Advertisement
Nilai Aset Tanah dan Bangunan Atas Perusahaan yang Bubar dari Ketentuan Perpajakan
Advertisement
JOGJA—Media masa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini diramaikan dengan berita berita mengenai kondisi industri tekstil yang sedang tidak baik-baik saja. Terpukulnya industri tekstil di dalam negeri sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir yang ditengarai akibat serbuan produk-produk impor ilegal.
Sebagai akibatnya banyak pabrik yang mengurangi produksi garment bahkan menutup operasi mereka yang mengakibatkan pemangkasan jumlah tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja. Bahkan akibat yang paling mengenaskan adalah dilakukannya penutupan usaha industri ini dan berencana untuk menjual aset-asset perusahaan baik berupa tanah, maupun bangunan pabrik.
Advertisement
Beberapa pertanyaan yang muncul atas kondisi yang dialami industri ataupun perusahaan dalam keadaan seperti ini diantaranya sebagai sebagai berikut. Bagaimana jika perusahaan sudah tidak beroperasi sejak beberapa tahun yang lalu dan berencana akan mengajukan pembubaran perusahaan atau likuidasi.
Kemudian bagaimana jika perusahaan berencana untuk menjual aset tanah dan bangunannya, dengan cara melakukan balik nama kepada perusahaan lain sebagai pemegang saham utamanya. Perusahaan seringkali juga menanyakan, jika atas transaksi balik nama dengan menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dapatkah diakui atau diterima sebagai nilai transaksi jual beli atau balik nama oleh pihak Fiskus.
Bagaimanakah ketentuan yang sebenarnya terkait hal ini?
Perlu dipahami bahwa atas peristiwa atau transaksi yang terjadi dalam perpajakan tentu saja dapat berkaitan dengan Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Mari kita simak penjelasan sebagai berikut.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya pada Pasal 10 ayat 3 dinyatakan bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Sedangkan pada pasal yang sama di ayat 4 dinyatakan bahwa apabila terjadi pengalihan harta, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; sedangkan yang tidak memenuhi syarat, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
Hubungan Istimewa
Seperti kita ketahui, jika merujuk pada Pasal 18 ayat 3 dinyatakan bahwa Direktur Jenderal berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Namun pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pada.pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam hal harga jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
Penilai Independen
Dalam perkembangannya saat ini, perusahaan seringkali mempergunakan Jasa Penilai Independen atau Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk mendapatkan nilai wajar atas transaksi jual beli tanah dan bangunan yang akan dilakukannya.
Jika kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2023 tentang Tatacara Penilaian untuk Tujuan Perpajakan, terutama pada Pasal 2 dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Penilaian untuk menentukan.nilai objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka penetapan NJOP dan Nilai harta berwujud dan harta tidak berwujud.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa atas suatu transaksi penjualan tanah dan bangunan perusahaan yang sudah tidak aktif dan bermaksud untuk menjualnya maka perlu diperhatikan beberapa tahapan. Lihat terlebih dahulu dengan siapa perusahaan tersebut bertransaksi, apakah terkait dengan pemegang saham utama yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Kemudian perlu diperhatikan pula nilai perolehan atau pengalihan harta tersebut apakah merupakan jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar wajar dan terakhir pada akhirnya Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Penilaian untuk menentukan nilai perolehan atau pengalihan harta. Hal ini dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
*Penyuluh Pajak KPP PMA Satu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal KRL Jogja Solo Hari Ini, Minggu 29 Desember 2024, Berangkat dari Stasiun Lempuyangan hingga Purwosari
Advertisement
Kolaborasi dengan Puspita Larasati Garap 1+1, 8tually Ungkap Emosi dan Dilema Hubungan Anak Muda
Advertisement
Advertisement
Advertisement