Advertisement

OPINI: Fragmentasi Arah Kebijakan Ekonomi Dunia & Implikasinya

Ryan Kiryanto Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital (ISED)
Sabtu, 03 September 2022 - 06:07 WIB
Maya Herawati
OPINI: Fragmentasi Arah Kebijakan Ekonomi Dunia & Implikasinya Ryan Kiryanto Ekonom dan Co/Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital (ISED)

Advertisement

Akhir-akhir ini telah banyak lembaga internasional memperkirakan prospek ekonomi dunia yang melemah, meskipun sedikit negara tetap mampu tumbuh positif. Pada akhirnya mereka memperkirakan beberapa ekonomi utama, diantaranya Amerika Serikat (AS), kawasan euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada, akan berakhir pada resesi selama 12 bulan ke depan, karena pengetatan kebijakan moneter dan fiskal, meningkatnya tekanan biaya hidup dari harga komoditas yang tinggi dan kondisi keuangan yang lebih ketat.

Ekspektasi prospek pertumbuhan global yang memburuk mengikuti perkiraan bulan-bulan sebelumnya di mana terlihat peningkatan kemungkinan AS memasuki resesi ringan di kuartal keempat tahun ini, mengingat momentum pertumbuhannya yang melambat dengan cepat dan komitmen bank sentral, The Federal Reserve Bank, untuk memulihkan stabilitas harga melalui agresivitas kenaikan bunga acuan (fed fund rate/FFR).

Advertisement

Sinyal yang kian nyata sekarang menunjukkan ekonomi dunia telah memasuki fase perlambatan yang tersinkronisasi, meskipun stance-nya bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Kini negara-negara produsen, seperti China, sulit mengandalkan pulihnya ekspor untuk memulihkan ekonominya, karena kebijakan pengunciannya yang ekstra ketat.

Secara teknis, beberapa negara sudah memasuki fase resesi, misalnya AS yang dalam dua kuartal berturut-turut di awal tahun ini tumbuh negatif (masing-masing 1,6% dan 0,9%). Dalam jangka pendek Inggris juga mengalami tekanan ekonomi hebat karena komplikasi persoalan ekonomi, investasi dan politik domestiknya.

KEBIJAKAN EKONOMI KETAT

Hampir semua negara di dunia yang melambat pertumbuhan ekonominya dibarengi dengan inflasi yang tinggi, kini dihadapkan pada situasi sulit dan dilematis. Termasuk dalam kategori ini adalah negara-negara maju baik di kawasan Euro maupun AS.

Pilihan kebijakan antara untuk mengerem inflasi atau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilakukan sekaligus karena harus ada skala prioritas. Pandangan semua negara nyaris sama, kebijakan memerangi inflasi yang membubung tinggi adalah prioritas kebijakan. Sebab, bagaimanapun sesungguhnya melambungnya inflasi adalah buah dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang sudah mereka nikmati sebelumnya.

Maka, di antara sekian pilihan kebijakan yang dipandang efektif untuk menjinakkan inflasi adalah menaikkan bunga acuan. Di AS, The Fed sudah menaikkan FFR sebesar 225 basis poin (bps) sejak Maret hingga Juli lalu. The Fed diperkirakan akan melanjutkan kenaikan FFR-nya hingga ke kisaran 3,50%-3,75% pada Februari 2023.

Kenaikan FFR, yang disebut dengan front-loaded action itu, bertujuan memerangi inflasi, yang kemungkinan akan menghasilkan resesi yang dangkal namun berkepanjangan lebih dari lima kuartal di AS. Pertumbuhan PDB riil AS diperkirakan sebesar -0,3% secara kuartalan (QtQ) pada kuartal keempat tahun ini dan sebesar -1,0% secara tahunan (YoY) pada 2023.

Apapun pahitnya pilihan kebijakan ini, terbukti inflasi AS sudah menunjukkan pelandaian dari sebelumnya 9,1% (Juni) ke 8,5% (Juli) dan diperkirakan akan terus melandai ke kisaran 6% di akhir tahun ini. Memang butuh konsistensi, persistensi dan kedisiplinan dalam waktu cukup lama untuk menurunkan inflasi ke target sasaran sebesar 2%.

Di Eropa, yang kondisinya kurang lebih mirip dengan AS, risikonya tampak cenderung ke arah resesi yang lebih dalam, dengan skenario Rusia benar-benar memutus pasokan gas ke benua itu. Bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB), kembali menaikkan suku bunganya untuk melawan laju inflasi yang tinggi.

ECB tampak kewalahan untuk membawa inflasi kembali ke target sasaran yang 2%. Maka, ECB menaikkan suku bunga 50 bps bulan lalu dan diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga di bulan-bulan mendatang untuk menahan laju inflasi zona Euro yang mencapai 8,9% (Juli).

ECB memperkirakan inflasi rata-rata 6,8% pada 2022 sebelum turun menjadi 3,5% pada 2023 dan 2,1% pada 2024. ECB melihat pertumbuhan ekonomi sebesar 3,7% tahun ini, lalu 2,8% tahun depan, dan 1,6% pada 2024.

Bank sentral Inggris, Bank of England (BoE), telah menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 1,75% di awal Juli lalu. Ini adalah kenaikan terbesar dalam 27 tahun. BoE mengambil langkah agresif menaikkan suku bunga, karena Inggris dihadapkan pada level inflasi tertinggi dalam 40 tahun, yakni 9,4% (Juni). BoE memproyeksikan inflasi akan mencapai lebih dari 13% sebelum akhir 2022. BoE juga meyakini inflasi akan tetap tinggi pada 2023 nanti.

Bank sentral Inggris menambahkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Inggris melambat, sementara kenaikan harga gas telah menyebabkan kemerosotan secara signifikan pada berbagai aktivitas ekonomi dan bisnis di negara itu. Sampai akhirnya BoE pada perkiraan bahwa Inggris akan memasuki resesi mulai kuartal keempat 2022. Indikasinya adalah pendapatan riil bersih rumah tangga turun tajam pada 2022 dan 2023, sementara pertumbuhan konsumsi menjadi negatif.

Kalau pun PDB Inggris diproyeksikan masih mampu tumbuh 3,2% tahun ini, tetapi proyeksi tahun depan yang sebesar 0,5% memberikan sinyal kuat bahwa pemulihan ekonomi Inggris juga membutuhkan sumber daya yang besar dan waktu yang cukup lama.

Kebijakan Ekonomi Longgar

Di antara sejumlah negara maju yang mengalami persoalan inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat (baca: stagflasi), terdapat beberapa negara berkembang yang tetap mampu mengendalikan inflasinya dengan stance pertumbuhan ekonomi yang positif. Vietnam, China, dan Indonesia merupakan contoh beberapa negara dengan stance kebijakan ekonomi yang longgar, akomodatif dan pro pertumbuhan.

Vietnam merupakan negara paling longgar dalam menentukan kebijakan ekonomi sehingga negara ini mampu tumbuh tertinggi di kawasan Asia Pasifik, yakni 7,72% (Yoy) pada kuartal kedua 2022. Secara tahunan pertumbuhan PDB Vietnam tahun ini diperkirakan berkisar 6,0%-6,5% atau naik dari tahun lalu sebesar 2,58%.

Bank Sentral Vietnam tetap mempertahankan kebijakan moneter yang suportif terhadap pertumbuhan ekonomi, sambil terus memantau ekspektasi inflasinya. Jika inflasi tetap terkendali pada level rendah, kebijakan moneter terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan.

Harga konsumen Vietnam pada Juni lalu sudah naik 3,37% dari tahun sebelumnya, disebabkan kenaikan biaya makanan dan energi. Tahun ini, Vietnam menargetkan inflasi berkisar 4%. Untuk itu, bank sentral Vietnam terus berupaya mempertahankan bunga acuannya tidak berubah dan membantu meningkatkan likuiditas bank-bank lokal. Dengan demikian, kegiatan bisnis dan ekonomi memiliki akses yang lebih baik ke pinjaman bank.

Contoh negara lain yang mengadopsi kebijakan moneter longgar adalah China. Dengan laju pertumbuhan PDB yang positif namun masih rendah, pilihan terbaik bagi bank sentral, People's Bank of China (PBOC), adalah menetapkan bunga rendah yang pro pertumbuhan.

Kuartal kedua tahun ini ekonomi China tumbuh 0,4% (YoY), terendah dalam sembilan kuartal terakhir. Inflasi periode Juli 2022 mencatatkan kenaikan sebesar 2,7%, tertinggi dalam dua tahun terakhir sejak Juli 2020. Lonjakan inflasi merupakan imbas dari kenaikan kasus Covid-19 dan memanasnya konflik Rusia-Ukraina.

Namun dengan prioritas untuk menjaga momentum pertumbuhan, pilihan terbaik PBOC adalah menurunkan bunga pinjaman satu tahun sebesar 10 bps menjadi 2,75% (15/8/2022). PBOC juga memotong bunga reverse repo tujuh hari dari 2,1% menjadi 2,0%.

Langkah tersebut adalah pemangkasan pertama sejak Januari lalu. PBOC menekankan bahwa pemangkasan bunga acuan untuk mendorong perekonomian yang sedang tertekan akibat lockdown Covid-19. Dengan penurunan bunga acuan, maka bunga kredit di negara tersebut juga turun sehingga menarik minat masyarakat untuk investasi dan membelanjakan uangnya.

Outlook pertumbuhan PDB China tahun ini berkisar 3,3% dan tahun depan 4,6%. Inilah wajah pertumbuhan ekonomi yang baru untuk China (new normal economic growth) dengan berubahnya lanskap perekonomian global saat ini.

Negara berikutnya yang masih menerapkan kebijakan moneter longgar adalah Indonesia. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 lalu memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.

Keputusan tersebut sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya lantaran masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang makin kuat.

Dengan keputusan itu, stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Tepat jika ke depan, BI harus terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.

Tekanan inflasi meningkat terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat 4,94% (YoY), lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya yang 4,35% (YoY). Sementara inflasi inti masih relatif rendah 2,86% (YoY) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.

Fragmentasi Kebijakan Ekonomi yang Sinkron

Selama pandemi, bank-bank sentral di negara maju dan negara berkembang mengambil langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk meringankan kondisi keuangan dan mendukung pemulihan ekonomi, termasuk penurunan suku bunga acuan dan pembelian aset (quantitative easing policy).

Kini, dengan inflasi pada level tertinggi multi-dekade di banyak negara maju dan tekanan yang meluas di luar harga pangan dan energi, para pembuat kebijakan telah beralih dari kebijakan longgar (dovish) ke kebijakan lebih ketat (hawkish). Sebuah pilihan kebijakan sulit dan dilematis, tetapi tetap harus diambil, meski untuk sementara waktu.

Bank-bank sentral di negara maju agresif menaikkan bunga acuan, untuk mendinginkan suhu perekonomian yang sangat inflatoir. Langkah ini diperkirakan masih terus berlanjut sampai tercapai level inflasi yang ditargetkan. Sementara itu bank-bank sentral di negara berkembang yang level inflasinya relatif stabil dan rendah serta sedang dalam fase pemulihan, condong untuk mempertahankan bunga acuan yang rendah dan akomodatif (dovish) untuk pertumbuhan.

Kesimpulannya, siklus kebijakan ekonomi dan moneter sekarang semakin tersinkronisasi di beberapa kawasan atau negara bergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapinya. Untuk mengerem inflasi, opsi kebijakan moneter ketat menjadi pilihan paling rasional. Sedangkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, opsi kebijakan moneter longgar yang terukur juga menjadi pilihan rasional.

Yang pasti, manajemen penetapan kebijakan moneter menjadi “hak prerogatif” setiap bank sentral yang otonom dan independen dengan mekanisme assesment dan survaillance masing-masing. Jadi, tidak ada istilah bank sentral suatu negara melakukan copy and paste atas kebijakan dari bank sentral negara lainnya. Ini yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi sesat pikir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Film Horor Gunakan Unsur Islam dalam Judul, MUI Sebut Simbol Agama Harus di Tempat yang Pas

Hiburan
| Selasa, 26 Maret 2024, 09:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement