OPINI: Menjaga Naluri Akademik di Tengah Keberadaan ChatGPT
Advertisement
Masyarakat saat ini dimanjakan dengan kecedasan buatan atau yang lebih dikenal dengan artificial intelligent (AI). Saat ini kecerdasan buatan yang berkembang adalah Generatif AI yang merupakan cabang dari AI dengan fokus kemampuan pada komputasi dan kreativitas mesin.
Generatif AI memiliki kemampuan untuk menggabungkan data yang sudah ada kemudian diproduksi ulang dalam bentuk tulisan, gambar, video maupun audio. Salah satu produk dari Generatif AI adalah Generative Pre-training Transformer atau yang kemudian lebih dikenal dengan ChatGPT.
Advertisement
ChatGPT dimanfaatkan oleh masyarakat tak terkecuali akademisi untuk mempermudah dalam mengerjakan tugas kuliah, mencari sumber referensi penelitian, teori terkini, bahkan untuk membuat proposal penelitian. Perkembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan ini selalu dianggap sebagai terobosan baru yang memudahkan para akademisi.
Selain itu juga merupakan simbol dari modernisasi sebuah jaman karena perkembangan teknologi. Sehingga mereka yang menggunakan teknologi ini dianggap modern dan tidak ketinggalan jaman.
Tetapi, apakah kita tidak terlalu berlebihan dalam menilai dan memanfaatkan teknologi yang katanya terobosan baru ini? apakah ini doktrin untuk malas berpikir?
Pisau Bermata Dua
Dunia pendidikan sempat terguncang dengan kemunculan ChatGPT karena mampu menganalisa dan memproduksi kebutuhan pendidikan yang dianggap sangat sempurna bagi akademisi. ChatGPT adalah chat bot yang menggunakan model bahasa canggih yang dapat memahami bahasa manusia secara alami dan dapat memberikan respon sesuai konteks yang diperintahkan.
ChatGPT dilatih menggunakan teknologi deep learning agar dapat mempelajari pola bahasa manusia dan konteks secara otomatis. Inilah yang membuat ChatGPT bisa menjawab pertanyaan sesuai konteks secara akurat.
ChatGPT seolah menjadi dewa penolong bagi mahasiswa untuk mengerjakan artikel, menjawab pertanyaan dari dosen, maupun mengerjakan tugas-tugas perkuliahan.
Pada ChatGPT, seseorang bisa memerintahkan untuk pencarian tertentu sesuai perintah yang sudah ditulis. Misalnya saja kita menulis pada kolom perintah agar menuliskan artrikel 500 kata tentang kecerdasan buatan. Maka akan langsung muncul tulisan sebanyak 500 kata tentang kecerdasan buatan.
Hebat bukan? namun apakah ini yang sesungguhnya dibutuhkan bagi akademisi?
Alih-alih sangat mendukung kegiatan belajar mengajar, mendukung siswa maupun mahasiswa dalam mendapatkan referensi belajar.
Keberadaan ChatGPT tanpa sadar sebenarnya mengakomodasi rasa malas dalam belajar dan juga melemahkan kemampuan analitik seseorang dalam membaca isu yang sedang terjadi. Kemampuan yang dimiliki oleh akademisi menjadi kemampuan copy paste yang dipertanyakan kebenarannya.
Bayangkan saja ketika harus menulis artikel tetapi ternyata tulisan yang dibuat merupakan hasil dari perintah di ChatGPT. Bukankah ini kemudian menjadi kejahatan akademik yang jika dibiarkan begitu saja akan menjadi sebuah kebiasaan dan membudaya dikalangan akademisi.
Naluri ChatGPT
Bagaimanapun ChatGPT sebuah terobosan baru yang bisa dimanfaatkan oleh para akademisi. Hanya saja, perlu kesadaraan untuk menggunakan ChatGPT dengan bijak. Jangan sampai pemanfaatan dari kecerdasan buatan ini mencoreng integritas akademik para akademisi.
Perlu diketahui ChatGPT sangat tidak direkomendasikan untuk mereviu buku, mengutip buku, sebab seringkali informasi buku yang disampaikan tidak akurat dan bahkan tertukar informasi detail buku yang digunakan. Jika sudah demikian maka dikhawatirkan akan terjebak pada jurang plagiarism.
Selanjutnya, ChatGPT adalah kecerdasan buatan yang sangat sopan. Ketika tidak bisa menjawab perintah pengguna, maka ChatGPT tidak akan serta merta jujur mengatakan dia tidak mengetahui atau tidak bisa.
Melainkan akan menggunakan frasa yang halus dan merekomendasikan hal lain yang sekiranya masih berkaitan. Ini artinya kecerdasan buatan sebenarnya tidak begitu cerdas juga, proses deep learning masih harus terus dilakukan jika memang ingin mengakomodasi kebutuhan masyarakat khususnya para akademisi.
ChatGPT juga harus terus dipancing untuk bisa menyediakan jawaban yang dibutuhkan sebab tidak semua pertanyaan yang sifatnya akademik bisa dijawab dengan tuntas. Akan ada bagian yang terpotong dan jika pengguna tidak mengarahkan untuk meneruskan maka ChatGPT pun akan berhenti menjelaskan.
Inilah yang kemudian menuntut pengguna untuk lebih sensitif dan lebih bisa mengejar sang chat bot agar bisa memberi jawaban yang komprehensif.
Sebagai seorang akademisi kita harus menyadari ChatGPT ataupun produk AI lainnya adalah simulasi kecerdasan manusia yang dimodelkan dalam sebuah mesin. Mesin ini bisa dalam bentuk robot ataupun chat bot. Artinya akan selalu ada celah yang tidak akurat dalam penyajian informasinya.
Oleh sebab itu, pemanfaatan produk kecerdasan buatan ini juga membutuhkan kecerdasan sesungguhnya dari manusia. Jangan sampai ini malah menjebak para akademisi untuk mengambil jalan pintas dalam mencapai momen terbaiknya di bidang akademik.
Selain itu, tidak bisa mendewakan sebuah kecerdasan buatan seolah menjadi penolong ataupun mempermudah semua aktivitas.
Professor Stella Christie selaku Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Republik Indonesia periode 2024-2029 dalam acara Indonesia Millenial dan Gen-Z Summit 2024 yang diselenggarakan IDN Times menjelaskan kalau menulis pakai Chat GPT, lama-lama tidak akan punya rasa tahu mana tulisan yang bagus, mana tulisan yang tidak bagus.
Kalau bersedia kehilangan naluri untuk menilai mana yang bagus dan tidak bagus maka silakan menggunakan ChatGPT, kalau ingin punya naluri itu maka jangan bergantung 100% pada ChatGPT.
Para akademisi sebaiknya bijak dalam mengoptimalkan produk dari kecerdasan buatan. Naluri akademik yaitu berpikir kritis, peka terhadap kedalaman pengetahuan tentu sangat berbeda dengan naluri ChatGPT dalam memberikan rekomendasi informasi sehingga perlu imbang dalam memanfaatkan teknologi dan juga mengasah naluri berpikir kritis sebagai seorang akademisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Akan Dipulangkan ke Filipina, Begini Ungkapan Mary Jane Veloso
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement