OPINI: Mengatasi Kebocoran Bansos
Advertisement
Kebocoran sedikit saja dalam bantuan sosial memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan. Kendati hanya sekitar 3% (Rp.10.000/paket bansos) jika dikalikan dengan total nilai bantuan yang besar tentu akan memberikan nominal kebocoran tidak bisa dibilang kecil. Hal ini yang terjadi pada dugaan korupsi dana bansos di Jabodetabek yang menimpa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebesar Rp17 Miliar (Kompas.com, 2020).
Permasalahan penyaluran bansos di Indonesia memang masih menjadi isu yang belum memiliki solusi tepat. Ketidaktepatsasaran selalu terjadi di tengah penyaluran bansos di Indonesia, baik sebelum pandemi maupun ketika pandemi.
Advertisement
Selain itu, penyimpangan dana bansos seperti korupsi pun menambah carut marut skema penyaluran bansos. Saat ini pemerintah mencanangkan bansos pada 2021 akan diberikan dalam bentuk bansos tunai di wilayah Jabodetabek. Kendati demikian skema ini masih berpotensi tidak tepat sasaran. Pasalnya, skema ini tidak membuka peluang bagi pemerintah mengontrol jenis pengeluaran yang bisa atau tidak bisa dibelanjakan.
Selain itu, potensi penyelewengan pun masih memungkinkan terjadi karena ada penyaluran bansos tunai melalui jasa pengiriman. Permasalahan yang mungkin muncul ialah sulitnya men-tracing penerima bansos tunai karena tidak adanya jejak digital.
Tentu permasalahan penyelewengan dana bansos ini baik dari penggunaan yang tidak seharusnya, ketidaktepatsasaran, atau aktivitas koruptif, akan menyebabkan dampak bansos menjadi tidak sebesar yang diharapkan. Hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) menunjukkan bahwa rumah tangga penerima bansos 74,4% memiliki pendapatan di bawah Rp.4,8 juta/bulan.
Artinya, masih ada lebih dari 20% penerima bansos yang memiliki pendapatan di atas Rp.4,8 juta/bulan juga menerima bansos. Hasil kajian ini seolah mengonfirmasi bahwa ketidaktepatsasaran program bansos di Indonesia selama pandemi masih cukup besar, di luar masalah korupsi yang mungkin terjadi.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
Permasalahan bansos pada dasarnya ada dua hal besar, yaitu ketidaktepatsasaran penerima bansos dan perilaku koruptif dari penyelenggaran bansos. Ketidaktepatsasaran penerima bansos sangat erat kaitannya dengan data kependudukan yang karut marut.
Selain itu, perilaku koruptif dari penyelenggara negara pun menambah buruknya skema penyaluran bansos di Indonesia. Mengatasi permasalahan tersebut mau tidak mau pemerintah Indonesia perlu memperbaiki data kependudukan yang tepercaya, terbaru, dan terjamin kerahasiaannya.
Skema Adaptif
Strategi penyaluran bansos perlu memiliki skema yang berkelanjutan dan adaptif, karena program bansos tidak hanya diberikan pemerintah pada saat pandemi saja. Pada dasarnya pemerintah telah memiliki basis data terpadu (BDT), tetapi tantangan dari data tersebut ialah keterbaruan informasi, ketepatan informasi, dan kriteria masyarakat penerima bantuan dengan kondisi tertentu.
Di sisi lain, masyarakat yang berpotensi menerima bansos di tengah pandemi memungkinkan lebih luas dari data BDT. Pada jangka pendek pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis agar penyaluran bansos lebih tepat sasaran.
Pertama, perbaikan skema penyaluran yang transparan dan akuntabel. Permasalahan koruptif penyelenggara negara terhadap program bansos karena tidak adanya informasi yang detail terkait bantuan yang berikan. Pada kasus bantuan sosial nontunai (BNTP), tidak ada rilis terkait dengan tipe dan jenis bahan pangan yang diberikan, akibatnya kualitas BNTP dimainkan untuk mendapatkan selisih.
Kedua, perubahan skema BNTP ke bansos tunai di wilayah Jabodetabek, harus dengan verifikasi dan validasi yang ketat dan tepat. Ketiga, perlu adanya validasi tambahan data dan informasi terkait penerima bansos tunai. Keempat, konsolidasi data yang dimiliki pusat dan daerah untuk memastikan tidak ada penerima bansos yang ganda.
Sejak berlangsungnya program perlindungan sosial, maka keandalan data kependudukan menjadi hal yang utama. Mengingat program ini dilakukan secara regular dengan atau tanpa adanya pandemi.
Pada jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu membangun basis data kependudukan yang andal dengan membuat data base berupa nomor induk tunggal (NIT). Namun, untuk merealisasikan NIT perlu persiapan yang matang, mulai dari peraturan, infrastruktur (keamanan data) dan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas. Keberadaan NIT akan mampu merekam data pribadi seseorang secara menyeluruh.
Dengan data itu, pemerintah bisa mengetahui identitas personal pekerjaan, pendapatan dan hal lainnya, yang bisa menjadi dasar untuk melakukan intervensi berupa bansos baik tunai maupun nontunai.
Selain itu, berbagai program perlindungan sosial, seperti penundaan cicilan kredit, bantuan modal UMKM, dan program prakerja dapat dilaksanakan dengan tepat sasaran. Maka, kebeberadaan NIT penting sehingga kebocoran bansos, baik data yang salah maupun penyelewengan bansos, pun dapat makin diminimalisasi bahkan dihilangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
124 Warga Sidomulyo Sleman Terima Ganti Rugi Tol Jogja-Solo Seksi 3 Sebesar Rp53 Miliar
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement