OPINI: Langkah Darurat Udara Sehat
Advertisement
Proses pengadilan yang panjang, terhitung sejak gugatan pertama dilayangkan 4 Juli 2019, telah berlangsung selama 2 tahun, setelah sidang putusan ditunda hingga 8 kali.
Kemenangan warga kota melalui Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta terhadap gugatan hak atas udara sehat harus segera diikuti dengan langkah darurat penyediaan udara sehat agar kita tidak kehilangan momentum. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Advertisement
Pertama, pemerintah harus segera menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 10 mikrogram per meter kubik, sementara standar baku mutu udara ambien nasional 15 mikrogram per meter kubik. Di Jakarta, tingkat polusinya enam kali lebih tinggi dari standar WHO, dan ini membuat angka harapan hidup warga kota bisa berkurang 4,8 tahun.
Kedua, Gubernur DKI Jakarta harus melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang (warga kota) mengenai ketentuan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Berbekal Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, pemerintah DKI harus memperketat pengendalian sumber pencemaran udara, mendorong peralihan gaya hidup masyarakat, dan mengoptimalkan penghijauan.
Hal itu juga harus dilakukan oleh Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat di wilayahnya masing-masing, karena pencemaran udara di Jakarta dan sekitar juga saling terkait. Sehingga langkah darurat untuk mendapatkan udara sehat melalui upaya menekan pencemaran udara juga harus dilakukan serentak bersama-sama di seluruh wilayah Jakarta dan sekitar.
Ketiga, secara kebetulan pula, keberhasilan warga mendapatkan haknya (kembali) atas udara sehat selaras dengan tema besar peringatan Hari Habitat Dunia, yang dirayakan setiap Senin awal bulan Oktober, yang tahun ini mengusung tema Accelerating Urban Action For A Carbon-Free World. Tekad untuk mewujudkan dunia yang bebas (emisi) karbon melalui akselerasi aksi perkotaan seperti tuntutan warga kota itu bertujuan mewujudkan udara bumi/kota yang bersih, sehat, dan segar bagi seluruh makhluk hidup.
Sebelum pandemi Covid-19, WHO melaporkan lebih dari 6 miliar orang di dunia menghirup udara tercemar setiap hari dan sebanyak 7 juta jiwa meninggal prematur per tahun, dengan 600 ribu di antaranya anak-anak. Pencemaran udara telah menjadi pembunuh senyap. Korban rata-rata tidak meninggal seketika tetapi perlahan digerogoti berbagai penyakit, seperti asma, infeksi saluran pernafasan atas, stres, kanker paru-paru (WHO, 2020).
RENDAH KARBON
Keempat, untuk memperbaiki mutu udara, menjamin ketersediaan udara bersih, dan menekan emisi gas buang, pemerintah harus mewujudkan kota rendah/bebas emisi karbon. Kota Kopenhagen, Stockholm, Viena, London, Vancouver, Melbourne, hingga Auckland tengah bersaing untuk menjadi kota pertama di dunia yang bebas emisi karbon pada 2030.
Mereka tengah membangun lebih banyak trotoar untuk memanjakan pejalan kaki serta infrastruktur sepeda berupa jalur sepeda, rambu, marka, parkir, ruang ganti, hingga bengkel dan toko asesoris yang lengkap. Kawasan permukiman, pusat kegiatan kota, dan kawasan wisata membatasi pergerakan kendaraan bermotor dan terhubung dengan jaringan transportasi publik untuk menekan emisi karbon dan polusi udara (kawasan nonkendaraan bermotor).
Kelima, sesuai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, pemerintah DKI harus mengembangkan transportasi publik secara terpadu, menerapkan jalan berbayar elektronik di jalan utama, perluasan kebijakan ganjil-genap secara luas, pemberlakuan parkir elektronik progresif, serta perbanyak kantong/gedung parkir di simpul terminal/stasiun/halte.
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta, pemerintah DKI wajib memperluas ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota sebesar 30% (2030). Sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pohon, pemerintah DKI harus memperbanyak penanaman pohon dari 4 juta pohon menjadi 10 juta pohon (2030) untuk menyerap polutan, memproduksi oksigen, menciptakan iklim mikro, serta meredam pulau-pulau panas kota.
Dalam setahun, 0,4 hektare pohon dewasa dapat menyerap gas karbon dioksida dari pembakaran mobil yang menempuh jarak 41.842 kilometer. Satu pohon dewasa mampu menyediakan kebutuhan oksigen dan nitrogen untuk dua orang. Dalam sehari manusia (dewasa) menghirup oksigen 2.880 liter dan nitrogen 11.376 liter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement