Advertisement

Promo November

Ini Dia, Serangga Pemakan Plastik..

Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja
Minggu, 17 November 2024 - 23:07 WIB
Ujang Hasanudin
Ini Dia, Serangga Pemakan Plastik.. Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja - Gambar Harian Jogja - Hengky Kurniawan\\r\\n\\r\\n

Advertisement

Ini bukan angin surga, tetapi kita boleh berharap akan menjadi kenyataan. Ketika seluruh dunia sibuk mengupayakan bagaimana membuat plastik biodegradable alias ramah lingkungan, sejumlah ilmuwan menemukan terobosan baru yang menarik sebagai upaya melawan polusi plastik yakni pembudidayaan melworm larvae. Makhluk yang semula dianggap remeh-temeh itu ternyata mampu mengonsumsi polistirena—salah satu turunan produk plastik yang berasal dari hidrokarbon cair hasil pemrosesan minyak bumi.

Mereka termasuk dalam kelompok kecil serangga yang terbukti mampu memecah/menguraikan sampah plastik yang mencemari lingkungan, dan temuan ini mungkin akan mendukung penuh revolusi hijau guna memperlambat laju pencemaran ligkungan oleh plastik yang telah menjadi kepusingan global. Penemuan ini adalah yang pertama kalinya bahwa ada spesies serangga asli Afrika yang doyan plastik—untuk sementara baru diketahui mampu mengonsumsi jenis polisteirena.

Advertisement

Bentuk fisik mealworm larvae—di Kenya dikenal sebagai larva ulat bambu kecil—ini mirip dengan larva yang di Indonesia dikenal dengan istilah ulat hongkong, merupakan larva dari kumbang tepung (Tenebrio molitor) dan sering digunakan sebagai pakan ternak alternatif, karena kandungan gizinya yang tinggi

Polistirena dikenal juga sebagai styrofoam, merupakan bahan plastik yang banyak digunakan dalam kemasan makanan, peranti elektronik, dan hasil industri pada umumnya. Plastik sulit untuk dipecah atau terurai dan karenanya tahan lama. Metode daur ulang tradisional—seperti proses kimia dan termal—telah ditempuh, tapi mahal dan dapat menimbulkan polutan. Inilah salah satu alasan para ilmuwan ingin mengeksplorasi metode biologis dalam mengelola limbah yang persisten alias ngeyel ini.

Pada suhu ruangan, polistirena biasanya bersifat termoplastik padat, dapat mencair pada suhu yang lebih tinggi. Stirena tergolong senyawa aromatik. Polisterina banyak dimanfaatkan sebagai bahan kemasan untuk buah-buahan dan sayuran  karena mempunyai permeabilitas uap air dan gas yang tinggi.

Menurut Fathiya Khamis, anggota tim ilmuwan dari Icipe atau Pusat Internasional Fisiologi dan Ekologi Serangga/International Center of Insect Physiology and Ecology) di Nairobi, Kenya, larva tersebut dapat mengunyah polistirena dan mereka menampung bakteri di usus mereka yang membantu menguraikan bahan tersebut.

Ulat bambu kecil adalah bentuk larva dari kumbang gelap Alphitobius. Masa metamorfosa sebagai larva berlangsung antara 8 dan 10 pekan. Ulat kecil ini kebanyakan ditemukan di kandang unggas yang hangat dan menyediakan pasokan makanan yang konstan – kondisi ideal bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang biak.

Meskipun ulat bambu kecil diperkirakan berasal dari Afrika, spesie sejenis mereka dapat ditemukan di banyak negara di dunia. Spesies yang mereka identifikasi dalam penelitian tersebut mungkin merupakan subspesies dari genus Alphitobius. “Kami sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan kemungkinan ini,” ujar Fathiya, ilmuwan senior yang meraih doktor di bidang biologi molekular itu.

Penelitian mereka juga ‘ngoprek’ bakteri usus pada serangga tersebut. Mereka ingin mengidentifikasi komunitas bakteri yang mungkin mendukung proses degradasi plastik.

Tingkat polusi plastik berada pada titik sangat tinggi di beberapa negara Afrika maupun seluruh dunia. Meskipun sampah plastik merupakan masalah lingkungan hidup yang besar secara global, Afrika menghadapi tantangan khusus karena tingginya impor produk plastik, rendahnya penggunaan kembali, dan kurangnya daur ulang produk-produk tersebut.

Dengan mempelajari “pemakan plastik” alami ini, mereka berharap dapat menciptakan alat baru yang membantu membuang sampah plastik dengan lebih cepat dan efisien. “Daripada melepaskan sejumlah besar serangga ini ke tempat pembuangan sampah—yang tentu saja tidak praktis, kita dapat menggunakan mikroba dan enzim yang mereka hasilkan untuk dibiakkan secara massal di pabrik, tempat pembuangan sampah, dan tempat pembersihan. Artinya, sampah plastik dapat diatasi dengan cara yang lebih mudah dikelola dalam skala besar.”

Mereka melakukan uji coba yang berlangsung lebih dari sebulan. Terdapat sejumlah larva diberi makan polistiren saja, ada pula yang diberi makan dedak (makanan padat nutrisi), atau kombinasi polistiren dan dedak.

Mereka menemukan bahwa ulat bambu yang diberi pakan dedak polistirena memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ulat bambu yang diberi pakan dedak polistiren saja. Mereka juga menemukan bahwa larva yang mengonsumsi dedak polistirena lebih efisien dibandingkan mereka yang hanya mengonsumsi polistiren saja. Hal ini berkaitan dengan manfaat untuk memastikan serangga tetap memperoleh makanan padat nutrisi.

Meskipun pola makan yang hanya menggunakan polistiren mendukung kelangsungan hidup ulat bambu, mereka tidak memiliki cukup nutrisi untuk membuatnya efisien dalam memecah polistiren. Temuan ini memperkuat pentingnya pola makan seimbang agar serangga dapat mengonsumsi dan menguraikan plastik secara optimal. Serangga tersebut mungkin memakan polistiren karena sebagian besar terdiri dari karbon dan hidrogen, yang dapat menjadi sumber energi bagi mereka.

Ulat bambu yang diberi pakan dedak polistiren mampu memecah sekitar 11,7 persen dari total polistiren selama masa percobaan.

Bakteri Pada Usus Larva

Analisis terhadap usus larva/ulat bambu menunjukkan perubahan signifikan dalam komposisi bakteri tergantung pada makanannya. Memahami perubahan komposisi bakteri ini sangat penting karena hal ini dapat mengungkap mikroba mana yang secara aktif terlibat dalam penguraian plastik. Hal ini akan membantu kita mengisolasi bakteri dan enzim spesifik yang dapat dimanfaatkan untuk upaya degradasi plastik.

Usus larva yang diberi makan polistiren ditemukan mengandung Proteobacteria dan Firmicutes dalam jumlah lebih tinggi, bakteri yang dapat beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan memecah berbagai zat kompleks.

Bakteri seperti Kluyvera, Lactococcus, Citrobacter, dan Klebsiella juga sangat melimpah dan diketahui menghasilkan enzim yang mampu mencerna plastik sintetis. Bakteri ini tidak akan berbahaya bagi serangga atau lingkungan bila digunakan dalam skala besar.

Banyaknya bakteri menunjukkan bahwa mereka memainkan peran penting dalam penguraian plastik. Ini mungkin berarti ulat bambu secara alami tidak memiliki kemampuan untuk memakan plastik.

Sebaliknya, ketika mereka mulai mengonsumsi plastik, bakteri di usus mereka mungkin berubah untuk membantu memecahnya. Dengan demikian, mikroba di dalam perut ulat bambu dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tidak biasa, seperti plastik.

Temuan ini mendukung hipotesis mereka bahwa usus serangga tertentu dapat menyebabkan degradasi plastik. Hal ini kemungkinan karena bakteri di ususnya dapat menghasilkan enzim yang menguraikan polimer plastik.

Hal ini meningkatkan kemungkinan untuk mengisolasi bakteri ini, dan enzim yang dihasilkan, untuk menciptakan solusi mikroba yang dapat mengatasi sampah plastik dalam skala yang lebih besar.

Spesies serangga tertentu, seperti ulat kuning (Tenebrio molitor) dan ulat super (Zophobas morio), telah menunjukkan kemampuannya dalam mengonsumsi plastik. Mereka mampu memecah bahan seperti polistiren dengan bantuan bakteri di ususnya.

Penelitian Fathiya dan kawan-kawannya unik karena berfokus pada spesies serangga asli Afrika, yang belum dipelajari secara ekstensif dalam konteks degradasi plastik.

Fokus regional ini penting karena serangga dan kondisi lingkungan di Afrika mungkin berbeda dengan wilayah lain di dunia, sehingga berpotensi menawarkan wawasan baru dan solusi praktis untuk polusi plastik di Afrika.

Kemampuan ulat bambu Kenya yang lebih rendah dalam mengonsumsi polistiren menunjukkan bahwa ulat bambu berperan dalam pengurangan limbah alami, terutama untuk jenis plastik yang tahan terhadap metode daur ulang konvensional.

Penelitian di masa depan dapat fokus pada isolasi dan identifikasi strain bakteri spesifik yang terlibat dalam degradasi polistiren dan pemeriksaan enzimnya.

“Kami berharap dapat mengetahui apakah enzim dapat diproduksi dalam skala besar untuk mendaur ulang sampah. Selain itu, kami mungkin mengeksplorasi jenis plastik lain untuk menguji keserbagunaan serangga ini untuk aplikasi pengelolaan limbah yang lebih luas,” ujar Fathiya.

Penelitian tersebut memang menjanjikan solusi jitu untuk mengatasi persoalan lingkungan akibat sampah plastik. Namun, tida ada hal yang sempurna di dunia ini. Akankah larva atau ulat bambu itu aman jika dikonsumsi oleh ternak, mengingat makhluk kecil tersebut selama ini merupakan ‘konsumsi wajib’ bagi ternak tertentu? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam skala mikroskopis, plastik yang dikunyah oleh bakteri di perut larva/ulat bambu tadi benar-benar terurai penuh menjadi bahan yang ramah lingkungan, karena kandungan mikroplastik selama ini ternyata tetap diteruskan dalam sistem rantai makanan flora maupun fauna?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kunjungi TPST Minggir, Menteri Hanif Faisol Minta Pengelolaan Sampah Lebih Efektif

Sleman
| Senin, 18 November 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Musisi Isyana Sarasvati Gelar Konser Tunggal

Hiburan
| Minggu, 17 November 2024, 08:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement