Advertisement
OPINI: Prospek Suram Pencapaian Bauran EBT
Advertisement
Pemerintah Indonesia menargetkan net zero emissions pada 2060. Pilar utama untuk mencapai ini dalam jangka panjang adalah pemanfaatan energi terbarukan yang lebih tinggi dan penggunaan energi fosil yang lebih rendah. Menurut Kementerian ESDM, kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia hingga semester I/2023 adalah 84,8 GW (gigawatt) dengan kontribusi energi terbarukan (EBT) 12,7 GW atau 15% dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai kontributor terbesar, yaitu 6,7 GW.
Bauran EBT ini ditargetkan mencapai 23% pada 2025, dan 29% pada 2030. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021—2030 juga dinyatakan, dalam periode 10 tahun (2021—2030) akan terdapat tambahan 20,9 GW kapasitas baru EBT. Dalam rangka pengembangan ini, sektor swasta diharapkan memberikan kontribusi sebesar 11,8 GW atau 56,3% dari kapasitas baru EBT. Akankah target ini tercapai? Tahun depan kita akan memasuki 2025, dan tahun 2030 tinggal enam tahun lagi. Dari berbagai jenis pembangkit EBT, yang dapat dibangun dan dioperasikan dalam waktu singkat adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun, kedua jenis pembangkit ini memiliki karakteristik intermittent, yaitu hanya dapat beroperasi pada waktu tertentu, kecuali bila menggunakan baterai.
Advertisement
Sedangkan PLTA dan Pembangkit Listrik Panas Bumi/geotermal (PLTP) membutuhkan waktu yang lebih panjang, yaitu sekitar lima tahun untuk pre-development dan konstruksi sampai dapat beroperasi secara komersial. Dari target EBT 20,9 GW, sebesar 3,3 GW direncanakan berasal dari PLTP dan 9,3 GW dari PLTA.
Excess Supply
Hingga saat ini, banyak pihak tetap bersikeras sektor kelistrikan Indonesia masih menghadapi excess supply. Ini khususnya terjadi karena perlambatan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan pandemi Covid 2020—2022. Karena itu pemerintah sempat menghentikan penerbitan Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (IUPTL). Nyatanya excess supply tenaga listrik itu hanya untuk energi fosil. Sedangkan untuk tenaga Listrik EBT terjadi sebaliknya, yaitu pasokan masih kurang alias shortage of supply. Mengacu pada target pengembangan dan pemanfaatan EBT yang telah ditetapkan, angka dan data yang diterbitkan pemerintah sendiri menunjukkan akan segera terjadi kegagalan pencapaian target EBT. Studi Asian Development Bank pernah mengupas mengapa Indonesia akan gagal memenuhi target pengembangan EBT tersebut. Dari berbagai temuan dan analisa yang dilakukan, faktor-faktor utama yang menghambat pengembangan EBT di Indonesia mencakup (i) penetapan harga tertinggi pembelian listrik yang lebih rendah dari biaya proyek EBT, (ii) ketidakmampuan untuk mengintegrasikan EBT dan tidak memadainya panduan perencanaan mengenai lokasi dengan jumlah EBT yang dibutuhkan, dan (iii) biaya dan risiko EBT yang lebih tinggi di Indonesia. Lebih lanjut, laporan ADB itu menambahkan faktor-faktor lain, seperti perjanjian pembelian tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) yang tidak berimbang, yang menyebabkan PPA menjadi kurang bankable dan potensi benturan kepentingan dalam peran PLN sebagai perencana, operator, dan juga generator pengembangan EBT di Indonesia.
Belum lagi pertimbangan posisi PLN yang monopoli sekaligus monopsoni (pembeli tunggal) dan pada saat yang sama juga produsen 70% listrik di Indonesia. Isu lain, sebagai BUMN, PLN wajib tunduk pada UU BUMN yang mengamanatkannya untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan, sekaligus ditugaskan untuk berperan sebagai penyelenggara public service obligation (PSO). Agar dapat untung, perusahaan perlu meningkatkan penerimaan dan menurunkan biaya, baik biaya operasi maupun biaya produksi (harga beli input).
Apakah target penambahan kapasitas EBT 20,9 GW hingga 2030 dan target net zero emission pada 2060 dapat tercapai? Sudah waktunya dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap rencana dan target tersebut atau perubahan kebijakan terkait yang diperlukan. Global warming dan perubahan iklim adalah ancaman nyata yang dihadapi dunia. Peran EBT dalam menjaga sustainable development adalah mutlak dan tidak dapat dinafikan. Upaya maksimal yang dapat memberikan hasil konkret sepatutnya segera diambil tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh legislatif.
R. Irawan (Pengamat EBT) & Budi Frensidy (Guru Besar FEB UI)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- NGUDARASA: Keadilan Restoratif, Solusi yang Kian Diminati
- Gratifikasi dan Ketidakjujuran Akademik Masih Membayangi Dunia Pendidikan
- HIKMAH RAMADAN: Tasamuh Sesama Muslim dalam Perbedaan Gerakan Salat
- HIKMAH RAMADAN: Merangkul Duka, Menemukan Cahaya
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
Advertisement

Dua Jalur Domisili SPMB SMP di Jogja, Radius Kuota 5 Persen dan Wilayah 40 Persen
Advertisement

Film Garin Nugroho Nyanyi Sunyi dalam Rantang Roadshow Pemutaran, Diawali dari Jogja
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement