Advertisement

OPINI: Menakar Rencana Kebijakan Fiskal Populis

Yusuf Rendy Manilet
Jum'at, 19 Januari 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
OPINI: Menakar Rencana Kebijakan Fiskal Populis Yusuf Rendy Manilet - JIBI

Advertisement

Kebijakan fiskal dan tahun politik seringkali berkaitan erat satu sama lain. Nordhaus (1975) menyebutkan dalam siklus Bisnis Politik (Political Business Cycles), dengan menggunakan instrumen kebijakan kontrol ekonomi, seperti instrumen fiskal, pemerintah dapat memanipulasi ekonomi untuk mendapatkan keuntungan pemilihan.

Petahana dapat menggunakan kekuasaan dan instrumen yang tersedia untuk memengaruhi lingkungan ekonomi terutama sebelum pemilihan untuk meningkatkan kemungkinan terpilih kembali seperti yang ditulis oleh Kachelein, dkk (2010).

Advertisement

Dalam pertaruhan di tahun politik, lawan dari petahana juga akan menawarkan kebijakan yang dapat meraih simpati dari calon pemilih. Kondisi ini akhirnya bisa bermuara pada penyampaian program termasuk proposal kebijakan fiskal yang bersifat populis. Kebijakan fiskal populis mengacu pada rencana kebijakan fiskal atau proposal kebijakan fiskal yang dirancang untuk menarik minat dan sentimen dari masyarakat umum, terutama dengan menawarkan manfaat langsung atau atau isu-isu populer yang sedang dibicarakan di ruang publik secara luas. Kebijakan fiskal populis sering kali mencakup langkah-langkah seperti pemotongan pajak, peningkatan pengeluaran sosial, subsidi, atau kebijakan fiskal lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari mayoritas penduduk.

Contoh kebijakan fiskal semacam ini termasuk penghapusan utang pertanian, memberikan harga pengadaan yang lebih tinggi untuk berbagai jenis tanaman kepada petani, dan pemotongan pajak. Meskipun istilah populis sendiri tidak selalu inheren membawa konotasi negatif, kebijakan fiskal populis sering dikritik atas beberapa alasan. Pertama, kebijakan fiskal populis cenderung memprioritaskan keuntungan jangka pendek dan manfaat langsung untuk publik, tanpa memikirkan secara detail bagaimana dampak kebijakan terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang.

Implementasi kebijakan seperti pemotongan pajak yang signifikan atau pengeluaran sosial yang luas tanpa mekanisme pendanaan yang jelas dapat menyebabkan tantangan keuangan di masa mendatang. Kondisi ini kemudian rentan menyebabkan kondisi yang disebut ilusi fiskal, di mana pemilih atau calon pemilih kemudian hanya fokus pada program pengeluaran (belanja) tetapi mengabaikan biaya (masa depan) dalam bentuk pajak atau utang yang bisa muncul dari program tersebut (Alesina & Perotti, 1995).

Konteks Pemilu 2024
Pada perhelatan politik di tahun ini pun, rancangan kebijakan program fiskal yang populis juga terlihat dari beberapa program yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon capres-cawapres). Misalnya dalam salah satu program paslon disebutkan akan memberikan makan siang gratis untuk kelompok tertentu.

Selain itu, paslon lain menjanjikan akan memperluas anggaran bantuan sosial untuk kelompok bawah, memberikan bantuan rumah gratis bagi kelompok tertentu dan subsidi kredit kerja bagi kelompok pengangguran. Sekali lagi bahwa beberapa program yang disebutkan sebelumnya tentu punya aspek positif dan dapat menjadi sebuah solusi terhadap beberapa masalah sosial ekonomi di dalam negeri. Namun, dalam konteks kebijakan fiskal, program tersebut terkesan populis karena narasi program tersebut tidak diimbangi dengan elaborasi program yang mendetailkan bagaimana program tersebut akan didanai plus konsekuensi tambahan utang pemerintah yang muncul dari program tersebut sehingga rentan memberikan ilusi fiskal seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Selain itu, di tengah terbatasnya penerimaan pajak saat ini, paslon juga berjanji untuk memberikan insentif pembebasan pajak tanpa menaikkan utang pemerintah. Kondisi ini memunculkan pertanyaan dari mana kemudian paslon akan membiayai berbagai program tersebut tanpa melakukan pembiayaan utang karena di saat yang sama pos pajak juga dialokasikan untuk berbagai kebutuhan insentif perekonomian.

Memang, di dokumen visi misi paslon disebutkan komitmen paslon untuk menaikkan tax ratio salah satunya dengan mengajukan pemisahan institusi pajak dari institusi Kementerian Keuangan. Namun, dibutuhkan waktu untuk melakukan pemisahan tersebut dan dukungan politik yang kuat agar program tersebut dapat berjalan secara optimal. Di sisi lain, institusi itu menaikkan rasio pajak secara perlahan dalam jangka waktu yang tidak sebentar, sehingga dalam konteks lima tahun ke depan setelah paslon terpilih, peluang tidak tercukupinya pembiayaan untuk belanja janji politik yang telah disampaikan masih akan terjadi. Alhasil, untuk menjaga keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang, sudah saatnya kampanye yang terkait dengan kebijakan pendanaan belanja dielaborasi lebih banyak oleh paslon capres-cawapres beserta tim kampanyenya. Di sisi lain, masyarakat perlu lebih kritis dalam mengukur janji kebijakan dan kebijakan program yang ditawarkan oleh paslon capres dan cawapres. Sikap kritis masyarakat, juga akan ikut menentukan tata kelola fiskal dalam jangka menengah hingga jangka panjang.

Yusuf Rendy Manilet
Peneliti Ekonomi di Center of Reform on Economics (Core)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Bukan September, Bus Sekolah di Bantul Dipastikan Mengaspal Mulai 17 Agustus 2024

Bantul
| Sabtu, 27 Juli 2024, 09:27 WIB

Advertisement

alt

Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Jadi Pasangan Suami Istri, Presiden Jokowi Jadi Saksi Akad Nikah

Hiburan
| Jum'at, 26 Juli 2024, 18:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement