Advertisement
OPINI: Pendanaan Iklim Bank di RI
Advertisement
Jika Indonesia ingin mencapai target net zero pada 2060, diperlukan peningkatan investasi yang besar. Menurut Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral, Indonesia memerlukan investasi sebesar US$28,5 miliar per tahun pada sistem energinya untuk memenuhi target pada 2060.
Investasi tambahan dalam skala besar akan diperlukan untuk melakukan dekarbonisasi di berbagai bidang lain, seperti pertanian serta proyek nature based solutions seperti konservasi dan restorasi hutan, bakau, dan lahan gambut.
Advertisement
Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, tantangan mewujudkan net zero salah satunya investasi. Untuk merespons hal itu, perlu respons yang dipimpin oleh sektor keuangan di Indonesia. Kita telah melihat bahwa para penyandang dana dari luar negeri sudah bergerak untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, mereka tampaknya kesulitan mengidentifikasi pipeline yang bankable. Pihak dari Indonesia perlu memastikan pendanaan yang tersedia terhubung dengan solusi, proyek, perusahaan, dan inisiatif lokal, sehingga penyandang dana global lebih mudah mengidentifikasi peluang yang siap untuk berinvestasi.
Dalam konteks ini, Otoritas Investasi Indonesia (INA) yang baru dibentuk memiliki peran penting. Sistem keuangan dan perbankan Indonesia masih perlu untuk bergerak lebih cepat. Sebuah penelitan oleh Climate Policy Institute pada 2023 menemukan bahwa investasi dari sektor keuangan Indonesia hanya menyumbang 15% dari pendanaan iklim untuk mencapai tujuan net zero.
Oleh karena itu, diperlukan 4,5 kali lipat pada 2030 agar dekarbonisasi Indonesia tetap berjalan sesuai rencana. Institusi swasta menyumbang rata-rata tahunan seb-sar US$3,4 miliar terhadap total pendanaan iklim negara, yang hanya mewakili 3% dari total investasi mereka.
Untuk mencapai target iklim Indonesia pada 2030, diperlukan investasi sebesar US$285 miliar. Karena pendanaan pemerintah kemungkinan hanya menyediakan 34% dari kebutuhan investasi, negara ini mempunyai kesenjangan pendanaan iklim sekitar US$145 miliar. Kabar baiknya, dalam hal menghubungkan permodalan dengan solusi net zero, kini terdapat jalur yang jelas untuk diikuti oleh institusi dan terdapat insentif bagi mereka untuk melakukan hal tersebut.
Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bank-bank akan diminta untuk melaksanakan dan melaporkan pengujian skenario risiko iklim, yang berfungsi sebagai peringatan dan stimulan yang dapat mulai mengaktifkan minat yang lebih besar dalam mendanai transisi. Panduan CRMS (Climate Risk Management and Scenario) menunjukkan meningkatnya ekspektasi peraturan bagi bank-bank di Indonesia untuk mulai mengukur dan mengelola dampak risiko iklim di seluruh kegiatan bisnis dan perbankan.
Berbagai kerangka kerja internasional yang baru diperkenalkan, seperti Taskforces on Climate and Nature Related Financial Disclosures (TCFD dan TNFD), berarti alat untuk melakukan hal tersebut kini telah tersedia. Pada intinya, hal ini berarti pendanaan beralih dari portfolio sektor yang dianggap akan menurun, seiring dengan makin intensifnya perubahan iklim dan menuju investasi yang akan berkembang seiring transisi dunia menuju emisi net zero.
Misalnya, berinvestasi pada perusahaan perumahan yang dibangun di lahan yang makin rawan banjir bukanlah tindakan bijaksana, sedangkan berinvestasi pada teknologi electric vehicle akan memiliki zona pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil.
Strategi Iklim
Untuk mengintegrasikan dan mengoperasionalkan perubahan-perubahan ini, para lembaga keuangan perlu memiliki strategi iklim dan roadmap yang menyeluruh tentang bagaimana mereka akan mengurangi jejak emisi mereka, yang didukung oleh penilaian dan pelaporan yang kuat sehingga mereka dapat mengukur kemajuannya.
Dari sudut pandang governance, bank perlu memastikan bahwa para pemimpin perusahaan telah menerima tanggung jawab untuk menilai dan melaporkan risiko iklim. Mereka juga perlu memiliki pemahaman yang jelas tentang profil pinjaman mereka, memetakan sektor-sektor dengan emisi tinggi dalam portofolio yang dibiayai, melakukan uji stres risiko iklim dan memahami di mana portofolio mereka menghadapkan mereka pada risiko iklim dan alam.
Pada awalnya, hal ini tampak seperti hanya kepatuhan dan pelaporan, tetapi kenyataannya upaya ini jauh lebih signifikan. Meskipun sebagian besar bank di Indonesia sedang bergulat dengan tanggung jawab baru ini, bank yang paling mungkin untuk berkembang dalam ekonomi net zero yang sedang berkembang adalah bank yang melihat dan memanfaatkan peluang yang ada saat ini.
Bank yang ingin tahu harus mulai dari mana harus berdiskusi dengan nasabah mereka mengenai strategi transisi dan menciptakan produk baru yang dirancang untuk membantu perusahaan-perusahaan di negara ini mempercepat proses dekarbonisasi.
Saat memberikan pendanaan, mereka perlu memiliki pemahaman yang jelas mengenai emisi yang mereka biayai dan bagaimana hal ini berdampak pada paparan risiko mereka. Modal lokal akan diperlukan untuk mendukung solusi Indonesia terkait iklim dan alam—berinvestasi dalam segala hal mulai dari teknologi baru dan meningkatkan peralihan teknologi yang ada hingga proyek berbasis alam yang menghasilkan kredit karbon dan berkontribusi terhadap dekarbonisasi global.
Patrick Suckling
Managing Director & Head of Asia di Pollination
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Raisa-Hamish Daud Jadi Sorotan, Isu Rumah Tangga Trending
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement