Advertisement

OPINI: Sufi Berbaju Korpri

Paryadi
Sabtu, 01 September 2018 - 08:25 WIB
Budi Cahyana
OPINI: Sufi Berbaju Korpri Ilustrasi PNS. - JIBI

Advertisement

Istilah sufi mengacu pada praktik hidup yang menjauhi kekangan hawa nafsu duniawi. Pada masa lampau, sufi mengacu pada orang-orang yang belajar etika keagamaan melalui syekh, biasanya dalam kelompok-kelompok.

Sufi berarti orang-orang yang mempelajari hal ihwal ibadah, syariat, dan yang paling pokok adalah mistisisme Islam. Sufi juga dapat bermakna orang-orang yang menggunakan pakaian berbahan bulu domba.

Advertisement

Di Indonesia, fenomena sufi setua sejarah masuknya Islam di Nusantara. Adapun sufi dalam pengertian gerakan tarekat menurut sebagian ahli baru dimulai pada akhir abad ke-16. Hari ini praktik hidup sufi dianggap ketinggalan dengan perubahan zaman.

Teknologi Internet, perekonomian kapitalisme, dan menguatnya peran negara dalam kehidupan masyarakat telah menggeser praktik-praktik ajaran kebatinan. Sufi sebagai praktik hidup subsisten tidak pernah kehilangan relevansi dengan kehidupan hari ini.

Fenomena sufi perkotaan atau yang akrab disebut sufi urban tampaknya menjamur menjadi sarana untuk memberi makna bagi pola hidup masyarakat masa kini. Dunia modern memang telah menyelubungi seluruh aspek kehidupan manusia, tapi toh tidak menghentikan upaya-upaya sebagian orang untuk berintensi dalam kehidupan spiritual.

Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Jogja, kafe atau tempat-tempat publik yang menjadi tempat berkumpulnya sufi urban semakin marak. Mereka menyediakan komunitas tempat kebutuhan spiritual kaum perkotaan dapat dipenuhi, tidak saja berorientasi pada transendensi tetapi juga humanisasi.

Orang-orang ini memperoleh ruang untuk mendapatkan informasi, membangun solidaritas, dan rutinitas yang memberi energi kehidupan. Tentu saja tidak lagi aneh jika kita menemukan praktik hidup sufistik ini menyentuh kehidupan pegawai negeri (aparatur sipil negara/ASN) atau birokrat.

Mereka yang berada di dalam putaran kuasa negara juga tertarik, bahkan menerapkan prinsip-prinsip kehidupan sufi. Mereka menjadi sufi berbaju Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dalam pengertian yang luas.

Mereka berjuang agar selalu berhati-hati menggunakan fasilitas negara, terutama jika berpotensi berkaitan dengan kebutuhan pribadi. Pola hidup keseharian mereka tidak melulu untuk memenuhi kepuasaan fisik, tetapi juga diasah supaya dapat mengarah pada kepuasan batin.

Pengabdian mereka terhadap masyarakat juga tidak semata-mata mewujudkan nilai-nilai profesionalitas tapi juga nilai ilahiah. Sufi dalam pengertian ini tidak lagi kaku sebagai praktik ajaran kebatinan yang ketat, tetapi bergeser menjadi pilihan baru cara hidup dalam dunia modern.

Ajaran-ajaran sufistik telah memberi inspirasi bagi orang-orang perkotaan untuk memaknai arti pencapaian hidup. Kendati bukan fenomena yang sangat menonjol dari topik sufisme urban, praktik hidup sufistik kelompok birokrat dapat dianggap punya makna positif.

Seorang peneliti studi Islam dari Griffith University, Julia D. Howell, menjelaskan bahwa kehadiran sufisme di Indonesia sangat marak, ditandai dengan kemunculan publikasi buku-buku tasawuf (misalnya karya-karya Buya Hamka), majelis-majelis zikir, majelis selawat, dan berbagai pengajian yang menekankan pentingnya melatih kepekaan batin.

Fenomena kebangkitan sufisme urban punya akar panjang keterlibatan dengan gerakan tarekat abad ke-16. Paling tidak sudah terjadi sejak tahun 1970-an bersamaan dengan gelombang kebangkitan Islam yang menyebar dari Revolusi Iran.

Fenomena sufisme urban juga berkaitan dengan kondisi ekonomi dan perkembangan sosial yang tumbuh di area perkotaan. Sebagaimana yang dapat diperhatikan, masjid-masjid di mal dan sekolah-sekolah Islam di pusat kota tampak lazim menjadi bagian dari kehidupan kaum modern.

Praktik hidup sufistik kelompok birokrat sudah terjadi lama. Sebagian sufi ini terlibat menjadi konsultan bagi pemerintah Hindia-Belanda. Kendati sebagian dari mereka adalah pemberontak, mereka juga punya andil dalam mendinamisasi tata kelola pemerintahan kota melalui diseminasi wacana kemasyarakatan.

Dengan mengandalkan organisasi tarekat, berdasarkan penjelasan A.H. Johns, para sufi mampu mengambil alih unit administratif kota-kota pelabuhan di Jawa Timur. Martin van Bruinessen secara terbuka mengatakan kemunculan birokrat sufi mencerminkan dampak politik Orde Baru yang mencegah politik Islam tampil, tetapi mendorong tumbuhnya kesalehan personal.

Etika Sufi

Akibatnya, tumbuh kelas menengah yang relatif kaya dan berpengaruh sekaligus sangat sadar dengan keislaman. Apa makna kehadiran praktik hidup sufistik bagi orang perkotaan terutama bagi birokrat?

Jawabannya adalah pada sikap hidup untuk mengendalikan diri sehingga memiliki kemampuan membagi, memilah, dan menentukan komposisi proporsional antara fisik dan spiritual. Sufi berbaju Korpri memperlihatkan proses revolusi mental yang sebenarnya.

Sebagai aparatur negara, kehidupan mereka tidak hanya disibukkan mengelola anggaran dan memberikan pelayanan publik, tetapi juga aktif menyebarkan nilai-nilai keagamaan. Sebagian mereka punya peran di masyarakat sebagai pendakwah, pengurus organisasi Islam, atau pengelola yayasan Islam.

Mereka menciptakan kultur hidup yang sangat spiritual, memengaruhi wajah perkotaan secara sosiologis. Keaktifan mereka berdakwah ini memberi nuansa unik. Mereka mencoba mereformasi praktik-praktik hidup modern dengan bersandar pada alim ulama Islam seperti Al-Ghazali.

Dalam kondisi ekonomi yang belum stabil dan ancaman meningkatnya jumlah pengangguran, praktik hidup sufi bagi birokrat punya arti teramat penting. Mereka bekerja secara sungguh-sungguh supaya kehidupan sosial dapat membaik sebagai bagian dari implementasi ajaran etika sufi.

Mereka berupaya mengangkat derajat masyarakat melalui edukasi dan pembinaan spiritual. Kadang-kadang bagi sebagian birokrat yang punya misi sosial tinggi, mereka tidak segan mengeluarkan sumber daya pribadi supaya menopang kesejahteraan spiritual masyarakat sekitar mereka.

Bukan fakta yang mengherankan jika selain masjid dan pesantren, lembaga-lembaga filantropi yang juga dapat berfungsi mengelola zakat dan infak terus berkembang di Indonesia, beberapa di antaranya merekam jejak peran birokrat-birokrat sufi.

Kecenderungan untuk hidup sesuai ajaran Islam bagi para sufi berbaju Korpri ini paling tidak memberi petunjuk tentang luasnya potret kehidupan spiritual manusia modern. Mereka berjuang untuk tetap saleh, solid, dan utuh di tengah nuansa kehidupan yang semakin ketat dan penuh jebakan.

*Penulis adalah pengelola Yayasan Shofa Marwah Boyolali dan mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Jogja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Solopos

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mudik Lebaran, Gunungkidul Bakal Dijejali 154.000 Kendaraan

Gunungkidul
| Kamis, 28 Maret 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement