Advertisement
OPINI: Indonesia Belum Makmur, Mengapa?

Advertisement
Indonesia adalah negara besar di dunia yang mengherankan banyak negara. Bukan karena kemajuan dan perkembangan teknologinya, tetapi soal kemakmuran negaranya yang tak pernah tercapai. Hingga Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih memiliki 26,5 juta jiwa penduduk miskin. Angka ini mencakup 10,14% dari total jumlah penduduk. Meskipun sempat turun 0,43% pada September 2021, angka ini tetap tinggi dan menjadikan Indonesia bukan kategori negara makmur.
Sementara kalau kita melihat Indonesia dari sisi sumber daya, Indonesia memiliki segalanya. Dari sisi sumber daya alam, Indonesia terkenal sebagai negara zamrud khatulistiwa yang tanahnya sangat subur, airnya melimpah ruah, hutannya sangat luas dan tambang mineralnya tak terkira ragam dan kuantitasnya. Di samping itu, Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Mulai dari ikan, biota laut, dan aneka mineral yang terkandung di bawah laut.
Advertisement
Sedangkan dari sisi sumber daya manusia, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 sedunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini 273,9 juta jiwa (data ter-update Kemendagri) dengan jumlah penduduk laki-laki 138,3 juta jiwa (50,5%) dan penduduk perempuan 135,6 juta jiwa (49,5%). Saat ini Indonesia memasuki era bonus demografi dengan rasio ketergantungan yang rendah. Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70,72% jauh lebih tinggi dibanding penduduk usia muda (1-14 tahun) yang hanya 23,33% atau jumlah penduduk usia tua yang persentasenya lebih kecil (5,95%).
Pertanyaannya, mengapa hingga saat ini Indonesia masih belum makmur? Di sana-sini masih banyak kasus penduduk kurang pangan dan anak balita yang kurang gizi sehingga kasus stunting masih juga tinggi (24,40%). Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) juga masih dalam kondisi kurang menguntungkan, yakni ranking 107 dari 189 negara dengan skor 71,4.
Mencapai Kemakmuran
Dalam logika penulis, ada dua penyebab utama mengapa Indonesia belum mencapai kemakmuran yang diharapkan. Pertama, mentalitas masyarakat Indonesia yang cenderung malas berusaha, merasa sudah cukup, kurang disiplin dan semangat untuk bekerja keras, serta sangat sedikit yang memiliki jiwa wirausaha (entrepreneur). Bisa jadi, ini warisan sejak jaman penjajahan yang menjadikan masyarakat pribumi untuk bermental priyayi dengan segala kemapanannya dan tidak mau mengerjakan sesuatu yang berisiko rugi walaupun imbalannya jika berhasil jauh lebih baik.
Rasio penduduk Indonesia yang memiliki jiwa entrepreneur saat ini hanya 0,18% jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika yang mencapai 11% atau Singapura yang angkanya dalam kisaran 7%. Dengan Malaysia saja, Indonesia juga masih kalah jauh. Karena negara jiran ini rasio entrepeneur-nya sudah mencapai 5% dari total penduduknya. Sementara standarnya, sebuah negara memiliki kesempatan untuk makmur apabila negara tersebut memiliki rasio entrepreneur minimal 2%.
Kedua, pemerintah yang cenderung memanjakan rakyatnya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Terlepas dari urusan politik, bisa jadi maksudnya baik, ingin menolong ekonomi masyarakat miskin sehingga daya belinya meningkat. Namun sebenarnya bantuan ini justru bisa menjadi racun. Masyarakat menjadi tidak termotivasi untuk bekerja keras dalam rangka mencapai kesejahteraannya dan bermental “pengemis”. Bisanya hanya minta-minta, mengharap negara memberikan apa yang menjadi kebutuhannya, tetapi tidak memikirkan bagaimana mereka dapat memberikan sumbangan pada negaranya agar semakin maju, adil dan makmur dengan menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) hingga Jokowi sekarang ini BLT terus saja digulirkan yang menghabiskan dana triliunan rupiah setiap tahunnya yang sumber utamanya salah satunya dari berutang pada negara lain atau lembaga keuangan internasional. Ingat, saat ini Indonesia berdasarkan laporan Kementerian Keuangan per 22 Februari 2022 memiliki utang tidak kurang dari Rp7 triliun, jauh meningkat dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya. Walaupun itu semua untuk membiayai program pembangunan, namun BLT maupun jelas akan membebani APBN dan menambah utang.
Tentu ini bukan hal yang baik, walaupun untuk sementara bisa menolong ekonomi penduduk miskin. Namun dalam jangka panjang, negara akan dibuat repot sendiri. Selain beban APBN semakin berat karena harus memperbesar utang.
Masyarakatnya juga tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk meningkatkan kualitas hidup maupun kesejahteraannya. Mereka yang terbiasa manja tentu tidak mau prihatin dan bisanya hanya berangan-angan. Hal itu masih diperparah dengan maraknya perjudian dengan beragam bentuk (termasuk perjudian online) yang mudah diakses oleh masyarakat.
Kondisi yang demikian harus segera dihentikan. Masyarakat harus mulai diajak berpikir kreatif dan realistis. Untuk hidup makmur harus mau berusaha, disiplin, jujur dan siap bekerja keras. Generasi muda juga harus dididik untuk bermental wirausaha. Cita-citanya juga harus diubah, dari hanya menjadi pekerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dan ini harus dimulai dari pemerintah. Bagaimana pemerintah memberdayakan masyarakat secara holistik dan terpadu melalui pembinaan mental dan peningkatan keterampilannya agar bisa berwirausaha. Jiwa entrepreneur harus ditumbuhkembangkan. Jiwa bisnis dan berani menanggung risiko harus dimantapkan. Sehingga kreativitas, inovasi, disiplin dan kerja keras akan betul-betul menyatu dalam kehidupan masyarakat.
Terkait dengan hal ini, pemerintah dapat mengambil hikmah dari apa yang bisa dicapai oleh banyak negara yang tidak memiliki banyak sumber daya alam tetapi kehidupannya bisa maju dan makmur karena mengembangkan jiwa entrepreneur. Negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang, Korea dan negara-negara di Jazirah Arab penulis kira sebagai tempat belajar yang cocok untuk menjadikan negara kita menjadi makmur tanpa harus meninggalkan ideologi Pancasila dan ekonomi kerakyatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Gratifikasi dan Ketidakjujuran Akademik Masih Membayangi Dunia Pendidikan
- HIKMAH RAMADAN: Tasamuh Sesama Muslim dalam Perbedaan Gerakan Salat
- HIKMAH RAMADAN: Merangkul Duka, Menemukan Cahaya
- HIKMAH RAMADAN: Meningkatkan Keterampilan Regulasi Emosi Anak saat Ramadan
- HIKMAH RAMADAN: Lansia Sehat, Berilmu, Bertaqwa, dan Bahagia
Advertisement

Sleman Punya Dimas Diajeng Baru, Diharapkan Berikan Pengaruh Positif Bagi Generasi Muda
Advertisement
Advertisement
Advertisement