Advertisement
OPINI: Menghindari Jebakan Resesi
Advertisement
Meskipun inflasi inti terbilang moderat dalam 2 bulan terakhir, inflasi untuk kelompok volatile foods masih tercatat cukup mengkhawatirkan, terutama volatabilitas harga barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras. Mau tak mau, kondisi ini akan berdampak pada pengeluaran dan daya beli masyarakat karena terkait dengan komoditas kebutuhan sehari-hari yang harus ada dalam keadaan apa pun.
Makin tinggi lonjakan harganya, makin besar nominal pengeluaran masyarakat yang dikeluarkan untuk volume atau jumlah barang yang sama. Dalam bahasa ekonomi, jika Consumer Price Index (IHK/inflasi), terutama untuk barang kebutuhan sehari-hari, naik terlalu tinggi dan dalam rentang waktu yang agak panjang, maka akan ikut menaikkan Personal Consumer Expenditure Price Index (PCE-PI) atau menambah pengeluaran masyarakat untuk jumlah barang atau jasa yang sama. Sementara itu, kenaikan UMR yang secara nasional di bawah 10% dikhawatirkan kurang mampu mengimbangi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, terutama setelah harga BBM naik pada September tahun lalu.
Advertisement
Imbasnya, bagi masyarakat kelas menengah yang berpenghasilan tetap dengan kisaran UMR, kondisi tersebut akan mempersulit kehidupan sehari-hari mereka karena di sisi lain pendapatan mereka justru tidak naik atau bertambah. Lebih jauh lagi, kondisi tersebut akan makin memperburuk kehidupan masyarakat kelas bawah yang pendapatannya tidak pasti setiap bulan, apalagi segmen masyarakat yang benar-benar tidak bekerja sama sekali alias menganggur.
Kemudian, jika inflasi barang kebutuhan pokok terus berlanjut, masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan (poverty line) akan terdorong turun ke bawah garis kemiskinan. Tendensi ini telah kita saksikan bersama dari data kemiskinan terbaru yang dirilis BPS bahwa jumlah penduduk miskin justru bertambah.
Dengan kata lain, inflasi yang terlalu tinggi bisa berimbas langsung pada peningkatan angka kemiskinan, baik secara nasional maupun di tingkat lokal di satu sisi dan menekan angka pertumbuhan ekonomi di sisi lain. Karena itu, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait harus segera mengambil sikap tegas dengan parameter-parameter yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi
Dalam perspektif Keynesian, pemerintah harus segera menyeimbangkan permintaan dan penawaran untuk komoditas-komoditas pokok yang harganya naik tinggi di satu sisi dan berkontribusi besar pada inflasi di sisi lain. Impor komoditas pokok, sebisa mungkin tentu harus diminimalisasi, agar tidak merusak pendapatan petani nasional. Namun, jika impor adalah pilihan terpahit yang harus diambil untuk stabilisasi harga, maka harus dilakukan secara terukur, agar stabilisasi harga tercapai di satu sisi tetapi tidak merusak fundamental ekonomi pertanian kita di sisi lain.
Di aras yang lain, pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga terkait juga bisa segera melakukan operasi pasar terbuka untuk komoditas-komoditas pokok yang harganya naik terlalu tinggi, dengan volume yang besar dan tawaran harga yang moderat atau sesuai harga sebelum inflasi, agar pelaku pasar pelan-pelan bisa menyesuaikan harga komoditas-komoditas pokok dengan harga yang diharapkan pemerintah (dual price approach).
Sementara dari perspektif Monetarist, inflasi atau ekspektasi inflasi yang tinggi akan mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga. Dan sebagaimana telah kita saksikan sejak pertengahan tahun lalu, setelah berbulan-bulan menahan diri, akhirnya pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia 22—23 Agustus 2022, BI mulai memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Kenaikan suku bunga terus berlanjut sampai hari ini dengan rate sudah berada pada posisi 6 persenan
Memang sangat bisa dipahami bahwa keputusan tersebut diambil oleh BI sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi tahun lalu dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamental mata uang Garuda dan juga sejalan dengan tingginya tingkat ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang terbilang cukup kuat.
Walhasil, keputusan BI mengafirmasi keluhan Jokowi dan curhatan beberapa menteri soal besarnya beban subsidi BBM nasional di satu sisi dan membuka peluang kenaikan harga BBM setelah itu di sisi lain, meskipun rencana pengurangan subsidi BBM baru tercantum di dalam RAPBN tahun 2023. Masalahnya, jika harga BBM naik dan suku bunga BI juga naik, maka asumsi makro yang cukup moderat untuk tahun depan sebagaimana disampaikan Jokowi 16 Agustus 2022, akan sulit tercapai.
Sangat bisa dibayangkan, jika kemudian kenaikan harga BBM justru menciptakan inflasi yang makin tinggi, lalu The Fed kembali menaikkan suku bunga, maka akan memaksa BI menaikkan lagi suku bunga yang akan kian mencekik likuiditas ke sektor riil. Risiko lanjutannya, pertumbuhan dan output ekonomi nasional akan ikut tertekan dan kapasitas serapan tenaga kerja akan makin mengecil di tahun ini. Bahkan dikhawatirkan kemudian terjadi deflationary spiral dan memperbesar peluang stagflasi dan resesi.
Sebagaimana kita ketahui, kekhawatiran atas risiko kenaikan harga BBM tentu bukan soal penurunan konsumsi BBM itu sendiri, tapi lebih kepada multiplier effects-nya kepada harga barang-barang, terutama barang kebutuhan pokok akibat kenaikan biaya transportasi. Ujungnya adalah tekanan kepada pendapatan masyarakat yang akan mengurangi tingkat konsumsi rumah tangga dan menekan angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejatinya, masyarakat belum siap menerima kenaikan harga secara masif, karena masyarakat baru saja bisa bernapas akibat tekanan pandemi selama 2 tahun. Namun, keputusan pahit harus diambil dan masyarakat harus belajar menyesuaikan diri. Dan setelah harga BBM naik disertai dengan kenaikan suku bunga BI, situasinya memang tak seburuk yang dibayangkan. Akan tetapi, reaksi masyarakat bukan sepenuhnya gambaran utuh dari ketahanan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Raihan ekonomi di kuartal IV tahun lalu masih terbantu oleh subsidi langsung dari pemerintah untuk kelompok rentan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Masalahnya, kompensasi tersebut hanya berlaku sekitar tiga bulanan. Artinya mulai awal tahun ini, kompensasi sudah tidak ada lagi dan masyarakat harus berhadapan langsung dengan segala tekanan ekonomi yang ada. Celakanya lagi, mulai awal tahun ini imbas resesi ekonomi global akan sangat terasa karena penurunan pertumbuhan di negara-negara besar seperti China, Eropa, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Artinya, potensi penurunan ekspor nasional akan makin tinggi. Jika itu sampai terjadi, maka akan terjadi PHK pada perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan permintaan luar negeri. PHK akan menambah penduduk yang kehilangan pendapatan alias menambah angka penganguran. Mau tidak mau, permintaan dalam negeri atau konsumsi akan ikut tertekan, yang kemudian memberikan efek negatif kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Siklus negatif ini harus dinetralisasi oleh pemerintah dengan mendorong investasi agar peluang pembukaan lapangan pekerjaan baru makin besar di satu sisi dan meningkatkan belanja pemerintah yang berpotensi menaikan daya beli masyarakat agar tingkat konsumsi nasional tidak melorot turun di sisi lain. Dan tak lupa, segala upaya terukur untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok dan nilai tukar rupiah juga harus dilakukan secara paralel dengan upaya-upaya makro di atas. Semua kebijakan ini sangat diperlukan untuk menghindari jebatan stagflasi (inflasi tinggi, penggaguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi rendah). Semoga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
1 Kakak 7 Ponakan Jadi Film Terbaru Yandy Laurens, Adaptasi dari Sinetron Tahun 1990-an
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement