Advertisement

OPINI: Cukai Jasa

Haryo Kuncoro
Jum'at, 18 Agustus 2023 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Cukai Jasa Haryo Kuncoro - JIBI

Advertisement

Hasrat besar pemerintah untuk menggenjot penerimaan tengah menemukan momentumnya. Program konsolidasi fiskal mulai tahun ini mewajibkan defisit kembali pada level maksimum 3%. Beban finansial warisan dari pembiayaan pandemi Covid-19 menuntut peningkatan penerimaan negara.

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memberi peluang intensifikasi dan ekstensifikasi sumber penerimaan. Intensifikasi kenaikan tarif diterapkan bertahap pada pajak pertambahan nilai. Ekstensifikasi pajak pendapatan juga direformasi dengan dukungan sistem informasi yang andal

Advertisement

Sumber pendapatan dari cukai tampaknya bukan pengecualian. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini mulai mengkaji pengenaan cukai jasa. Kendati masih berada dalam tahapan wacana, ide ekstensifikasi pungutan cukai terhadap jasa (service) menjadi diskusi yang hangat di ruang publik.

Di satu sisi, objek kena cukai di Indonesia terbilang paling sedikit dibanding negara sepantaran. Pungutan cukai sudah diberlakukan pada alkohol, ethil alkohol, tembakau, dan produk tembakau. Uniknya, cukai didominasi oleh tembakau sehingga cukai di Indonesia dianggap identik dengan tembakau.

Alhasil, pungutan cukai jasa menjadi salah satu upaya diversifikasi. Penambahan objek cukai yang sudah berhasil adalah tas plastik/kresek sekali pakai yang berlaku mulai tahun depan. Sementara objek cukai yang tengah dalam proses pengesahan adalah minuman berpemanis dalam kemasan.

Pajak Dosa

Pengenaan cukai jasa di negara-negara Asia tenggara seakan menjadi ekstra pendorong bagi pemberlakuan cukai jasa di Indonesia. Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos, misalnya, sudah memungut cukai atas jasa klub malam, diskotek, jasa telepon, dan perjudian.

Di sisi lain, otoritas fiskal tampaknya hendak bersikap ‘adil’. Jika objek kenikmatan sudah dikenai pajak (pajak penjualan barang mewah, pajak natura, atau sejenisnya), objek yang mendatangkan mudarat pun dipungut cukai. Berangkat dari sini, cukai sering juga dikenal dengan ‘pajak dosa’ (sin tax).

Mengacu pada beberapa negara ASEAN di atas, klub malam dan diskotek tampaknya masuk kriteria sebagai objek cukai. Sementara, kutipan cukai jasa telepon niscaya menimbulkan kegaduhan. Dalam era teknologi informasi, telepon toh sudah menjadi jasa kebutuhan pokok.

Lebih lanjut, pemberlakuan cukai klub malam dan diskotek masih terkendala persoalan yuridis. Menurut UU No 39/2007 tentang Cukai, pengenaan cukai ditujukan hanya terhadap barang. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa serta merta mengenakan cukai jasa.

Kalaupun regulasi cukai diamandemen dengan memasukkan jasa sebagai objek cukai, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Per definisi, cukai dipungut atas suatu objek yang konsumsinya dapat menimbulkan kerugian bagi pemakainya dan memberikan eksternalitas negatif bagi orang lain atau lingkungan.

Pada poin ini, pungutan cukai juga difungsikan sebagai instrumen fiskal untuk pengendalian konsumsi. Namun, dalam ranah praktik, masalah yang paling mendasar dalam pemberlakuan cukai di Indonesia terletak pada konsistensi antara aspek penerimaan atau pengendalian konsumsi tadi.

Terkait dengan aspek penerimaan, pungutan cukai jasa dengan jumlah subjek cukai yang relatif terbatas malah bisa ‘lebih besar pasak daripada tiang’. Penerimaan cukai tidak mampu menutup biaya pengumpulannya.

Tesis di atas tidak mengada-ada. Analogi dengan rokok, pungutan cukai akan berefek pada klub malam dan diskotik ‘ilegal’ lantaran mereka tidak mau membayar cukai jasa. Padahal, klub malam dan diskotek ‘ilegal’ tadi memberikan eksternalitas negatif yang tidak kalah besar daripada yang ‘legal’.

Alhasil, pengenaan cukai jasa mutlak dibarengi dengan edukasi terhadap (calon) konsumen jasa terkena cukai. Artinya, edukasi menjadi elemen integral bagi pengendalian dini konsumsi barang/jasa tertentu. Jika fase itu telah dilalui, cukai bisa diposisikan sebagai ‘denda’ terhadap konsumen yang tetap ‘nekat’.

Denda semacam ini yang bisa diklaim sebagai penerimaan. Namun, paradoks pun muncul. Makin besar denda berarti makin tingginya penerimaan cukai. Makin besar penerimaan cukai menunjukkan kian banyak konsumennya, atau tingginya tingkat konsumsi, atau naiknya tarif cukai, atau gabungan ketiganya.

Sistem target yang berlaku pada penerimaan cukai agaknya mengamininya. Untuk mengejar target setoran yang naik setiap tahunnya, penerimaan cukai berhadapan dengan ketiga kemungkinan di atas. Jelasnya, tingginya penerimaan cukai implisit menunjukkan ‘ketidakefektifan’ dari cukai itu sendiri.

Lebih paradoks lagi jika cukai sebagai ‘pajak dosa’ dipahami melenceng dari tujuan awal. Dengan membayar cukai, ‘dosa’ subjek cukai dianggap ‘gugur’ sehingga keberlanjutan aktivitasnya seakan sah. Efek samping pada orang lain dan lingkungan pun dipandang sebagai keniscayaan yang lumrah.

Terlepas dari misi penerimaan dan pengendalian, sebuah kebijakan publik harus akuntabel. Otoritas fiskal perlu memberikan justifikasi dan pertimbangan yang mendasari munculnya pengenaan cukai atas jasa tertentu. Tanpa argumen yang logis, kebijakan cukai menjadi kurang kredibel untuk diterapkan.

Alhasil, jangan sampai maksud positif yang termaktub dalam cukai (untuk mengurangi eksternalitas negatif dari suatu produk barang/jasa) berbalik menjadi distorsi bagi kegiatan ekonomi. Kehilangan manfaat ekonomi (yang tidak dapat diukur dengan rupiah) pun juga perlu dipertimbangkan. Bukan begitu, Kemenkeu?. 

Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Keberangkatan Bus Damri Tujuan Jogja-Bandara YIA dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 22 September 2023, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Yonghwa Titip Salam untuk "Mantan Istri", Seohyun

Hiburan
| Rabu, 20 September 2023, 23:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement