoga saja, krisis geopolitik saat ini sekaligus menjadi pendorong (trigger) bagi kita untuk lebih sadar tentang pentingnya memperkuat ketahanan internal melalui inovasi kebijakan mitigasi risiko atas krisis global.

Sunarsip
Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Gelar Workshop, ANPS Bahas Pentingnya AI Dalam Dunia Pendidikan

Jogja
| Minggu, 05 Mei 2024, 08:57 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lengkap Lagu "Tak Selalu Memiliki" Lyodra, OST Film Ipar Adalah Maut

Hiburan
| Jum'at, 03 Mei 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement