Advertisement

OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran

Media Digital
Senin, 15 April 2024 - 13:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran Ratna Yunita Setiyani Subardjo, Dosen Psikologi UNISA Yogyakarta

Advertisement

Seluruh umat Islam sedunia akan merayakan kemenangan di bulan Syawal. Bulan yang dikenal dengan nama “Lebaran” di Indonesia ini menjadi momen untuk pulang kampung bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Baik mereka yang masih mahasiswa/sekolah, mapun mereka yang sudah bekerja. Sebab sekolah/kampus mereka umumnya bukan di kota sendiri namun di kota lain, demikian juga bagi mereka yang sudah bekerja, umumnya tempat bekerja mereka ada di kota lain. Itulah kenapa momen libur Lebaran menjadi momen pulang kampung yang melegenda.

Namun ada hal yang menarik yang ternyata justru menjadi phobia (baca, ketakutan yang disertai dengan kecemasan) saat momen yang seharusnya ditunggu-tunggu ini datang. Seharusnya, momen pulang kampung saat Lebaran akan menjadi momen yang membahagiakan, bukan menegangkan. Tapi realitanya terkadang tidak demikian. Kebahagiaan yang menurut Seligman (tokoh psikologi positif) adalah hasil dari kontribusi lingkungan dan faktor internal ini, menjadi ukuran bahwa konsep Bahagia saat Lebaran menjadi nisbi manakala pertanyaan stigmatif Lebaran mulai bermunculan dari lingkungan. Mereka yang akan pulang ke kampung halaman, pasti merasakan hal ini. Mulai dari ditanya “Kapan lulus?”, “Kapan nikah?”, “Kapan punya momongan?”, “Kapan kerja?”, maupun kapan kapan yang lainnya. Ya begitulah, kebiasaan peduli kebablasan menjadi curiosity. Bagaimana dengan kalian sendiri, apakah kalian juga pernah mengalaminya

Advertisement

Berdasarkan survey terbatas yang dilakukan oleh penulis, didapatkan data bahwa pertanyaan paling dihindari saat Lebaran bagi mahasiswa adalah “Kapan lulus?”, sedangkan bagi mereka yang sudah lulus, tetap saja akan muncul pertanyaan lainnya dengan “Kapan kerja”. Tidak berhenti disitu saja, pertanyaan lainnya setelah lulus adalah "Kapan nikah?", dan malangnya, bagi yang sudah menikah pun tetap akan dicecar pertanyaan dengan “Kapan punya momongan?”. Ini sering ditanyakan ketika berkumpul dengan keluarga saat Lebaran. Walau terdengar sepele, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi "momok" bagi sebagian orang sehingga mereka merasa tertekan. Dampak pertanyaan tersebut bahkan dapat memunculkan gangguan psikologis. Lantas, kenapa orang Indonesia senang menanyakan pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut saat Lebaran? Lalu, bagaimana cara menjawabnya?

Pertanyaan “Kapan lulus?”, “Kapan nikah?”, “Kapan punya momongan?”, “Kapan kerja?”, dan kapan yang lain, muncul karena dorongan dari keluarga dan lingkungan dalam budaya Indonesia. Terutama saat mudik Lebaran, dimana keluarga, sanak saudara, dan teman hingga komunitas yang kita miliki sebelumnya, saling bertemu. Inilah yang membuat mengapa orang menjadi mudah bertanya hal-hal yang sepele menurut si penanya, namun berat bagi yang ditanya untuk menjawab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang Indonesia sering bertanya beberapa pertanyaan sakti tersebut. Mari kita cermati;

  1. Menikah/lulus/mendapatkan pekerjaan adalah bentuk kedewasan dan tanggung jawab.

Orang yang sudah lulus/menikah/bekerja dinilai dewasa dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Itu artinya, mereka sudah dapat membanggakan tidak hanya dirinya sendiri namun juga orang tua dan keluarga. Tidak lagi menggantungkan hidup pada orang lain terutama orang tua. Terlebih, bagi orang tua, dapat melihat anak wisuda sebagai tanda kelulusan, menikah dan mendapatkan pekerjaan, menjadi tolak ukur kesuksesan orang tua dalam membesarkan anaknya. Orang tua pada masyarakat Jawa misalnya, belum merasa menjadi "wong tuwo" atau orang tua yang sebenarnya, jika anaknya belum menikah. "Menikahkan anak itu adalah menjalankan “darmaning wong tuwo”, menjalankan dharma”. Maka memahami sudut pandang orang lain untuk mengelola perasaan kita sendiri menjadi hal yang penting agar kitapun tidak terlalu merasa sakit hati terhadap pertanyaan yang dilontarkan kepada kita. Bukankah orang tua kita juga menginginkan yang terbaik untuk kita? Hanya saja, mungkin cara orang tua kita bertanya, tidak selalu sesuai denga napa yang kita pikirkan. Perbedaan gap antar generasi, pergeseran unggah ungguh etika, juga perbedaan kita sebagai individual differences sebenarnya cukup menjawab mengapa fenomena ini terjadi. Jadi, pertanyaan ini sebetulnya adalah manifestasi dari kecemasan orang tua terhadap kondisi kita sekarang, dalam sudut pandang mereka. Sayangnya, tidak semua orang mengerti dinamika psikologis ini.

  1. Lebih banyak dialami oleh Perempuan daripada laki-laki

Pada beberapa kasus, pertanyaan stigmatif, terutama pertanyaan “Kapan nikah?” dapat ditujukan kepada perempuan yang usianya sudah dinilai matang namun tidak kunjung berkeluarga. Perempuan akan didorong untuk segera menikah karena membawa nama baik keluarga. Pamali bila sudah berusia cukup umur namun belum juga menikah. Apalagi bila mereka tidak bekerja atau sudah bekerja namun penghasilannya pas-pasan.  "Makanya orang tua terus terpikir agar anaknya segera menikah, “mentas”. “Mentas” itu satu keadaan di mana ia keluar dari 'tanggungan keluarga'.

  1. Dianggap tidak laku

Pertanyaan terutama “Kapan nikah?” erat kaitannya dengan kontrol sosial dalam masyarakat. Orang yang belum menikah kemudian dianggap tidak laku, entah karena penampilan fisik atau perilakunya. Jika hal ini dikaitkan dengan kekerabatan dalam keluarga, maka orang tua anak merasa tertekan karena anaknya mendapat stigma tidak laku dari orang di sekitarnya. Hal ini dapat membawa dampak psikologi baik bagi anak maupun orang tuanya sendiri. Membawa kecemasan hingga tidak mau bertemu orang lain hanya karena merasa cemas saat bertemu orang lain. Walhasil, semestinya mudik membawa bahagia, justru menjadi membawa sengsara, karena pertanyaan-pertanyaan stigmatif yang melegenda ini.

  1. Keluarga besar merasa ikut tanggung jawab

Dari stigma tidak laku dari masyarakat, keluarga besar bisa ikut merasa bertanggung jawab jika salah satu anggota keluarganya yang sudah dewasa belum segera menikah. Tidak mengherankan jika dalam keluarga besar, ada satu atau beberapa orang yang menanyakan kapan nikah kepada mereka yang sudah dewasa tapi belum berkeluarga. "Yang ikut menderita, ikut merasa bersalah itu orang tuanya. Hal ini dapat memunculkan stres. Jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mengarah pada salah satu gangguan psikologis seperti kecemasan, bahkan hingga depresi. Padahal bukan ini yang kita inginkan saat mudik berkumpul dengan keluarga besar kan? Rumah yang semestinya menjadi tempat yaman, justru memunculkan hal baru sebagai tempat ancaman. Padahal sejatinya, rumah seharusnya menjadi tempat kembali ternyaman dari semua masalah kita. Namun seringkali, kenyataan lebih kejam dari yang kita harapkan.

BACA JUGA: Iran Serang Israel, Harga Minyak Dunia Bisa Bergejolak dan Pengaruhi Indonesia

Cara menjawab pertanyaan “Kapan nikah”, “Kapan lulus” dan kapan kapan stigmatif lainnya?

Ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut saat kumpul bersama keluarga ketika Lebaran memang membuat kurang nyaman, terlebih jika belum memiliki progres dalam studi/lambat progres, belum memiliki pacar atau pasangan, atau belum memiliki pekerjaan mapan, atau belum memiliki momongan.  Bagi Anda yang berencana mudik saat Lebaran namun belum siap dengan pertanyaan-pertanyaan stigmatif yang besar jadi akan dilontarkan keluarga dan handai taulan ini, berikut beberapa tips menghadapinya:

  1. Bangun topik pembicaraan yang umum

Kalau kita enggan ditanya “Kapan nikah?”, “Kapan lulus?” atau “Kapan kerja?”, tips pertama adalah, hendaknya kita membangun topik obrolan umum saat berkumpul bersama keluarga. Tidak disarankan untuk menyinggung obrolan yang menjurus ke ranah pribadi supaya tidak memancing pertanyaan dari orang lain. "Jangan mulai pembicaraan yang masuk ranah pribadi, ambil tema yang umum.”

  1. Alihkan topik pembicaraan

Jika cara pertama belum berhasil, cobalah untuk mengalihkan topik obrolan dengan lawan bicara ke hal-hal yang umum. Pertanyaan sensitif yang kurang etis ditanyakan apalagi kepada mereka yang memang secara kondisi memiliki keterbatasan atau permasalahan pribadi. Dampak psikologisnya adalah pertanyaan stigmatif ini dapat membuat orang menjadi insecure karena merasa dibanding-bandingkan, tidak dihargai usahanya, dilihat hanya sebatas pencapaian tanpa melihat perjuangan apa dibalik semua ini, karena masing-masing orang punya lika likunya sendiri yang tidak semua orang dapat mengerti dan terima.

  1. Hadapi dengan senyuman

Tidak ada salahnya menghadapi pertanyaan stigmatif ini dengan senyuman saat berkumpul bersama keluarga ketika Lebaran. Pertanyaan itu jangan terlalu dipikirkan karena obrolan ini hanya dibahas oleh orang yang tidak memiliki topik pembicaraan. Terkadang orang bertanya tanpa berpikir, mereka bertanya sebatas ya biasanya itulah pertanyaan yang juga dilontarkan orang lain. Selain itu, senyuman terbukti dapat membawa dampak positif bagi diri kita dan orang lain. Seligman sebagai ahli psikologi positif menggambarkan bahwa senyuman dapat menstimulasi hormon kebahagiaan dalam diri manusia. Dan bukankah dalam agama Islam juga disebutkan bahwa senyum kepada orang lain itu adalah sedekah yang menjadi nilai ibadah?  Jadi, tidak ada salahnya untuk memberikan senyuman sebagai senjata untuk melindungi diri kita dalam kasus ini.

  1. Balas dengan lelucon

Pertanyaan stigmatif ini seringkali membuat “bad mood” atau emosi meledak. Untuk mengatasinya, balas pertanyaan ini dengaan lelucon atau candaan, agar kita pun dapat menurunkan tegangan kita. Padahal, ketika kita makin sensi, orang makin senang menggoda kita.

  1. Menjauh

Cara terakhir adalah menjauh dari lokasi jika merasa risih tau tidak betah karena ditanya dengan pertanyaan stigmatif ini oleh keluarga, sanak saudara maupun handai taulan. Silakan mengukur diri masing-masing. Kalau kita termasuk orang yang tidak kuat menerima pertanyaan stigmatif ini, kita dapat melakukan relaksasi supaya pikiran tidak menjadi terus menerus negatif. "Tarik napas panjang dan dalam, hirup udara segar, self talk bahwa ini hanya sementara dan sibukkan diri sambil berpikir hal indah agar tak fokus ke hal negatif yang menyedot energi. Berikan Teknik relaksasi lainnya kepada diri sendiri dengan “butterfly hug”, Di mana kita melakukan gerakan memeluk diri sendiri sambil berikan sugesti positif kepada diri sendiri. Misal “Apapun yang orang katakan tentang aku, aku menerima dan mencintai diriku apa adanya. Semoga yang mereka katakan akan menjadi doa-doa terbaik untukku. Aamiin”.

Semoga tips sederhana ini dapat menjadi penguat kita untuk tak perlu khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan stigmatif tersebut. Tetap happy tanpa drama untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan stigmatif dari orang lain. Selamat menyambut hari kemenangan, “Hari Raya Idul Fitri 1445 H”. Menangkan juga psikologis kita untuk tetap menjaga kewarasan kita. “Jangan lupa bahagia “. (***)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Indonesia Vs Irak, Perebutan Peringkat Ketiga Piala Asia U-23

Jogja
| Selasa, 30 April 2024, 03:37 WIB

Advertisement

alt

Lirik Lagu SPOT, Duet Zico dengan Jennie BLACKPINK yang Hebohkan BLINK

Hiburan
| Senin, 29 April 2024, 12:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement