Advertisement

OPINI: Economics of Giving, Kekuatan Khas Indonesia

Mario Rosario Wisnu Aji
Kamis, 30 Maret 2023 - 08:07 WIB
Nugroho Nurcahyo
OPINI: Economics of Giving, Kekuatan Khas Indonesia Harian Jogja - Hengky Irawan

Advertisement

Dalam mengukur kesejahteraan masyarakat, salah satu indikator yang sering digunakan adalah indeks kebahagiaan. Pada dasarnya Indeks kebahagiaan ini diformulasikan berdasarkan GDP per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, kemurahan hati, angka persepsi korupsi, dan distopia.

Pada World Happiness Report 2022, negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi adalah Finlandia dengan indeks 7,821 disusul oleh Denmark dan Islandia yang masing-masing memiliki indeks kebahagiaan sebesar 7,736 dan 7,557. Sementara itu Indonesia berada pada rangking ke 87 dengan indeks 5,240.

Advertisement

Menariknya, meskipun berada di rangking ke-87, apabila dilihat pada komponen penyusunnya Indonesia memiliki keunggulan pada aspek generosity atau kemurahan hati apabila dibandingkan dengan negara lainnya. Benar saja, apabila dilihat pada World Giving Index tahun 2022, Indonesia merupakan negara yang bertengger di puncak rangking sebagai negara paling murah hati di dunia dengan skor 68 persen yang ditopang oleh 58 persen bantuan kepada orang asing, 84 persen donasi uang, dan 63 persen dari kesediaan pemberian waktu untuk menjadi volunteer. Kondisi istimewa Indonesia sebagai negara paling murah hati ini tentunya menjadi menarik untuk kita lihat dengan perspektif ekonomi.

Pada umumnya, model ekonomi selalu menggunakan asumsi bahwa setiap keputusan dilakukan secara rasional. Namun pada kenyataannya, manusia sering kali mengambil keputusan irasional karena berbagai sebab tertentu termasuk dalam melakukan kegiatan donasi. Secara logika sederhana, donasi bukanlah kegiatan ekonomi yang akan mendatangkan keuntungan dari apa yang sudah kita berikan, namun pertanyaannya mengapa konsep donasi dan filantropi selalu eksis dan dilakukan manusia? Kondisi inilah yang tidak terlalu bisa dijelaskan oleh konsep ekonomi konvensional. Oleh karena itu, dalam memandang fenomena ini perlu digunakan sudut pandang baru yaitu behavioral economics.

Behavioral economics secara sederhana dapat dipahami sebagai salah satu subdisiplin ilmu ekonomi yang turut menggunakan aspek psikologis seorang manusia dalam mengambil keputusan. Ekonom terbesar abad 21, John Maynard Keynes bahkan sudah pernah menyatakan bahwa sebagian besar aktivitas positif manusia justru didasari oleh optimisme spontan daripada pendekatan ekspektasi matematis. Lalu sebenarnya apa yang mendasari pikiran seseorang saat mengambil keputusan untuk melakukan donasi?

Pertanyaan mendasar ini kemudian muncul untuk mencari tahu alasan atau motivasi mendasar mengapa orang melakukan kegiatan donasi atau memberi kepada orang lain. Beberapa ahli telah mengidentifikasi dan mencoba menjelaskan motivasi dasar manusia untuk memberi.

Clotfelter (2002) mengemukakan bahwa paling tidak ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan adanya pemberian. Pertama, adanya upaya memaksimalkan utilitas dengan harapan pengembalian di masa depan; kedua adalah warm glow yakni ketika seseorang merasakan kesenangan karena memberi, kemudian ketiga adalah sikap altruisme yang artinya pemberi memperhatikan dan mengutamakan orang lain, serta yang keempat dapat berupa seperangkat keyakinan berlandaskan moralitas. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat kita katakan bahwa sebagian besar pemberian mungkin melibatkan campuran dari antara berbagai motif yang sudah diungkapkan di atas.



Efek Memberi

Memberi menghasilkan dampak sosial yang signifikan. Seperti yang disampaikan oleh Kolm (2000), efek sosial ini dapat terdiri dari pengakuan publik (pujian, rasa hormat, maupun status sosial), kemudian juga bisa berupa membentuk situasi sosial seperti terjadinya perdamaian atau kesepakatan-kesepakatan lain. Selain itu, pemberian juga tidak terlepas dari self interest atau kepentingan pribadi tertentu yang dimiliki setiap orang yang mungkin dapat mengarah kepada keinginan balas budi. Bagi Kolm, memberi memiliki dua wajah yang dapat dipersepsikan untuk memberikan keadilan distributif kepada masyarakat, namun di sisi lain juga dapat menjadi bumerang karena dapat memunculkan konflik akut di tengah masyarakat. Misalnya saja saat terjadi sebuah bencana dan orang-orang berbondong-bondong untuk berdonasi, tidak bisa dimungkiri akan ada lapisan masyarakat yang akan berusaha mendapatkan bagian dari pemberian tersebut bagaimanapun caranya, bahkan meskipun mereka tidak terdampak bencana atau harus berebutan dengan orang lain.

Namun apabila kita lihat satu wajah yang lain, tentu sikap memberi kepada orang lain tentu akan membantu penerima dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Kondisi di atas dalam behavioral economics sebenarnya juga telah dipaparkan oleh Hastie dan Dawes pada 2001 di mana mereka menyatakan bahwa beragam orang dalam situasi yang berbeda sekalipun sering memikirkan keputusan mereka dengan cara yang sama. Hal ini dikarenakan manusia dapat dikatakan memiliki seperangkat kemampuan kognitif yang sejenis sehingga mengarahkan kita untuk mengambil keputusan yang sama.

Serangkaian teori dan pemikiran para ahli ini mungkin dapat menjadi penjelas dalam fenomena Indonesia yang menjadi negara paling dermawan di dunia. Kebiasaan masyarakat Indonesia memang memiliki kecenderungan yang sejenis dalam menyikapi suatu kondisi. Misalnya ketika rekan kita menikah, rasa bahagia kita akan diwujudkan dalam wujud pemberian uang, ketika ada kolega yang meninggal, rasa duka kita akan diwujudkan dalam wujud pemberian uang pula. Tidak pernah ada aturan tertulis mengenai hal ini namun cara berpikir kita akan mengarah kepada satu hal yang sejenis.

Riza Algamar, dalam World Giving Index report 2022 juga menyatakan budaya filantropi di Indonesia memang sudah diturunkan sejak lama dan kita kenal sebagai “gotong royong”. Selain itu pada aspek religiositas masyarakat Indonesia juga mengenal konsep donasi dengan wujud infak, zakat, kolekte, dana punia dan sebagainya yang pada akhirnya semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara paling dermawan.


Mario Rosario Wisnu Aji, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cara Membeli Tiket KA Bandara Jogja via Online

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Dipanggil Teman oleh Bocah Berusia 2 Tahun, Beyonce Kirim Bunga Cantik Ini

Hiburan
| Kamis, 25 April 2024, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement