Advertisement

OPINI: Fleksibilitas Kerja, Antara Work-Life Balance dan Burnout

Heny Widiastuti, Pengantar Kerja Ahli Muda, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY
Kamis, 10 April 2025 - 18:47 WIB
Maya Herawati
OPINI: Fleksibilitas Kerja, Antara Work-Life Balance dan Burnout Heny Widiastuti, Pengantar Kerja Ahli Muda, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY

Advertisement

Di tengah derasnya arus perubahan digital, istilah work-life balance menjadi jargon yang acap didengungkan, tetapi semakin sulit diwujudkan. Fleksibilitas yang dulu dianggap sebagai solusi, kini seringkali menjadi “jebakan tak kasat mata”.

Work from anywhere tidak hanya diartikan sebagai bekerja dari mana saja, tetapi juga kapan saja dan terkadang tanpa akhir.

Advertisement

Generasi Milenial dan Gen Z, yang dikenal paling adaptif terhadap teknologi menjadi kelompok paling rentan mengalami kelelahan mental, krisis identitas pekerjaan, hingga kehilangan batas antara kehidupan pribadi dan profesional.

Teknologi

Kemajuan teknologi memungkinkan individu bekerja dari mana saja dan kapan saja. Tetapi kemampuan untuk “selalu terhubung” ini justru memicu fenomena digital burnout.

The Atlantic (2025) menyebutkan bahwa alat komunikasi kerja seperti surel, Slack, dan platform kolaborasi lainnya telah mengaburkan batas antara waktu kerja dan waktu istirahat.

Karyawan merasa perlu untuk terus responsif bahkan di luar jam kerja formal, menciptakan tekanan psikologis yang berkelanjutan.

Milenial dan Gen Z yang dikenal adaptif, kreatif, dan terbuka terhadap sistem kerja fleksibel, justru yang paling rentan terhadap krisis work-life balance.

Microsoft Work Trend Index (2023) mengungkapkan bahwa 48% pekerja Gen Z merasa burnout dan overworked, lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya.

Studi Gallup (2024) menunjukkan bahwa hanya 33% Milenial dan Gen Z merasa memiliki work-life balance yang memadai, meskipun mereka bekerja secara remote atau hybrid. Tekanan karier, ketidakpastian ekonomi, dan standar kesuksesan yang tinggi di media sosial menambah kompleksitas keseimbangan hidup generasi muda saat ini.

Beberapa teori menjelaskan kompleksitas work-life balance. Pertama,Spillover Theory, menyatakan bahwa emosi dan tekanan di satu aspek kehidupan bisa memengaruhi aspek lainnya. Misalnya seorang pekerja Gen Z yang mendapat teguran keras saat rapat, bisa kehilangan semangat sepanjang hari.

Kedua, Segmentation Theory menekankan pentingnya pemisahan tegas antara waktu dan ruang kerja dengan kehidupan pribadi untuk menghindari konflik antarperan.

Di Belanda misalnya, karyawan menerapkan digital sunset, yaitu menonaktifkan notifikasi kerja setelah pukul 18.00 waktu setempat. Ketiga, Compensation Theory menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam satu aspek kehidupan akan dikompensasi melalui aktivitas di aspek lainnya. Contohnya, seorang Milenial yang merasa pekerjaannya monoton menyalurkan kreativitas dengan membangun bisnis kecil di bidang fesyen.

Keempat, Role Conflict Theory menggambarkan individu mengalami stres saat peran kerja dan peran pribadi saling bertabrakan, contohnya seorang ibu muda dari generasi Milenial yang bekerja hybrid bisa merasa tertekan saat harus memilih antara rapat penting atau merawat anak yang sakit di rumah.

BACA JUGA: Indonesia Berencana Menerima 1.000 Pengungsi dari Jalur Gaza, Menteri Luar Negeri: Ini Bukan Permanen

Praktik Work-Life Balance

Beberapa negara telah memiliki inisiatif untuk meningkatkan work-life balance. Di Perancis, kebijakan Right to Disconnect memberikan hak kepada karyawan untuk mengabaikan komunikasi kerja di luar jam kerja formal.

Swedia menguji coba sistem kerja enam jam per hari dan menemukan bahwa produktivitas serta kesehatan mental meningkat secara signifikan.

Di Jerman, sejumlah perusahaan besar bahkan mematikan akses surel kantor di luar jam kerja sebagai bagian dari kebijakan work-life balance. Di Australia dan Kanada, pemerintah telah mengembangkan workplace wellbeing policies yang menekankan pentingnya jam kerja manusiawi dan perlindungan kesehatan mental.

Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa work-life balance bukan sekadar slogan, melainkan bisa diwujudkan melalui regulasi, budaya organisasi, dan kesadaran kolektif.

Sementara di Indonesia, kesadaran akan pentingnya work-life balance mulai tumbuh, tetapi implementasinya masih terbatas pada level permukaan dan belum menjadi praktek umum di banyak organisasi.

Beberapa perusahaan startup dan multinasional telah memulai langkah-langkah positif seperti pemberlakuan flexible working hours, kerja hybrid, atau kebijakan no meeting Friday.

Budaya kerja di Indonesia masih kental dengan norma “kerja keras”, yang sering kali diterjemahkan sebagai lembur, balas pesan di luar jam kerja, dan selalu tampil “siap sedia”. Dalam konteks ini, loyalitas karyawan sering diukur dari seberapa cepat merespon atau seberapa lama ia bertahan di kantor, bukan dari produktivitasnya.

Hal ini tentu berpotensi memicu kelelahan kronis dan menurunkan kualitas hidup, terutama bagi generasi muda yang sedang mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Survei Jobstreet Indonesia (2024) menunjukkan bahwa hanya 27% responden merasa perusahaan peduli terhadap keseimbangan hidup karyawan.

Ekosistem Kerja Sehat

Budaya kerja kita yang masih menganggap bahwa meresponS cepat dan lembur sebagai bentuk loyalitas perlu dievaluasi.Tekanan semacam itu justru memperbesar risiko burnout, terutama di kalangan pekerja muda yang kini mendominasi angkatan kerja.

Membangun budaya kerja yang sehat memerlukan dukungan kebijakan yang jelas dari pemerintah, manajemen, serta keberanian individu untuk menetapkan batasan yang sehat. Dunia pendidikan pun tidak boleh tertinggal, pendidikan vokasi dan pelatihan kerja masa kini harus mulai mengintegrasikan keterampilan manajemen diri, kesadaran kesehatan mental, dan etika digital sebagai bagian dari kesiapan kerja masa depan.

Work-life balance di era modern bukan lagi tentang membagi waktu secara seimbang, melainkan tentang mempertahankan kendali atas hidup dan kesehatan mental di tengah budaya kerja yang menuntut produktivitas tanpa batas.

Pekerja perlu sadar kapan harus fokus dan kapan harus berhenti. Selain itu, perencanaan kerja yang matang, mulai dari menetapkan prioritas, membagi pekerjaan pada tim dan rentang waktu yang realistis, adalah langkah konkret yang dapat membantu individu terhindar dari “jebakan” produktivitas berlebihan.

Dengan perencanaan yang baik, pekerja tidak hanya bekerja lebih efisien, tetapi juga mampu mengelola energi, menetapkan batasan, dan menghindari keputusan reaktif yang memperburuk stres.

Generasi Milenial dan Gen Z adalah generasi yang berani memilih pekerjaan yang bermakna dan mulai sadar bahwa hidup yang utuh tidak bisa dibeli dengan lembur dan promosi. Membangun work-life balance di Indonesia membutuhkan sinergi antara regulasi, budaya organisasi, dan kesadaran individu, karena pada akhirnya enough is enough. Kesehatan mental dan kualitas hidup bukanlah bonus, melainkan pondasi dari produktivitas yang berkelanjutan. (***)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Warga Gunungkidul Kontak dengan Hewan Positif Antraks, Dinkes Pantau Ketat Kondisi

Gunungkidul
| Selasa, 15 April 2025, 18:57 WIB

Advertisement

alt

Jumbo Tembus 3 Juta Penonton Dalam 14 Hari Penayangan

Hiburan
| Senin, 14 April 2025, 06:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement