Advertisement
NGUDARASA: Brain Drain Tak Terelakkan Lagi

Advertisement
Beberapa pekan terakhir, berbagai media sosial diramaikan dengan bahasan soal upaya anak muda yang ingin mencari peluang hidup yang lebih baik di luar negeri. Bahasan—atau lebih tepatnya anjuran atau seruan—yang menggema di medsos dengan tag #KaburAjaDulu tersebut menjadi representasi keinginan sebagian anak muda Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, sekaligus sebagai simbol kekecewaan mereka terhadap kondisi dalam negeri yang dirasa semakin tidak menentu.
Makin banyak anak muda mengaku kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai dengan harapan mereka di Indonesia. Beberapa di antara mereka menganggap kualitas hidup di dalam negeri belum ideal, terutama terkait dengan fasilitas publik, infrastruktur, dan lingkungan. Tidak sedikit pula yang merasa tidak puas dengan kondisi sosial, politik, atau ekonomi di Indonesia yang dianggap tidak berpihak, tiada ketidakpastian dalam meniti karier, hingga transparansi penggunaan pajak yang dipertanyakan.
Advertisement
Ditambah lagi dengan perasaan tak punya kuasa untuk mengubah situasi. Alih-alih berjuang dalam sistem yang dirasa stagnan, kaum muda cenderung memilih untuk mencari kepastian di negara lain yang dinilai menawarkan peluang kerja lebih jelas, sistem yang lebih transparan, dan masa depan yang lebih menjanjikan.
Kaum muda menyaksikan terlalu banyak hal yang paradoksal di negeri ini, misalnya pemerintah mengetatkan anggaran “habis-habisan” tapi birokrasi dibiarkan bengkak tiada terkira. Negara mencita-citakan memiliki warga yang cerdas, tetapi biaya perguruan tinggi hampir tidak terjangkau bagi kebanyakan masyarakat, dan semua pemimpin politik sepakat untuk memperkuat kelas menengah—yang dipercaya dapat memertahankan demokrasi—tapi terhadap rakyat yang berupaya “naik kelas” itu nyaris tidak difasilitasi.
Jika fenomena #KaburAjaDulu terus berlanjut, Indonesia jelas akan mengalami brain drain, yaitu kehilangan sumber daya manusia berkualitas. Dampak negatif brain drain antara lain adalah negeri ini akan kehilangan talenta, sebuah negeri besar bernama Indonesia akan kehilangan potensi besar dari anak-anak muda yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk pembangunan negara.
Hal itu jelas akan bermuara pada perlambatan pembangunan nasional akibat berkurangnya tenaga ahli yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan inovasi di berbagai sektor. Fenomena brain drain juga dapat memperlebar kesenjangan antara Indonesia dengan negara-negara maju.
Untuk mengatasi fenomena #KaburAjaDulu dan mencegah brain drain, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak. Sejumlah langkah yang harus ditempuh antara lain peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah perlu untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan agar lulusan memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Di samping itu, pemerintah dan sektor swasta juga perlu memikirkan penciptaan lebih banyak lapangan kerja yang berkualitas dengan gaji yang menarik. Selagi lapangan kerja yang tersedia hanya menjanjikan standar gaji dasar bagi lulusan perguruan tinggi, misalnya, jangan harap mereka tertarik bekerja. Fenomena seperti di Korsel—ketika lulusan perguruan tinggi ramai-ramai memilih status sebagai pengangguran ketimbang bekerja cuma beroleh penghasilan pas-pasan—hendaknya tidak menggejala di negeri ini.
Selain itu, pemerintah juga perlu berinvestasi dalam infrastruktur, fasilitas publik, dan lingkungan hidup agar kualitas hidup masyarakat meningkat. Untuk itu, perlu menempuh apa yang dikenal sebagai reformasi birokrasi yang sebenar-benarnya, bukan sekadar jargon. Birokrasi yang efisien dan transparan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Karena itu, perlu adanya kampanye nasional yang meningkatkan kesadaran akan pentingnya kontribusi anak muda bagi bangsa. Pemerintah tidak dapat membiarkan meruyaknya fenomena brain drain ini. Tag yang bermunculan di medsos #KaburAjaDulu adalah alarm bagi Indonesia untuk segera mengambil tindakan. Jika tidak ditangani dengan serius, brain drain dapat menjadi masalah serius bagi masa depan bangsa.
Ke Negeri Jiran
Seperti pernah saya sampaikan dalam kolom ini beberapa waktu silam, negeri ini tiap tahun kehilangan banyak mahasiswa pintar, mereka direbut Singapura, dirayu dengan pelbagai fasilitas menarik—gaji tinggi, ketersediaan sarana riset, dan berbagai daya tarik—yang membuat mereka kemudian pindah menjadi warga negara Singa tersebut. Belum lagi mereka yang diiming-imingi oleh negeri lain, yang juga menawarkan daya pikat agar mahasiswa pintar dari Indonesia itu tidak perlu kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, tetapi pindah kewarganegaraan dan turut memajukan negeri pemikat tersebut.
Fenomena ini mungkin bukan kabar baru bagi sebagian orang, melainkan sudah berlangsung belasan tahun. Tapi, paparan tentang tingginya angka perpindahan WNI ke Negeri Singa itu cukup menggelisahkan tentunya. Salah satu instansi pemerintah, ketika itu Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, pernah mengungkapkan arus deras brain drain ke Negeri Jiran itu terjadi ekonominya relatif terjaga sehingga menjadi magnet bagi kawasan sekitarnya. Selain miskin sumber daya alam, Singapura juga menghadapi ancaman demografi minus, karena beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif dalam hal angka kelahiran.
Menurut catatan Ditjen Imigrasi, angka perpindahan mahasiswa pintar Indonesia ke Singapura saja mencapai 1.000 orang per tahun. Belum lagi yang pindah ke negara-negara lain. Pantas saja, jumlah diaspora Indonesia di seluruh dunia kian membengkak dari tahun ke tahun, selain mereka yang benar-benar merantau mengadu nasib, juga fenomena pemikatan sumber daya manusia unggul oleh sejumlah negara itu kian menjadi-jadi.
Hengkangnya putra-putri terbaik negeri ini ke negara lain jelas akan memengaruhi masa depan Indonesia, yang digembar-gemborkan akan menghadapi ulang tahun emas pada 2045 mendatang dan digadang-gadang menjadi salah satu negara maju. Kalau laju perpindahan jumlah mahasiswa pintar Indonesia terus bertambah, berkah demografi yang dulu didengung-dengungkan oleh banyak orang itu niscaya akan menjadi kutukan atau bahkan bencana demografi. Bukan hanya menjadi semboyan Indonesia Cemas, melainkan Indonesia Lemas pula akibat berbagai kelemahan yang dipertanhankan di sana-sini.
Karena, mereka yang pintar-pintar tadi dirangkul oleh negeri lain, dimanja dengan berbagai fasilitas kehidupan yang relatif kian sulit diperoleh di negeri sendiri, akibat ketidakberesan pengelolaan negara, setidaknya selama hampir satu dekade belakangan ini. Indikatornya tampak gamblang, yakni meruyaknya praktik korupsi, kejemuan kaum muda atas ketidaknyamanan iklim perpolitikan nasional, serta kian banyaknya jumlah penduduk yang masuk kategori rentan miskin—mencapai 112 juta jiwa. Walhasil, makin banyak warga yang tidak mampu mengenyam jenjang pendidikan formal, mengingat biaya sekolah/kuliah di bangku pendidikan negeri tidak jauh berbeda dengan mereka yang swasta.
Situasi Antidemokrasi
Iklim perpolitikan di negeri ini sedang terdisrupsi cukup hebat. Apa pasal? Negeri yang sudah sepakat menerapkan sistem demokrasi secara kaffah ini menghadapi situasi antidemokrasi, sehubungan dengan berkembangnya wacana kepemimpinan nasional lebih dari dua periode, sibuk membangun legacy, ketidakpastian hukum akibat keberkuasaan oligarki, dan aneka peroalan kebangsaan lainnya.
Karuan saja, situasi seperti ini memicu ketidaknyamanan baru bagi mereka yang semula menganggap Gerakan Reformasi 1998 dan kemudian menghasilkan pemantapan tata aturan kenegaraan sesuai prinsip demokrasi yang sesungguhnya, bukan demokrasi seolah-olah—sebagaimana terjadi pada periode Orde Baru—membuat masa depan negeri ini berbelok ke arah tidak menentu.
Sejumlah kaum muda bahkan sudah berancang-ancang untuk hengkang dari Bumi Pertiwi ini, ingin mencari peruntungan di negeri orang yang dianggap lebih established dan firm memberlakukan sistem ketatanegaraan. Mereka mendambakan tinggal di sebuah negara yang tidak diombang-ambingkan oleh para cowboy politik serta para cukong yang dapat seenak udelnya “membajak” sistem ketatanegaraan.
Para pemuda merasa jengah menyaksikan tingkah mereka-mereka yang ambeg kumawasa itu, yang ingin terus menangkasi kekuasaan. Mereka telah merasa nyaman selama hampir dua periode menikmati gelimang takhta—yang dengan sendirinya bergelimang harta—dan nyaris tidak menyejahterakan harkat rakyat jelata. Buktinya, kehidupan ekonomi masyarakat awam kian merosot dari waktu ke waktu. Ironisnya, di sisi lain, sebagian kecil bangsa ini menikmati pertambahan kekayaan luar biasa.
Kesenjangan ekonomi kian menjadi-jadi. Taraf hidup rakyat kembali ke kubangan, sebagaimana terjadi pada periode 1970-an. Sudah demikian, beban utang negara luar biasa besarnya. Ibarat kata, bayi yang belum dilahirkan oleh seorang ibu di negeri ini, sudah menanggung utang jutaan rupiah—kabarnya mencapai Rp30 juta per jiwa—sehingga cukup alasan bagi pasangan muda untuk tidak memiliki momongan, misalnya, ketimbang kehidupan mereka akan penuh dengan liability.
Karenanya, begitu menerima tawaran menggiurkan dari negeri sebelah tersebut, para mahasiswa pintar yang sebenarnya merupakan aset bangsa Indonesia itu pun menyambarnya sebagai peluang untuk memperbaiki taraf hidup serta mencari pengalaman dan tantangan hidup yang baru, sembari meninggalkan hiruk-pikuknya tanah tumpah darah mereka.
Salah seorang pemuda yang bekerja di perusahaan multinasional di Jakarta bertutur kepada saya betapa dia sedang menunggu kesempatan untuk berkarier serta mencari penghidupan di luar negeri. Iklim perpolitikan di Indonesia saat ini dan mendatang, menurut dia, tampaknya tidak akan banyak berubah selagi negeri ini masih dikuasai oligarki. “Tidak ada masa depan kami di negeri ini,” ujarnya menumpahkan kegerahan sekaligus kegeramannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Sadranan Koroulon Kidul, Ajang Melestarikan Budaya dan Silaturahmi
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement