Advertisement

Promo November

OPINI: Mengantisipasi Dampak Negatif Merger & Akuisisi Lintas Negara

Aru Armando, Investigator Utama KPPU RI
Rabu, 28 April 2021 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Mengantisipasi Dampak Negatif Merger & Akuisisi Lintas Negara Ilustrasi merger - Freepik

Advertisement

Syahdan pada Februari 2000, di pertemuan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) ke-X, Perdana Menteri Malaysia saat itu Dr. Mahathir Muhammad menyampaikan peringatannya akan dampak negatif aksi korporasi Merger dan Akuisisi lintas negara. Mahathir menyatakan, “Ketika kita mengijinkan mereka untuk berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan lokal kita, kita takut jika mereka datang dan kondisi kita tidak siap, maka mereka akan mengambil alih seluruh sektor bisnis kita”.

Pernyataan Dr. M., begitu panggilan mantan PM Malaysia ini sejatinya harus dianggap sebagai sebuah early warning agar negara berkembang, yang menjadi target aksi korporasi lintas negara ini berbenah. Bersiap diri.

Advertisement

Kekhawatiran Dr. M ini juga pernah disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pada 2017, Ketua KPPU saat itu, Syarkawi Rauf menyatakan, “Bayangkan kalau ada asing mau masuk ke Indonesia dan matikan pelaku dalam negeri, dia akuisisi lalu matikan bisnisnya dan dia jadi perusahaan dominan di Indonesia. Itu motif merger yang negatif bagi ekonomi kita. Di China, notifikasi merger diwajibkan bagi pelaku usaha yang masuk ke negaranya. Ini untuk antisipasi agar aktivitas itu tidak merugikan ekonomi di China. Kita (Indonesia) harus tiru China.” (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59f3452e3555b/kppu--sulitnya-melacak-praktik-monopoli-di-era-ekonomi-digital?page=all)

Merger dan akuisisi lintas negara ini menurut Ajit Singh & R. Dhumale (Rhido Jusmadi, 2012) dapat menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap persaingan di negara-negara berkembang. Merger dan akuisisi lintas negara akan menghasilkan market power tingkat tinggi bagi anak-anak perusahaan dari perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di negara-negara berkembang dan berdasarkan beberapa Analisa akan menciptakan hambatan masuk kedalam pasar (barrier to entry) dan mengurangi secara signifikan persaingan dalam pasar.

Salah satu persoalan untuk melakukan analisa, penerapan kebijakan persaingan, dan penegakan hukum persaingan usaha dalam aksi korporasi merger dan akuisisi lintas negara ini tentunya adalah soal klaim yurisdiksi. Pertanyaan awal dan umum yang mengemuka adalah, apakah suatu otoritas persaingan usaha di suatu negara dapat melakukan pengawasan dan/atau kontrol atas merger dan akuisisi lintas negara.

Klaim-klaim yurisdiksi secara ekstra teritorial ini berdasarkan data historis, menimbulkan konflik di antara otoritas persaingan usaha di beberapa negara. Contohnya adalah kasus merger antara dua perusahaan Eropa pada 1991, yaitu Alenia e Selina (Italia) dan Aerospatiale ( Perancis) yang mencoba mengambil alih DeHavilland (Kanada).

Perihal masalah klaim yurisdiksi ini juga menjadi salah satu fokus KPPU saat proses Amandemen Undang-Undang (UU) No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha berlangsung. Amandemen UU No.5/1999 sangat penting untuk dilakukan dalam rangka memperbaiki dan menyempunakan Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di wilayah NKRI. Hal ini mengingat beberapa ketentuan dalam UU No.5/1999 dirasa sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan dunia usaha saat ini. Beberapa poin penting dalam amandemen ini, seperti: a. Perluasan Pengertian Pelaku Usaha (ektrateritorialitas) (Kompetisi Edisi 59/2017)

Permasalahan klaim yurisdiksi dalam kegiatan merger dan akuisisi lintas negara ini sejalan dengan pengertian dari OECD Council yang mendefinisikan merger dan akuisisi lintas negara sebagai “a merger that is subject to review under the merger laws of more than one jurisdiction”.

Regulasi & Otoritas

Sebagaimana yang saat ini berlangsung, era globalisasi telah membawa kegiatan usaha dan bisnis menjadi sedemikian luas. Apalagi saat ini, saat dunia memasuki era digital, peningkatan dan kecepatan dalam berusaha dan/atau berbisnis membawa kita pada situasi seolah dunia tanpa sekat, menembus batas antarnegara. Salah satu strategi yang dipilih adalah melakukan aksi merger dan akuisisi lintas negara.

Indonesia, sebagai salah satu negara dalam komunitas perdagangan internasional tentunya tidak boleh alergi atau anti akan aksi korporasi semacam ini. Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Mahathir Muhammad, harus bersiap dan bebenah untuk melindungi kepentingan nasional atau negara. Salah satunya, menyiapkan regulasi yang mumpuni dan adaptif dalam menghadapi maraknya aksi merger dan akuisisi lintas negara ini.

Seperti disampaikan sebelumnya, usulan KPPU agar memperluas definisi pelaku usaha, utamanya terkait dengan ekstrateritorialitas harus mendapatkan perhatian dari pemangku kebijakan. Perluasan definisi ini diperlukan karena Indonesia berpeluang menjadi negara yang terdampak akibat dari aksi merger dan akuisisi lintas negara. Lebih luas dari itu, Indonesia berpotensi terdampak akibat praktik atau perilaku berusaha/berbisnis yang melanggar prinsip persaingan usaha sehat.

Secara teori dan praktik, penegakan hukum persaingan usaha secara ekstrateritorial ini dikenal dan pernah terjadi. Secara praktik, KPPU dalam kasus Temasek pernah menghukum kelompok Temasek (Pelaku Usaha Singapura) pada 2007. 

Kelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur setiap orang atau badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 poin 5 UU No.5/1999, yang berdasarkan pada prinsip “single economic entity doctrine” dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan di mana anak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat extraterritorial jurisdiction (Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, hal 126).

Selanjutnya, secara teori dikenal tentang effect doctrine, sebuah doktrin yang dikenal, diakui dan diterapkan dalam perkara-perkara persaingan usaha lintas batas negara. Effect doctrine pertama kali diterapkan oleh U.S. Supreme Court dalam kasus Alcoa (United State Vs Aluminium Co. of America tahun 1945), yang menerapkan larangan kartel dari Sherman Act yang sebelumnya hanya diberlakukan secara lokal terhadap perjanjian kuota impor aluminium ke Amerika Serikat yang dilakukan oleh beberapa perusahaan non-Amerika di Swiss.

Selain menyiapkan regulasi yang komprehensif dalam menyambut aksi merger dan akuisisi lintas negara ini, tentunya hal yang tidak boleh tertinggal adalah melakukan perkuatan secara kelembagaan KPPU sebagai otoritas persaingan usaha di Indonesia, agar dapat menegakkan hukum persaingan usaha demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

KPH Yudanegara Minta Paguyuban Dukuh Bantul Menjaga Netralitas di Pilkada 2024

Bantul
| Jum'at, 22 November 2024, 10:27 WIB

Advertisement

alt

Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong

Hiburan
| Rabu, 20 November 2024, 08:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement