Advertisement

OPINI: Setia pada Khitah Kemerdekaan dengan Melawan Korupsi

Tri Wahyuni
Rabu, 05 September 2018 - 08:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Setia pada Khitah Kemerdekaan dengan Melawan Korupsi Tri Wahyuni - Ist.

Advertisement

Saya ingat suatu ketika Franz Magnis Suseno berkata, “Korupsi adalah bentuk ketidakadilan tertinggi.” Daya rusaknya bukan semata merugikan kas negara, lebih dari itu merobohkan tugu kesepakatan bersama yang berdasar pada rasa keadilan, yang pada mulanya menjadi cita-cita dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Politisi korup kerap menggunakan segala macam cara guna meraih kekuasaan. Dalam misi meraih kekuasaan itu, mereka cuma mementingkan kepentingan personal atau kelompok mereka, kemudian mensubordinasi kepentingan yang lebih besar: kepentingan rakyat bersama. Korupsi merebak dan dengan cepat merusak rasa percaya antar sesama dalam masyarakat.

Advertisement

Barangkali sifat korup itu sendiri ada pada tiap manusia. Meminjam kata Sang Leluhur kepada muridnya dalam film Doctor Strange (2016), “We never lose our demons, we only learn to live above them.” Kita tidak pernah kehilangan kecenderungan jahat kita, kita hanya belajar untuk mengendalikannya.

Dalam urusan politik, sistem untuk mengendalikan kecenderungan-kecenderungan jahat dari aktor-aktor politik harus dibangun karena urusan politik menyangkut hajat hidup orang banyak.

Yang perlu dilakukan adalah mengambil langkah antisipatif guna mereduksi perilaku korup. Dalam konteks ini, perilaku korupsi bisa dicegah dengan transparansi. Semua kekayaan atau aset negara, proyek-proyek, dana partai politik, pejabat publik (pusat dan daerah), serta keluarga dan kolega-koleganya harus ditunjukkan secara transparan kepada publik, melalui lembaga audit negara yang berwenang.

Para politikus dan pejabat publik harus dipaksa membangun integritas mereka, dengan menciptakan aturan bahwa semua tambahan kekayaan finansial, aset, dan harta-harta lainnya selama menjabat sebagai pengurus partai politik (pusat dan daerah) dan para pejabat publik dan kolega-koleganya harus mempunyai underlying transaction yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menghentikan perilaku korup hanya akan efektif jika negara bisa memberikan “ancaman” kepada calon pelakunya bahwa tambahan biaya ekses korupsi dapat lebih besar daripada keuntungan yang bakal mereka dapat. Di sinilah perlunya hukuman berat dijatuhkan kepada pelaku korupsi.

Akan tetapi, tentu hal itu baru akan efektif jika lembaga penegak hukum bisa menjalankan tugasnya itu dengan baik. Sebab, bila penegak hukum saja korup, bagaimana hendak menindak para koruptor? Oleh karena itu, yang paling awal harus direformasi dan dibersihkan dari jejaring korupsi adalah sistem peradilan, termasuk aparatur penegak hukumnya: baik hakim, jaksa, juga polisi. Dan satu lagi, aparat lembaga pemasyarakatan, karena beberapa investigasi menunjukkan terpidana korupsi malah dapat fasilitas lengkap dibandingkan dengan terpidana lain di lembaga pemasyarakatan.

Lepas dari kerangka suprastruktur tersebut di atas, infrastruktur (penunjangnya) adalah upaya pencegahan benih-benih korupsi itu tumbuh. Di sini perlu dukungan dunia pendidikan.

Dalam dunia pendidikan ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan karakter antikorupsi pada anak. Sebagai contoh, pernahkah anda mendengan cerita tentang Belajar Mengantre vs Matematika?

Syahdan, seorang guru mengatakan sebagai guru ia tak terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai matematika. Dia jauh lebih cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh keyakinan dia menjawab, “Cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai matematika.” Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses mengantre, perlu setidaknya 12 tahun (Tjahyono, 2013).

Di masa depan, tidak semua anak akan memilih profesi yang berhubungan langsung dengan matematika (kecuali keterampilan mendasar). Namun yang pasti, semua anak itu akan memerlukan etika dan moral (yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka kelak.

Paling tidak ada lima nilai yang di dapat dari pembiasaan mengantre. Pertama, anak akan belajar manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang. Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang biasanya orang membaca buku saat mengantre).

Memaknai Kemerdekaan tentu bebas dari segala bentuk ketertindasan. Ketertindasan yang dimaksud bukannya hanya ketertindasan akibat kolonialisme, tetapi juga bisa terjadi penjajahan dari bangsa kita sendiri. Peresiden Soekarno dalam satu pasase berkata, “Perjuanganku lebih mudah ketimbang perjuangan kalian, karena musuh yang kalian hadapi adalah bangsa kalian sendiri,”

Penjajahan oleh bangsa sendiri itulah yang dilakukan oleh para koruptor. Mari kita lawan. Mari kita lanjutkan perjuangan para pahlawan dengan melawan penjajahan korupsi di negeri ini.

*Penulis adalah peneliti di Institute for Population and National Security.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Kelestarian Lingkungan, Pemda DIY Mulai Terapkan Program PBJ Berkelanjutan

Jogja
| Kamis, 28 Maret 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement