Advertisement
Hari Pers 2025 di Tengah Kegundahan Pers Nasional

Advertisement
Kemarin, 9 Februari, komunitas pers nasional makin terbelah-pecah ketika memperingati Hari Pers Nasional 2025. Biasanya, peringatan HPN diselenggarakan secara terbelah oleh sebagian komunitas yang berafiliasi dengan Persatuan Wartawan Indonesia dan komunitas yang tidak sejalan dengan organisasi pers tertua di Indonesia itu.
Mereka yang tidak berafiliasi itu menganggap, ngapain ikut memperingati HPN yang pada hakikatnya adalah merayakan hari kelahiran PWI? Sebagai catatan, 9 Februari dipilih sebagai perayaan Hari Pers Nasional setiap tahun sebagai bentuk penghargaan terhadap peran penting pers dalam perjalanan bangsa Indonesia. Penetapan HPN didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985
Advertisement
HPN 2025 kemarin, diperingati di dua kota oleh dua kubu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan cenderung menimbulkan pembingunangan bagi komunitas pers nasional. Hal ini terutama karena adanya perbedaan pandangan dan kepentingan antara kubu-kubu tersebut, yang dapat menyebabkan ketegangan dan perselisihan.
Peringatan Hari Pers Nasional sebenarnya merupakan momen untuk merenungkan peran penting pers dalam masyarakat dan untuk menghormati pengorbanan jurnalis. Peringatan ini seharusnya dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperkuat kerjasama dan sinergisitas antaranggota komunitas pers, sehingga mereka dapat bekerja sama untuk menjaga kebebasan pers dan keberlanjutan industri pers di Indonesia.
Dua kelompok dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sedang berselisih adalah Kubu Hendry Ch Bangun yang merupakan Ketua Umum PWI yang dipilih pada Kongres di Bandung pada September 2023. Kubu ini menggelar peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan tema Kalsel Gerbang Logistik.
Sedangkan yang lainnya adalah Kubu Zulmansyah Sekedang, Ketua Umum PWI yang terpilih dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada 18 Agustus 2024. Kubu ini menggelar peringatan HPN 2025 di Pekanbaru, Riau, dengan tema Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas.
Sebelumnya, sejumlah pihak yang emoh terafiliasi dengan PWI sempat mengajukan kepada Dewan Pers—sebagai ‘rumah bersama’ dan lembaga pelindung kemerdekaan pers berdasarkan UU No. 40/1989 tentang Pers—agar HPN tidak dicantolkan dengan hari kelahiran PWI. Namun, ketika Dewan Pers menggelar siding tentang ‘gugatan’ HPN itu, dan kebetulan saya pemimpin sidangnya, beberapa tokoh pelaku sejarah pers menyampaikan bahwa gugatan itu tidak relevan, karena hal paling mendasar penentuan 9 Februari sebagai HPN itu justru sebagai bentuk penghargaan terhadap peran penting pers dalam perjalanan bangsa Indonesia, seperti konsideran Kppres penentuan HPN. Kesimpulannya, HPN tetap 9 Februari.
Mengenai sampai kapan keberadaan kedua kubu di tubuh PWI yang belum jelas ending-nya tersebut, karena masing-masing merasa benar sendiri, seharusnya biarlah pengadilan yang memutuskan, karena soal ini sudah memasuki ranah hukum.
Yang jelas, setiap kali memeringati HPN, masyarakat pers nasional senantiasa disadarkan pada kondisi pers di Indonesia yang kini mengalami perubahan besar akibat perkembangan teknologi digital. Meskipun media cetak masih memiliki peran penting, khususnya di kalangan generasi yang lebih tua dan di daerah pedesaan, namun popularitasnya menurun.
Indonesia memiliki pasar media digital yang terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai pasar mencapai sekitar US$7 miliar. Media digital, termasuk platform berita online dan media sosial, semakin populer di kalangan masyarakat. Meskipun media cetak masih memiliki pengikut, jumlahnya menurun secara signifikan. Banyak orang lebih memilih untuk mendapatkan informasi dari sumber digital yang lebih cepat dan mudah diakses.
Media cetak di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghadapi era digital. Namun, terdapat juga peluang untuk mengintegrasikan strategi digital dengan praktik tradisional, seperti menciptakan versi online dari konten cetak dan menggunakan media sosial untuk mempromosikan artikel.
Kebebasan Pers sebagai Isu Krusial
Salah satu isu paling krusial di dunia pers Indonesia saat ini adalah kebebasan pers. Berbagai kasus kekerasan, ancaman, dan penangkapan terhadap wartawan telah meningkat. Dewan Pers mencatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak 2006, dengan angka tertinggi terjadi pada 2023 yakni 87 insiden.
Selain itu, tekanan dari pihak berwenang dan serangan siber juga menjadi tantangan besar. Wartawan sering kali diharuskan untuk menghapus rekaman wawancara, foto, atau video mereka, terutama saat meliput isu/berita kontroversial.
Pemerintah juga sedang mempertimbangkan undang-undang baru yang dapat memperburuk situasi ini. Meskipun demikian, banyak jurnalis dan organisasi pers terus berjuang untuk menjaga kebebasan pers dan memastikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab tersedia bagi masyarakat.
Posisi pers Indonesia, dalam konteks kebebasan pers, menunjukkan beberapa tantangan yang signifikan. Berdasarkan Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders (RSF), Indonesia berada di peringkat 111 dunia dengan skor 51,15 poin pada 2024. Ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat di Asean, di bawah Thailand, Malaysia, dan Timor Leste.
Selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dari 2014 hingga 2024, kebebasan pers di Indonesia mengalami penurunan. Meskipun UU Pers No. 40 Tahun 1999 masih berlaku, pemerintah Jokowi dituduh menggunakan berbagai cara untuk mengekang kebebasan pers, termasuk penggunaan hukum untuk menekan kritikus dan kemunculan berbagai represi digital yang cenderung meningkat.
Hingga kini pun, belum terlihat bagaimana pers Indonesia akan berada posisi mana di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, terutama karena faktor-faktor yang mempengaruhi kebebasan pers sangat kompleks dan sering kali bervariasi tergantung pada konteks politik dan sosial yang ada. Namun, mengingat latar belakang militer Prabowo, tebersit kekhawatiran bahwa tekanan terhadap pers mungkin akan terus ada atau bahkan meningkat, seperti yang terjadi pada beberapa periode sebelumnya.
Harus diakui bahwa kebebasan pers tidak hanya bergantung pada kepemimpinan presiden, tetapi juga pada regulasi, kebijakan, dan upaya dari organisasi pers dan masyarakat sipil untuk menjaga hak-hak pers.
Berdasarkan laporan dari Human Rights Watch, keadaan kebebasan pers di Indonesia semakin menurun selama pemerintahan Jokowi, dengan peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan tekanan dari pihak berwenang. Meskipun demikian, banyak wartawan dan organisasi pers terus berjuang untuk menjaga kebebasan pers dan memastikan informasi yang akurat tersedia bagi masyarakat.
Meskipun UU Pers Indonesia (UU No. 40 Tahun 1999) memberikan perlindungan dan kebebasan bagi pers, dalam praktiknya, situasi kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. RSF, dalam Indeks Kebebasan Pers 2024 yang menempatkan Indonesia di peringkat 111 dunia. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada isu-isu signifikan yang perlu diatasi.
Dalam konteks regional, meskipun Indonesia memiliki UU Pers yang lebih baik dibandingkan beberapa negara lain di kawasan Asean, keadaan di lapangan menunjukkan bahwa tekanan dari pihak berwenang, ancaman hukum, dan serangan siber masih menjadi kendala utama. Misalnya, undang-undang baru yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan informasi yang tidak akurat juga dapat digunakan untuk membatasi kebebasan pers.
Jadi, meskipun ada landasan hukum yang baik, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan kebebasan pers yang sebenarnya.
Peran Media Cetak sebagai Opinion Leader
Hingga kini, eksistensi media cetak masih dianggap sebagai salah satu opinion leader di Indonesia, terutama di kalangan generasi yang lebih tua dan di daerah pedesaan. Namun, peran ini semakin tergantikan oleh media digital yang lebih cepat dan interaktif.
Masa depan media cetak di Indonesia tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan teknologi digital. Media cetak yang berhasil menggabungkan strategi digital dengan praktik tradisional memiliki peluang untuk bertahan dan bahkan berkembang
Sedangkan kualitas jurnalisme di Indonesia memang menghadapi tantangan baru dengan adanya dominasi media online tersebut. Beberapa faktor seperti tekanan untuk cepat menangkap audiens, model bisnis berbasis iklan, dan serangan siber dapat mempengaruhi kualitas jurnalisme. Namun, ini bukan berarti kualitas jurnalisme secara otomatis turun. Banyak media online yang tetap berusaha untuk menyediakan informasi yang akurat dan bermanfaat.
Untuk menjaga kualitas jurnalisme di era digital, beberapa langkah yang bisa diambil adalah menyediakan pelatihan berkala bagi jurnalis untuk memastikan mereka tetap up-to-date dengan teknologi dan praktik jurnalisme yang baik. Jurnalis juga harus patuh terhadap etika dan tanggung jawab profesi dengan cara menjaga prinsip-prinsip dasar jurnalisme seperti akurasi, transparansi, dan tanggung jawab.
Selain itu, komunitas pers secara keseluruhan hendaknya memberikan dorongan terhadap regulasi yang mendukung keberlanjutan dan kualitas jurnalisme, dan tentu saja tetap mempertimbangkan model bisnis seperti media berbasis koperasi atau member, yang dapat memberikan kebebasan editorial dan kesejahteraan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Jadwal Waktu Imsak dan Buka Puasa Hari Ini, Jumat 21 Maret 2025
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement